22: Sisi Rapuh

28 5 2
                                    

HEY, BROTHER! - 23: SISI RAPUH

***

Sudah hampir pagi dan Hendra masih terjaga.

Pikirannya terbayang-bayang akan orang-orang terdekatnya yang sudah pergi meninggalkan dunia. 5 tahun lalu ayahnya yang pergi dan kemarin salah satu sahabatnya juga pergi.

Overthinking di tengah malam-apalagi tentang hal-hal buruk-memang tidak baik untuk kesehatan tubuh. Dia sudah terlalu dalam masuk ke pemikiran-pemikiran akan takut ditinggalkan lagi dan merindukan kehadiran seseorang di ruang keluarga yang dingin dan sepi.

Kepalanya dibiarkan merebah di atas sandaran sofa, matanya tertutup, kedua telinganya tersumpal earphone yang memutarkan lagu-lagu penenang-untuk jiwanya, untuk raganya.

Satu-satunya pencahayaan yang ada berasal dari televisi yang dibiarkan menyala, menampilkan aksi hewan liar di hutan Amazon yang tengah bertahan hidup dari serangan predator.

Dan overthinking adalah predator paling berbahaya untuk jiwa-jiwa yang berusaha tenang.

Tik.

Setetes.

Dua tetes.

Pipinya banjir air mata.

Hendra tidak pernah menunjukkan sisi rapuhnya ini ke siapapun. Bahkan saat ayahnya meninggal, pipi Hendra sama sekali tidak disentuh oleh air mata. Baru saat di kesendirian, setelah semua orang yang melayat meninggalkan rumahnya, persis di tengah malam seperti ini, dia menangis.

Tangannya bergerak mengelap sisa air mata yang mulai mengering dengan sendirinya.

Ia tidak menyadari akan kehadiran seseorang yang berdiri tak jauh di belakangnya. Orang itu baru saja keluar dari kamar, menuju dapur. Namun langkahnya terhenti saat mendengar isak tangis tertahan dari depan televisi.

Keanu mendekat dengan ragu-ragu karena takut mengganggu. "Pa," panggilnya pelan.

Sepertinya Hendra tidak menyetel lagu dengan volume yang kencang. Matanya yang lembab langsung terbuka begitu mendengar suara. Ia melirik pada Keanu yang berdiri sambil menatapnya cemas.

"Papa kenapa?" tanya Keanu.

Hendra membersihkan sisa air mata yang masih membuat pelupuk matanya lembab, lalu memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak. Kembali ke mode Hendra yang biasanya.

"Nggak papa," jawabnya, kemudian berdeham.

Bohong.

Keanu tahu bahwa papanya tengah berbohong. Jelas sekali dari raut wajah dan suaranya. Bahkan anak kecil pun tahu itu.

Hendra bergeser agar Keanu bisa duduk.

"Kenapa nggak tidur?" tanya Hendra.

"Aku kebangun, haus," jawab Keanu. "Papa kenapa nggak tidur?"

Hendra diam sejenak. Entahlah, mungkin dia tengah memikirkan alasan lain, atau mungkin dia sedang berusaha untuk meredakan emosi sebelum menjawab.

"Papa tadi lagi makan sambil nonton tv. Terus abis makan ketiduran deh."

Bohong lagi.

Keanu melihat meja di hadapan mereka yang kosong. Tidak ada wadah bekas makanan di sana.

"Tapi kok nangis?" tembak Keanu.

"Enggak, Papa ... cuma lagi capek aja."

Ponsel milik Hendra yang tersambung dengan earphone itu tiba-tiba menyala karena ada notifikasi masuk. Nyala ponsel itu menarik perhatian keduanya. Otomatis, judul lagu yang sedang diputar dan terpampang di lock-screen itu pun dapat dilihat oleh Keanu.

Sedang diputar:

Mesra-Mesraannya Kecil-Kecilan Dulu- Sal Priadi

🔂 Ulangi satu lagu

Papa segera menghapus notifikasi yang masuk itu. Hanya info yang tidak penting.

Keanu menarik sebelah earphone dari telinga Hendra untuk dipasangkan ke telinganya. Hendra tidak melayangkan protes apapun.

Mendengarkan untaian lirik itu beberapa saat membuat Keanu tersenyum tipis dengan sendirinya. Itu bukan senyum bahagia, melainkan senyuman yang menyiratkan perasaan sedih, merindukan kenangan di masa lalu. Menyadari bahwa masa-masa itu sudah lewat dan tidak akan pernah terulang lagi.

"Papa lagi kangen sama Opa?"

"Iya," jawab Hendra dan menarik napas dalam. Emosinya sudah lebih baik sekarang.

"Opa itu ... keren ya?" Pertanyaan itu mengandung pernyataan yang tidak langsung.

"Iya," jawab Hendra, "keren banget. Opa kamu itu orang yang nggak kenal rasa capek. Semuanya dikerjain. Dia baik ke semua orang, penyayang, dermawan. Nggak heran temannya ada dimana-mana. Apa yang Papa mau juga Opa selalu berusaha untuk adain. Opa rela harus banting tulang, meskipun sebenarnya tulangnya udah patah-patah. Tapi-"

Jeda.

"-ada satu sifat buruknya yang susah dihilangin, ngerokok. Kamu tahu Opa kayak gimana kalo udah nyentuh rokok. Nggak bisa berhenti. Meskipun begitu, Opa nggak mau menularkan kebiasaannya itu ke Papa. Kamu pernah nggak ditanya atau disuruh coba ngerokok sama Opa?"

"Enggak pernah."

"Itu karena Opa tahu kalo rokok itu berbahaya, tapi Opa nggak bisa lepas. Terlalu kecanduan. Dan Opa kehilangan nyawanya karena itu."

Mereka bisa mendengar deru napas masing-masing di kesunyian yang ramai akan kenangan masa lalu itu. Terlebih Hendra yang napasnya kian berderu saat menceritakan kembali penyebab kematian Opa.

"Makam opa-"

"Hm?"

Dimana? Enggak. Nggak mungkin Keanu bertanya makam Opa dimana. Ia pun segera meralat perkataannya. "Kapan kita ke makam Opa lagi?"

***

Laksamana Wijaya.

Adalah nama yang terukir di batu nisan tersebut. Tepat hari ini adalah tahun ke-6 wafatnya mendiang. Keanu, Hendra dan Oma tengah berlutut sembari berdoa di samping makam, usai menaburkan bunga dan air di atasnya.

Doa-doa itu dipanjatkan dengan khusyuk, dipimpin oleh Papa. Kemudian Oma mengusap-usap gundukan tanah dan Hendra mencabut rumput liar yang tumbuh di atasnya, Keanu turut membantu Hendra.

Di sudut lain terdengar tangisan orang-orang. Seseorang baru saja meninggal. Orang-orang itu, mungkin keluarga jenazah, mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.

Seorang gadis dari anggota keluarga itu meluruskan pandangan ke tempat Keanu berada. Sebuah kerutan terbit di keningnya. Amanda tidak mungkin salah lihat, bahwa sosok laki-laki yang berada di sana adalah Keanu.

***

Terima kasih sudah membaca

Don't forget to vote!⭐

Follow aku juga di Instagram: @_nandaref

Hey, Brother!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang