bagian 11

48 34 5
                                    

Ku pandang cahaya mentari yang menyapu embun pagi di hari ini, meski cahaya mentari begitu indah menyambut pagi namun itu semua seperti malapataka bagi sang embun, embun tak dapat menahan hangatnya cahaya mentari, mencair pudar hancurlah sang embun, sungguh malang nasib sang embun yang tak dapat menahan hangat pelukan dari cahaya mentari.

Secangkir kopi menemani ku di pagi hari ini, duduk ku di balik jendela kaca sembari memandangi hukum alam, tentang embun dan cahaya mentari di terbitnya matahari pagi, dan semua itu seperti perumpamaan tentang kisah ini.

"dawa ayok sarapan nak," teriak nenek memanggil yang membuyuarkan hayalan hampa di pagi ini.

Terlihat nenek yang lagi sibuk, menyiapkan sarapan, seperti biasa, nasi goreng adalah menunya, nasi goreng seperti andalan nenek untuk menu sarapan pagi.
Iya nenek juga pernah bercerita tentang alasan kenapa dia sering masak nasi goreng untuk menu sarapan pagi, tentunya karena masih ada nasi sisa semalam, sayang di buang katanya, meski nasi sisa semalam yang di jadikan nasi goreng, tapi kalau soal rasa mungkin tak kalah sama nasi goreng yang ada di restoran bintang lima.

"Kamu tak usah dulu kerja, kamu juga baru sembuh," ucap nenek, sambil memperhatikan ku makan nasi goreng buatan nya.

"Bosan di rumah terus," balas ku dengan bahasa isyarat.

"Kamu kan bisa keluar main, yang penting jangan ke capean," pinta nenek.

"Ya sudah aku pergi ke rumah pohon saja kalau begitu," kataku dengan bahasa isyarat.

Setelah selesai sarapan, aku bersiap-siap untuk pergi, menggunakan motor vespa kesayangan ku.
Ya vespa itu sempat juga rusak kemarin sedikit hancur gara-gara kejadian itu tapi sudah di perbaiki.
Sudah lama tak menyetuh dan membawanya jalan-jalan, aneh tapi nyata, aku sedikit merindukan motor butut itu, tak sabar rasanya ingin mencoba mengendarai nya lagi.

"nek motor ku di mana?" Tanyaku dengan bahasa isyarat kepada nenek yang lagi sibuk mencuci piring di dapur.

"Itu ada di garasi mobil," kata nenek.

Aku hanya mengacungkan jempol kepada nenek sebagai tanda aku mengerti. Dan tanpa basa basi lagi aku langsung pergi ke garasi tua milik ayah ku, di sana ada juga mobil tau milik ayah, yang sudah lama sekali tidak terpakai.
Sempat ada juga yang menawari untuk membeli mobil tua itu tapi dari sekian banyaknya yang mau membeli mobil itu, ditolak semua sama nenek, katanya sih kenangan di mobil itu tak ternilai harganya.

"Dawa jangan lupa pakai helm dan juga jaket biar tak masuk angin!" Teriak nenek, namun tak sempat ku jawab lagi, tapi tentu saja akan ku turuti perintahnya.

Saat aku telah membuka garasi tua itu, terlihat begitu gagah nya motor vespa, terpakir bersebelahan dengan mobil tua milik ayah. Penampilan nya begitu mempesona entah apa yang terjadi, aku begitu semangat melihat motor vespa milik ku ini.

Namun sayang rasa semangat ku, tak lama bertahan seolah-olah telah berganti dengan rasa yang penuh dengan kejengkelan, meski motornya sudah di perbaiki tapi seperti sudah kebiasaan, sangat susah untuk di hidupkan, puasku engkol berkali-kali, sampai wajah ini telah mengeluarkan keringat.

"Dasar motor butut sialan!" oceh ku dalam hati.

Tak lama ku berada di begasi pandangan ku di alihkan oleh mobil mewah yang berhenti terpakir di depan pagar rumah. dan terlihat juga ada wanita yang keluar dari mobil itu, hati penuh tanda tanya, siapa wanita itu? Dan ada perlu apa dia berhenti di depan rumah, aku tak pernah melihatnya sebelum nya.

"Permisi, permisi, apakah ini betul rumah dawa?" Ucap wanita itu yang memanggil ku.
Wanita itu tak terlalu tua, ya kira-kira ia seumuran dengan ibu raka dan tio, aku pun meghampirinya dan membuka pagar rumah.

"Iya betul, ada perlu apa?" ucap ku dengan bahasa isyarat.
Tapi sepertinya wanita itu tak mengerti, terlihat dari wajahnya dengan kebingungan, aku lalu mengambil kertas dan pulpen di tas untuk menulis apa yang ingin aku ucapkan.

"Iya saya dawa, ada perlu apa ya?" tulisku, dan langsung di lihat oleh wanita itu.

"Ada yang ingin tante berbicarakan!" ujar wanita itu.

Aku tak mengenal wanita itu dan baru kali ini aku bertemu dengan tante ini, entah apa yang ingin dia berbicarakan, sedangkan aku belum pernah bertemu dengan sosok wanita yang cukup berumur itu sebelumnya. Tanpa menunggu lama lagi aku mempersilakan tante itu masuk ke rumah, tak sopan rasanya jika aku tidak menawari untuk masuk kerumah.

Aku mempersilakan tante itu duduk di ruang tamu, untuk menunggu ku mengambilkan air minum untuk menjamunya, ya sekalian juga memanggil nenek.

"Nek ada tamu di luar!" ucap ku dengan bahasa isyarat.

"Siapa?" tanya nenek.

"Enggak tau," jawabku dengan bahasa isyarat.

"Iya sudah, tunggu nenek bikinkan teh hangat untuk orang itu," ucap nenek.
Aku menunggu nenek membuat teh untuk tante itu, tak mau ku kedepan duluan, karena sedikit canggung jika aku di ajak ngobrol dengan tente itu, lantaran tak terbiasa dengan dia.

Setelah membuat teh, aku dan nenek pergi ke ruang tamu untuk menjamu tante itu, nenek yang berada di posisi terdepan saat berjalan ke ruang tamu dan aku mengekor di belakang.

"Silakan di minum tehnya," ucap nenek.

"Iya terimakasih," balas tante itu dengan senyuman.

"Emang ada keperluan apa kesini?" Tanya nenek, aku hanya duduk diam tak bersuara di samping nenek.

"Begini ada yang ingin saya berbicarakan dengan nak dawa!" Kata tante itu

"Emang ingin membicarakan apa dengan cucuku?" Sela nenek.

"Tentang kedekatan putri saya bunga dengan nak dawa," jawab tante itu.
Yang membuat ku terkejut, ternyata orang asing yang berada di depan ku adalah mamanya bunga.

"Ya emangnya kenapa?" tanya nenek lagi.

"Mohon maaf sebelumnya, saya meminta nak dawa untuk menjauhi putri saya!" jawab tante itu.

Jawaban yang seketika membuat detak jantung seakan berhenti dengan tiba-tiba, remuk terasa di hati mendengar ucapan itu langsung dari mulut orang tua bunga.
Aku hanya terdiam mematung tak bergerak sembari melihat mama bunga, seakan tak ingin percaya tentang apa yang telah terucap dari lisannya.

"Kenapa? bukan kah mereka berteman baik?" kembali tanya nenek.

"Iya saya tahu, bunga sering bercerita tentang nak dawa dan saya juga yakin nak dawa adalah anak yang baik, tapi jika di lihat, sangat tak pantas jika ada seorang wanita yang sudah ingin bertunangan, dekat dengan laki-laki lain, saya hanya ingin menjaga nama baik putri saya begitu juga dengan nak dawa," jelas mama bunga.

"Bagaimana dawa?" tanya nenek, saat sudah mendengarkan penjelasan dari mamanya bunga.

Mendengar penjelasan itu, membuat ku mengerti, mungkin memang sebagusnya seperti itu, aku harus menjauhi bunga, ini yang terbaik untuk kami berdua, agar tak ada lagi konflik yang akan datang kedepannya.

Aku rasa bunga akan tetap bahagia jika aku tak lagi memasuki kehidupannya, jika di pikir yang dalam, aku lah yang membuat hidup bunga menjadi rumit.
Aku juga yakin dengan sepenuh hati tak ada rasa cinta di hati bunga untuk ku, bunga hanya sekedar ingin berteman saja denganku, tak lebih dari itu, aku juga merasa begitu, hanya ingin berteman tak harap lebih, aku merasa orang-orang ini saja yang beranggapan berlebihan.

Siapalah aku ini, mungkin memang selayaknya seperti ini jika kembali di pikir lagi, memang tak layak aku dekat dengannya meski hanya sebatas teman.

"Baik tante saya mengerti, maaf telah merepotkan tante," tulisku untuk menjawab permintaan mama bunga.

.
.
.
.

Bersambung...







Catatan DawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang