E 7 - Undangan Makan Malam

655 52 9
                                    

Waktu yang ditunggu telah tiba, jam istirahat menjadikan dirinya sebagai peran utama dari keseluruhan waktu selama di sekolah. Jenna mengambil ponselnya dari dalam saku lantas mengirimkan sebuah pesan pada William.

Jenna
Will, kamu di kelas?

William
Iya, ada apa?

Jenna bangkit dari kursinya dengan bahagia saat William membalas pesan yang dia kirimkan beberapa saat lalu. Gadis itu terlihat tak sabaran sampai-sampai dia melupakan benda yang seharusnya ingin dia kembalikan pada William.

Letak gedung jurusan cukup berjauhan, butuh beberapa menit yang dihabiskan untuk sampai di gedung jurusan IPA. Oh iya, Jenna itu adalah peringkat 3 di kelas IPS 12-B, sedangkan William, adalah peringkat 1 di kelas IPA 12-A. Jenna memasuki kelas William, menemukan pemuda itu yang tengah memperhatikan bukunya.

"Nanti pulang sekolah bareng, ya, Will? Ada sesuatu yang mau aku omongin." sehabis Jenna bercerita panjang lebar terkait liburan semesternya, menanyakan liburan semester William dan pemuda itu menimpali sekadarnya saja, belum lagi ungkapan rindu yang Jenna katakan sebab lama tak bertemu dengan William, sekarang adalah waktu baginya untuk menyampaikan maksud utama dari kedatangannya.

"Lain kali aja, ya?" mendengar ucapan yang mengandung negasi itu, Jenna dibuat bingung mengapa William melakukannya. Jenna tak akan menyerah, dia hanya perlu memaksa William dan pemuda itu akan luluh lantas mengalah.

"Ayo dong, Will? Ini penting banget." bujuk Jenna sambil memasang wajah memelas.

"Kalau hari ini aku benaran gak bisa, sori."

Adalah 5 menit bagi Jenna untuk menyadari kepergian William dari kelas pemuda itu tepat saat dia mengatakan kalimat tadi, Jenna dibuat melongo, kaget bukan kepalang, bagaimana ini bisa terjadi? Ah, iya, ada seseorang yang menjadi tersangka di balik semua ini.

Pasti karena cewek itu.

Berputar dalam ingatan Jenna terkait kilas balik bagaimana dia menghampiri Amanda dan mengatakan semuanya. Jenna mengatakan hal itu tepat keesokan harinya setelah William pergi bersamanya lantas membatalkan janji William dan Amanda untuk pergi ke toko kue depan kompleks.

Jenna menghampiri meja Amanda, kedatangannya kala itu tak sedikitpun mengusik ketentraman si kutu buku itu, begitu sebut Jenna.

"Kamu gak perlu cemburu tentang apa yang terjadi semalam. Perlu kamu ingat bahwa William memilih menemaniku bukan karena semata-mata aku butuh sandaran, tapi karena ikatan hubungan kami yang kuat. Sebelum kenal kamu, dia jauh lebih dulu mengenalku. Aku gak perlu jelasin lebih panjang, kamu kan kutu buku, pasti paham sama yang kumaksud." bahkan butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya gadis itu mendongak melihat kehadirannya. "Dia peduli sama aku bukan karena teman, tapi karena masa lalu." imbuh Jenna saat Amanda melihatnya.

Terasa sedikit canggung tatkala Amanda hanya diam melihat Jenna, sorot matanya terlihat bosan seperti mata yang hendak tidur, Jenna dibuat malu dengan tatapan itu, seolah-olah Jenna baru saja mengatakan omong kosong.

"Kamu ngomong apa? Cemburu? Gak kok, buat apa juga? Justru aku ikut prihatin, gimana, sudah baikan belum sama pacarmu?" Jenna terlanjur malu mendengar hal itu.

Karena kesal, Jenna pergi meninggalkan kelas dan Amanda yang diam. Amanda menatap kepergian Jenna dengan berbagai macam gagasan dalam pikirannya, wajahnya memang tampak datar seolah dia tak memedulikan apa-apa, namun, jauh di lubuk hatinya, dia tak bisa menepis cemburu yang Jenna katakan tadi.

Memangnya sejauh mana kita saling mengenal bisa menjadi tolok ukur kedekatan? Masa lalu apa yang Jenna maksud? Hal itu berhasil menyita perhatiannya. Amanda menyimpan semua bukunya dengan asal-asalan, dia tak lagi berselera untuk melanjutkan bacaan saat pertanyaan yang dia sampaikan tak diketahui oleh William sang pemuda yang perlu menjawabnya.

Menyudahi ingatan itu, Jenna pergi keluar kelas menuju kelasnya. Gadis itu tidak lapar, bahkan dia takkan lagi memikirkan perutnya jika hatinya saja sedang menanggung beban.

Di sebuah taman sekolah, di bawah pohon besar yang dia jadikan tempat berteduh dari sinar matahari yang sedang panas-panasnya, Amanda menyantap bekal buatan Mama seperti hari-hari biasa. Dinikmatinya waktu santai itu tanpa memedulikan apa-apa terkait tanggapan murid-murid yang lewat.

Sampai suatu ketika Kehlani menghampiri, membawa buku tulis, menanyakan soal materi pelajaran yang tak dia pahami kepada teman dekatnya itu, "Man, boleh bantu jelasin ini gak? Susah banget, kalau lama-lama berusaha paham, bisa-bisa aku jadi gila." sadar bahwa punya Amanda sang peringkat 2 umum, maka semua ketidaktahuan Kehlani takkan lagi abu-abu.

"Gimana ceritanya Baskara nanyain kamu ke aku waktu liburan semester itu, Man?" setelah Amanda menjelaskan pertanyaan Kehlani, gadis itu berterima kasih, kini adalah saatnya Kehlani membahas hal barusan.

"Dia bilang, mau ngomong sesuatu tapi susah ngomongnya."

"Kapan?" celetuk Kehlani.

"Tadi pagi, kami gak sengaja ketemu di jalan waktu aku mau ke sekolah."

"HA?! KALIAN ADA APA-APA, KAN?" Kehlani terlalu bersemangat, Amanda menyatukan alisnya melihat tingkah gadis itu. Tidak ada yang tahu pasti, apa hal yang sebenarnya ingin Baskara katakan.

"Maksud aku, sejak kelas 10, aku sudah yakin kalau Baskara ada perasaan sama kamu." Amanda bosan mendengar pernyataan Kehlani, dia tidak yakin akan hal itu.

"Undangan makan malam untukmu seperti yang kukatakan waktu itu." Baskara menghampiri Amanda, menghalangi pemandangan di depan gadis itu dan digantikan oleh tubuhnya yang tinggi. Amanda terdiam, seolah waktu berhenti berputar, dia baru saja menyadari kericuhan murid-murid yang menyaksikan hal demikian.

"Mama yang membuat suratnya, ini bukan lelucon." Amanda menerima surat yang Baskara beri, dia menyimpan surat itu ke dalam saku.

"Man ...?" lirih Kehlani, tak percaya dengan apa yang dia lihat barusan ketika Baskara telah pergi.

"Pasti kamu mau dijadikan menantu sama, Mama Baskara!" pekik Kehlani, menganggap bahwa kejadian tadi adalah keajaiban dunia.

"Gak mau." tandas Amanda, memegang pipinya yang dingin. Amanda yang diundang makan malam, Kehlani yang pingsan.

Amanda menyusun wadah bekalnya setelah menghabiskan satu potongan buah terakhir, berjalan menuju kelas dengan tatapan lurus dan masa bodoh dengan tanggapan orang-orang sekitar.

William dan Amanda pulang bersama. Mereka jalan bersisian, Amanda memegang tasnya pakai tangan kiri, sesekali menaruhnya di depan dengan memegang menggunakan kedua tangan. William memperhatikan langkahnya, tampak sinar matahari yang terik kala itu sehingga menciptakan bayangan yang jelas terpantul di aspal.

Gadis itu tersenyum lebar saat William memberinya sebuah hadiah yang mana, Amanda tahu pasti itu benda apa. Benda itu sebagai hadiah untuk Amanda karena mendapatkan peringkat 2 umum, akan Amanda simpan dan dengarkan sampai waktu menjemputnya.

Dalam kebahagiaan karena telah diberi hadiah oleh William, ada bimbang yang dia tahan perihal undangan makan malam yang Baskara berikan.

Ngapain aku ambil ya undangannya?

***

AMANDA

You're MyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang