E 23 - I'm Not Fine

120 20 8
                                    

Ini bukan tentang siapa yang salah, namun siapa yang berkenan mengalah, dan seharusnya, William harus melakukan itu. Amanda berdiri di depan kelas William, menarik napas dalam tatkala murid-murid mulai keluar kelas. Gadis itu berdiri tanpa memedulikan tanggapan orang lain terkait keberadaannya, biar saja mereka mau menganggap apa. Mau dirinya dianggap sebagai patung kuda, pohon cemara, pilar, tiang bendera, atau apa saja, dia takkan peduli.

Dikedua tangannya terdapat tas sekolah dan tas bekal yang dia bawa pagi tadi, lebih tepatnya Abikara dan Baskara, di mana, pada saat itulah terjadi peristiwa yang tidak biasanya. Mengapa William bersikap demikian? Apakah Amanda ada salah? Ah, mana mungkin, Amanda saja tidak ada bertemu dengannya sebelum itu, apa iya, gadis itu alasan dia begitu?

Bahkan untuk membalas sapaan anak IPA yang menyapanya saja dia malas, walau sekadar menaikkan dua sudut bibirnya. Gadis itu mulai kesal, di mana William, apa dia cinta damai, sehingga membiarkan seisi kelas keluar lebih dulu dan dia menjadi manusia terakhir yang keluar dari sana sehingga membuat Amanda menunggu semakin lama dan keburu bosan terhadap dua manusia yang bukannya pulang tahu-tahunya malah menghampiri Amanda.

"Amanda, kan? Anak Bahasa?"

Gak, anak mama.

Meskipun mereka ramah, itu tidak cukup kuat untuk membuat Amanda tersenyum, bahkan meskipun terpaksa. "Iya." lalu dia memilih pergi masuk ke kelas karena tidak juga menemui William dan mengabaikan salah satu dari gadis itu yang baru saja hendak bicara. Sesampainya di dalam kelas, Amanda menganga, matanya menyipit, tidak ada William di sana.

"Baru aja mau aku bilang, William gak ada. Sudah pulang setengah jam lalu."

"Kok tau aku nyari, William?" Amanda membalikkan badannya menghadap gadis-gadis itu, wajahnya datar sekali, keduanya canggung.

"Memangnya apa lagi, alasan seorang Amanda menginjakkan kaki di gedung IPA?"

Shit! 'Seorang'? Lebay banget anjay.

"Oke ... kenapa dia pulang lebih awal?"

"Katanya ada urusan mendadak."

"Sendirian? Atau sama seseorang?"

"Sama, Jenna."

Anjir. "Thank you, Girls."

Amanda berlari menyusuri koridor, melewati murid-murid yang hampir keluar dari gedung IPA. Di lapangan, dia semakin mempercepat langkah kakinya tatkala kemungkinan terburuk terlintas dalam benaknya. Seseorang memanggilnya, berkali-kali, semakin meninggi volumenya sebab menyangka Amanda tidak mendengar, gadis itu memejamkan matanya, menghela napas panjang dan membalikkan badannya menghadap Baskara.

"Buru-buru banget? Ngejar apa sih, Sas?"

"Urusanmu? Ada apa? Sudah tau memang buru-buru." Amanda membuang muka, mengeratkan jemarinya yang memegang tas.

"Soal Sasi si kucing ..., aku takut merepotkanmu kalau lama-lama sama kamu."

"Gak sama sekali, maaf, aku buru-buru. Nanti kita bicarakan, ya?" Baskara menyatukan alisnya, Amanda berubah 180° dalam waktu sekejap, sejenak dia tampak kesal sebelumnya, kini, dia tampak tak karuan dan Baskara tidak senang melihat hal itu.

Baskara menatap punggung kecil gadis itu, semakin jauh, hilang di kelokan, perasaannya berkecamuk, bergumam. "Pasti karena, William."

***

"Memang gak ngasih tau mau ke mana, Bun? Kok Bunda gak larang? Padahal perginya sama, Jenna." Amanda menunduk kecewa, dia terlambat, William tidak ada di rumah, bahkan tidak sempat pulang barang mengganti pakaian.

"Bunda gak tau, Nak. William, gak ada bilang apa-apa. Bahkan Bunda baru tau kalau dia sama, Jenna." Bunda mendekati Amanda, memegang dagu gadis itu untuk menaikkan pandangannya, jarinya menyelipkan rambut Amanda ke daun telinga, berujar lembut. "Gak apa-apa, Sayang. Gak ada yang perlu dikhawatirkan, semua baik-baik aja, hem?"

Tidak, pasti ada apa-apa. Entah mengapa kali ini, informasi dari Manaf begitu mampu menyita perhatiannya, dia tersugesti, padahal boleh jadi, Manaf sedang mengelabuinya.

"Iya, Bun, Manda cuma mau tau aja." senyumnya terbit, menampilkan sikap tenang untuk menutupi emosi yang sebenarnya siap berkobar.

"Ayo makan siang dulu, Bunda sudah masak banyak makanan. Pasti kamu bakalan suka!"

Sampai akhirnya kala mentari hendak undur diri untuk membiarkan bulan menggantung di langit, William tak juga pulang. Pun pesan-pesan yang Amanda kirimkan, tak juga mendapat balasan, padahal pemuda itu sempat online. Apakah William sudah menemukan waktunya, yang mana menjadi giliran untuk dia mendapatkan balasan rasanya?

Amanda pulang menuju rumah, berjalan gontai sembari menunduk dalam. Untuk memaklumi semuanya, Amanda mengingat kembali pertemuan terakhir mereka. Seingat gadis itu, semua baik-baik saja, tidak ada pertengkaran antara keduanya.

Kesal, gadis itu mengambil ponsel dari kantong seragam, membuka kunci dan masuk ke aplikasi obrolan dan telepon, mencari nama William dan masuk ke ruang obrolan, merekam suaranya dari fitur obrolan tersebut, "DASAR WILLIAM JAHATTT! KAMU JAHAT, POKOKNYA JAHAT!" lalu mengirimnya. Centang dua, William online, kini dua centang abu telah membiru, William mendengar pesan suara Amanda. Amanda bodo amat, menyimpan ponselnya dan berlari pulang menuju rumahnya.

***

Sampai akhirnya rembulan telah menggantung di langit, menghiasi malam, memancarkan warna keperak-perakan, Amanda masih susah hati. Gadis itu tidak keluar kamar, seragam sekolah masih melekat di tubuhnya. Ketukan pintu tidak lagi dia dengar, tangisnya menjadi satu-satunya suara.

Gadis itu menenggelamkan wajahnya ke bantal untuk meredam tangis dengan posisi menelungkup, biar saja Sasi melihat betapa dia sedang kacau saat itu, Amanda semakin menyayangi Sasi sebab sejak gadis itu masuk ke kamar dan melempar tas-tasnya, Sasi betah bersandar di hadapannya dan mendengar tangisnya dengan takzim.

Mata Amanda yang dibanjiri air mata membulat, gadis itu bangkit dari posisinya dan duduk bersila, mengambil Sasi dan menaruhnya di atas pangkuan. "Tapi kamu jangan cerita ke Baskara kalau aku cengeng. Malu tau, nanti diledekin dia. Janji?" Amanda tersenyum lepas, tertawa saat melihat Sasi yang amat lucu. Amanda memeluk kucing itu, kamar yang minim pencahayaan satu-satunya jalan yang dia percaya untuk menyembunyikan sakit yang tidak mau sembuh.

Mama khawatir, mengapa Amanda seperti itu? Apa yang terjadi pada putrinya, tidakkah dia tahu, hal itu membuat hatinya hancur? Begini saja dulu, Amanda sedang ingin sendiri. Gadis itu memberikan secarik kertas dari celah bawah pintu berisi bahwa dia baik-baik saja.

***

AMANDA

You're MyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang