E 9 - Rencana

656 50 11
                                    

Lamunan Amanda yang tampak bertahan lama tanpa dia sadari membuat seseorang yang sudah berdiri di depan mejanya memilih diam. Amanda terlalu mencemaskan Kehlani dan menguras tenaganya untuk berpikir yang tidak-tidak. Gadis itu menopang dagu melemparkan pandangan ke bawah sana, melihat murid-murid yang berjalan dari gerbang melewati lapangan menuju kelas.

Tersadarkan dari lamunan panjang, Amanda melepaskan tangannya yang menopang dagu, memperhatikan kedatangan si sekretaris ke mejanya. Untuk apa gadis itu kemari, apa dia masih ingin membahas soal surat Kehlani?

"Maaf, Man, tapi aku mau bilang sesuatu." gadis bernama Fusia itu meremas jari jemari miliknya sambil terbata-bata karena ingin mengatakan sesuatu. Setahu Amanda, Fusia dan Rea itu menciptakan persaingan ketat, nilai mereka tak beda jauh, hanya beda 2 bahkan 1 angka.

Aduh, apa soal aku yang jadi wakil? Apa dia kena tegur, terus minta aku tanggung jawab?

"Gak masalah, katakan aja." Amanda melihat Fusia dengan intens, tindakan itu membuat Fusia semakin ragu untuk mengatakannya. Karena Amanda menyadari wajahnya yang kalau kata orang-orang sangat sentimen, Amanda memilih melepaskan segala aura itu. Kini gadis itu menghirup udara dalam-dalam, menerbitkan senyum dan berkata. "Akan kudengarkan."

Apa-apaan dia? Padahal aku sudah berusaha bersahabat, kok masih kaku? Memangnya kugigit?

Jenuh dengan sikap Fusia seolah-olah Amanda mengintimidasi gadis itu, padahal Amanda tak bersikap otoriter, akhirnya gadis itu bangkit dari duduknya dan berdiri. Melalui tatapannya, Amanda mengajak Fusia keluar agar bisa mengobrol dengan leluasa, tersadar bahwa Amanda lagi-lagi terlihat mengerikan, akhirnya gadis itu tersenyum, "Ayo, biar lebih enjoy." ajaknya sambil memegang tangan gadis itu.

Mumpung jam pelajaran pertama belum dimulai, Amanda sedikit lega karena banyak waktu untuk tahu apa sih yang hendak Fusia katakan?

Baskara memperhatikan Amanda dan Fusia keluar kelas, bersarang dalam benaknya perihal permintaan maaf seperti yang Mama ajarkan, namun, Baskara bingung harus mulai dari mana.

"Gak usah repot-repot masak, Ma. Baskara sudah tanyakan soal kedatangan Sasi, dia bilang dia takkan datang." mengetahui betapa tekun Mama memperlajari cara memasak pastri khas Eropa, membuat Baskara tak mau usaha Mama sia-sia.

"Coba ceritakan, gimana mulanya kok bisa sih Sasi menolak? Mama membuat undangannya sepenuh hati, kalau pakai perasaan, jarang mengecewakan." begitu papar wanita berwajah teduh itu, mengukir senyum sambil memperhatikan Baskara dan menunggu jawaban anaknya saat sarapan tadi.

"Baskara tanya ke dia soal undangan itu, dia bilang akan dia kabari nanti karena lagi mikir, Baskara jawab, kan otak dia otomatis, ngapain perlu mikir? Dia kesal, kalau Baskara gak mau nunggu ya sudah, dia gak datang. Dia juga bilang, kalau dia gak mau ngomong sama Baskara lagi." pemuda itu meneguk susunya, Mama tertawa lepas.

"Aduh, Abang, kamu ini gimana, sih? Masa, gak bisa menangani kasus begituan? Belajar sama Papa, semua beres." sahut Papa mendengar cerita Putranya, teringat masa 90an di mana cinta diuji di situ Mama didapatkan. Usaha Papa mendapatkan cinta Mama adalah kesulitan yang dia nikmati, bahkan tak sangka, kalau gadis yang tersenyum setahun sekali itu telah menjadi milik seorang pria yang selalu membuatnya kesal.

"Yang ini beda, Pa. Dia cewek yang jutek, galak, kesabaran setipis tisu. Susah."

"Kamu ini," Mama mengacak rambut Baskara karena meledek Amanda, "sok cuek padahal suka. Kurang-kurangin gengsi, yakin, pasti Sasi akan nyaman."

"Nyaman gimana? Setiap saat dia baca buku, jarang bergaul anaknya."

"Justru cewek kayak gitu tuh yang paham soal cinta, kelihatan kaku, tapi semua penuh penilaian samanya, Sayang. Minta maaf padanya, moga aja dia memaafkan kamu."

You're MyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang