bagian 14

32 20 5
                                    

Hujan pada malam itu mengajarkan ku banyak hal, tentang rasa syukur dan belajar menghargai apa yang kita punya. Aji anak kecil penjual kue itu membuat ku tersadar dari keegoisan ku terhadap takdir tuhan yang telah di tetapkan.

*
*
*

Keesokan pagi tepatnya di hari minggu, di meja makan yang tersaji sarapan pagi yang lezat, tiba-tiba langsung terpintas sekejab senyuman aji anak penjual kue itu di pikiran, aku melamuni tentang masa depan yang akan ia hadapi.

Entah mengapa di hati timbul rasa iba terhadapnya, dan aku lansung teringat tentang tio yang pernah bercerita kalau ia mempunyai cita-cita menjadi guru.

Dan aku mendapatkan ide untuk membantu anak-anak yang tak bisa membaca dan menulis, mungkin tio mau membantuku untuk mengajar membaca dan menulis untuk anak-anak yang kurang mampu. Setelah selesai sarapan aku memutuskan pergi ke rumah tio untuk meminta bantuannya.

"Mau kemana kamu?" Tanya nenek saat melihatku bersiap pergi.

"Kerumah tio!" Jawabku dengan bahasa isyarat.

"Enggak kerja kamu?" tanya nenek lagi.

"Enggak, libur dulu!" ucapku dengan bahasa isyarat.

"Iya sudah hati-hati!" imbuh nenek.

Setelah berpamitan dan mencium tangan nenek aku lekas pergi kerumah tio, rumahnya tak beberapa jauh dari rumahku, hanya beda rt saja.
Masih satu kampung denganku, tak lama berjalan aku sudah sampai di rumah tio, di situ terlihat ibunya tio yang sedang sibuk menyapu halaman depan rumah.

"Dawa tumben pagi-pagi kesini!" sapa ibu tio.

"Saya ingin mencari tio," jawabku dengan bahasa isyarat.

"Oh... tio ada di dalam  masuk aja," ucap ibu tio. Ibu tio membukan pagar rumahnya, agar aku bisa masuk dengan motor vespa ku.

"Masuk aja pintunya enggak terkunci, om mu juga ada di dalam." Teriak ibu tio dan aku langsung masuk kerumah menuju ke ruang tengah, di situ terlihat juga ayah tio sedang membaca koran sambil menikmati kopi.

"Eh kamu dawa! Ada perlu apa?" Tegur ayah tio saat melihatku.

"Cari tio om," ucap ku dengan bahasa isyarat.

"Oh... Tio diatas dikamarnya," kata ayah tio.

Aku langsung bergegas menuju ke kamar tio. Setelah menaiki anak tangga aku sampai di depan pintu kamar tio, tanpa permisi dan tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk ke kamar tio.

"Kau seperti rembulan malam yang menyinari kegelapan dan tipis bibir mu menggugah selerah untuk memiliki mu." Baca tio dengan gestur lebay sambil memegang dan melihat
selembar foto.

"Ekhemm." Aku pura-pura batuk untuk menyadari tio dengan kehadiranku.

"Siapa!!" Ucap tio kaget, tio berpaling ke belakang melihatku, aku hanya tersenyum tak enak melihatnya.

"Kamu ini dawa enggak ada sopan santunnya, masuk tanpa permisi!!" Ujar tio dengan malas.

"Maaf maaf, aku terburu-buru" jelasku dengan bahasa isyarat.

"Emang ada perlu apa?" tanya tio.

"Cita-Cita mu gurukan?" tanyaku lagi dengan bahasa isyarat.

"Terus?" tanya tio kebingungan.

"Aku ingin kamu menjadi guru, mengajar di salah satu tempat!" jelasku dengan bahasa isyarat.

"Boleh saja asal ada bayaran!" ujar tio.

"Enggak ada bayaran, kita ngajar untuk anak yang kurang mampu!!" terangku dengan bahasa isyarat.

"Enggak mau malas!!" ucap tio.

Catatan DawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang