E 14 - Masih Bertengkar

561 50 5
                                    

Rasa kecewa yang masih menyelimuti Manaf bahkan setelah Jenna memutuskan hubungan dengan keputusan sepihak, masih mampu membuat pemuda itu merindukan mantan pacarnya itu. Sehari tanpa bersama Jenna, terasa bagai berwindu-windu, apa jadinya jika satu bulan, boleh jadi, berabad-abad bukanlah hal berlebihan? Alay memang, namun begitulah adanya.

Ada begitu banyak hal yang dia tinggalkan akhir-akhir ini, dinding kamarnya adalah pembatas paling kokoh, sehingga sebuah rasa yang kecewa itu tak terdengar oleh orang-orang bahkan orang tuanya. Mendapati anak mereka yang sedikit murung, membuat sang ibu hanya maklum. Beberapa kali beliau bertanya, Manaf menjawab bukan masalah.

Cih, bukan masalah dari mana? Kalau bisa bertindak, mungkin dinding kamarnya memilih roboh; sebab muak melihat sang tuan yang amat senyap. Manaf menyimpan kedua tangannya di dalam saku, menatap gadis yang bahagia melihat yang selama ini dia inginkan. Seharusnya sedari awal Manaf sadar dan tak salah mengambil kesempatan bahwa Jenna selalu menganggap Manaf bukanlah orangnya.

Betapa Jenna mampu cekikikan bersama teman-teman gadis itu, menonton William yang sedang latihan di tengah lapangan basket dengan sorak-sorai dari keramaian gadis-gadis. Manaf memandang wajah Jenna, bahagia sekali gadis itu, tak pernah Manaf lihat ekspresi itu saat dia bersamanya.

Memang bukan dia, bukan dia yang Jenna inginkan. Baiklah, jika Manaf tak mampu membuat Jenna luluh, lalu bertahun-tahun itu dia anggap apa? Tidakkah ada secuil rasa yang Jenna berikan untuknya? Atau sedari awal, rasa itu memang tak pernah ada? Lantas 3 tahun itu untuk apa, untuk menemani kekosongan atau karena Jenna kasihan?

Pada saat itu Manaf berpikir positif, dia mengesampingkan egonya dan mulai memahami Jenna. Dipikir-pikir seharusnya tak berlebihan jika Jenna yang mulai belajar untuk mengerti perasaan pihak yang satunya lagi. Manaf juga butuh itu, karena tak mau kehilangan gadis itu, dia rela mengabaikan perasaan diri sendiri. Sialnya, yang dia perjuangkan malah usai dan kini status mereka adalah mantan.

Bahkan sebelum memulai pelajaran, dia telah lelah duluan oleh kenyataan pagi hari. Pemuda itu membalikkan badannya untuk kembali menuju kelas, namun urung saat terdengar teriakan Jenna, "William, semangat latihannya! I love you!" dan melihat pada saat itu juga William mengacungkan ibu jarinya pada Jenna. Serta-merta Manaf melihat ke arah Amanda, gadis yang berdiri di belakangnya dengan pandangan lurus mengekori William seraya melipat tangannya di depan dada

Manaf berdiri di sebelah Amanda, memperhatikan gadis itu dengan takzim. Pandangannya kembali ke arah Jenna dan lapangan tepat di mana William beraksi. "Soal tawaran kerja samaku, yang, yeah, gak banget."

Ada yang merasakan hal yang sama. Sepertinya Amanda tengah merasakan apa yang Manaf rasa, patah hati barangkali? Manaf menunduk, "Kayaknya aku bersyukur karena kamu menolaknya." imbuh pemuda itu, memperhatikan Amanda dengan sorot matanya yang luyu serta wajah yang kuyu.

"Gak perlu aku tanya kenapa, kan?" gadis itu menarik napas, memasang ekspresi maklum kemudian menaikkan bahunya dengan singkat.

"Kamu tau kenapa?"

"Memang harus aku kasih tau? Jadi, masalah gak sama kamu, karena itu personal?" tanya Amanda dengan mata yang melihat Manaf, memperhatikan pemuda itu karena membatu.

"Terlalu kentara banget, ya?" tanyanya skeptis, pikirannya mencerna dan meralat, "atau kamu yang terlalu cermat?"

Begitulah kisah para remaja, yang menyuka yang lain dan yang lain menyuka yang lainnya. Amanda bingung, dia harus apa? Sudah berapa hari dia tak berbicara dengan William? Dia tak perlu gengsi bahwa dia merindukan pemuda itu. Melihat William di lapangan basket agar rindu terobati, yang ada, malah muak karena mendengar "I love you!" yang Jenna teriakan.

"Itu kan memang final chapter dari hubungan yang 'tidak saling'." timpalnya dengan suara pelan, senyum tipis terbit dari bibirnya.

"See eye to eye." ujar Manaf lirih.

"Perlu strategi yang tepat, tawaranmu gak bermutu, sih." timpal Amanda, ironinya Manaf malah tertawa kecil mendengar kalimat itu alih-alih merasakan sakit hati.

***

Sekembalinya Amanda dari lapangan basket, kelas yang terakhir kalinya dia lihat sepi, kini sudah ramai. Bahkan, semua murid Bahasa sudah sampai. Amanda memasuki kelas, perhatiannya tertuju pada Kehlani yang berdiri di samping meja Fusia, gadis yang paling aman di tengah hiruk gadis-gadis dengan idola masing-masing. Seperti yang Amanda tahu, gadis yang senang dengan warna akromatik—terlihat dari barang-barang yang dia kenakan, memiliki hubungan spesial yang belum mempunyai nama dengan ... Abang Kehlani.

"Katanya buat kamu. Semoga suka, jangan ditolak. Yang jual gak mau dikembalikan. Kalau ada masalah, nanti, kalau dia sudah lengang, dia akan jumpain kamu langsung."

Fusia menatap benda berbalut kertas satin itu, tak perlu dia tebak dia sudah tahu itu benda apa. Gadis itu menghela napas, ingin mengabaikan kehadiran Kehlani namun tak berjalan mulus sebab sebuah pernyataan keluar dari mulut lawan bicaranya.

"Percayalah. Dia sudah janji, kalau ingkar, aku yang akan bawa dia ke kamu."

"Tiga bulan lalu dia juga bilang gitu. Sampai sekarang, hasilnya apa? Kalau lengang, lah. Kalau gak sibuk, lah. Kalau urusan cepat selesai, lah. Kalau ini, kalau itu, semua sudah dia jadikan alasan. Bawa balik benda itu, aku gak mau." ucap Fusia, dia takkan baik-baik saja dengan pengalihan yang diberikan.

Kehlani melongo tak percaya, sulit menjelaskan situasi pihak satu dengan situasi pihak satunya lagi. "Waktu itu kan aku gak bertindak. Kalau terjadi, aku yang akan urus, semua bakalan aman. Percaya sama aku?" gawat, jika Fusia menolak, Kehlani akan kenyang diomelin.

"Gak usah repot-repot. Aku gak apa-apa. Tapi maaf, aku benaran gak bisa terima." Fusia menyodorkan benda itu mendekat ke arah Kehlani, Kehlani menggigit bibir bawahnya singkat.

"Yakin? Katanya, kalau kamu nolak, lebih baik buang aja. Daripada kembali ke dia karena kamu ngambek." jika bujukan kali ini tak mempan, Kehlani tabah, dia akan menguatkan hatinya menerima omelan dari sang Abang. Untung saja Kehlani mau menerima Fusia menjadi calon iparnya, bila tidak, mungkin dia kan melempar benda itu ke wajah Fusia bila Fusia tak mau menerima.

"Aku ambil. Tapi aku tetap kesal, bilang samanya kayak gitu."

"Siap!" seru Kehlani sambil tersenyum lebar, mencolek pipi Fusia sambil menaikturunkan alisnya guna menggoda. "Kali ini dia gak akan berdalih, aku menjamin." Kehlani balik ke kursinya dengan perasaan lega.

"Hai, Man! Pagi-pagi sudah cemberut aja. Siapa pelakunya? Kasih tau, nanti akan Kehlani urus!" katanya bangga, meninggikan dagu seolah dialah superior.

"Gak ada, siapa yang cemberut?" Amanda tersenyum simpul, memperhatikan air muka temannya yang tampak gembira.

"Jangan sungkan, kayak sama siapa aja? Oh iya, gimana soal undangan? Kapan undangan, kayaknya aku nanya itu dari minggu lalu tapi gak tau-tau juga."

Amanda mengeluarkan buku-bukunya sambil menjawab pertanyaan Kehlani. Dia baru sadar soal itu, hari ini ialah hari Selasa, undangan makan malam Baskara adalah hari, "Sabtu ini, Lan."

"Waw! Ceritakan ke aku ya, kira-kira mama dia sudah rencanakan tanggal pernikahan kalian belum. Kalau sudah, aku siap jadi bridesmaid kamu." Kehlani tertawa keras, sakit perutnya melihat wajah Amanda yang tak peduli namun tampak kesal. Dia beruntung karena Amanda tak mengeluarkan jurusnya, ah, soal itu, Amanda itu jago karate, sabuk hitam pula.

Rea memperhatikan Amanda, gadis itu tampak santai memperhatikan Kehlani yang tertawa entah karena apa. Karena Amanda, dia tak dapat pergi bersama Baskara ke pagelaran, dia harus apa sih, agar Baskara mengerti dirinya? Rea membuang muka, menidurkan kepala di atas meja sambil mencoret-coret bukunya, membayangkan kalau itu adalah wajah rivalnya.

Baskara tersenyum kecil, berusaha tidak salah tingkah ketika diam-diam memperhatikan gadis yang mencuri perhatiannya sejak awal tahun SMA. Ah, malam minggu terasa lama, dia tak sabar.

Will, kok kamu gak usaha lagi, sih? Ngobrol kek, walaupun aku diam, tapi aku tetap mau dengar.

***

AMANDA

You're MyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang