E 8 - Tiga Masalah

662 51 15
                                    

Suram betul sikon rumah besar yang berdiri kokoh itu, megah bangunan itu seakan sia-sia tatkala pertikaian baru saja lengah. Tidak ada pecahan kaca akibat sasaran amukan untuk manifestasi kemarahan antara pasangan suami istri itu. Sayang sekali, apa yang tampak tak selalu adalah keadaan sebenarnya. Ada yang hancur, remuk, bahkan pura-pura utuh padahal runtuh.

Gadis itu tak akan menaikkan pandangan kalau bukan karena lelah, di saat terpuruk seperti ini kenapa tak terlintas dalam pikirannya untuk mengakhiri segalanya? Bukankah kalau dia tiada, maka rasa sakit itu tiada pula?

Jarum jam telah berjalan melewati 5 angka dari kejadian itu, malam yang kelam dari malam lainnya telah dia lewati dengan hati yang sedikit membaik karena baru saja terbangun dari tidur. Gadis itu berdiri lalu menghampiri nakas dan mengambil ponsel untuk pergi dari rumah.

Nyenyak sekali tidur malamnya kala itu sampai-sampai dering ponselnya masuk ke dalam mimpi. Ini adalah kali pertama baginya mengalami hal demikian, seumur-umur, dia tak pernah sampai memimpikan dering ponsel.

Amanda bangkit dari tidur, melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 3 dini hari dengan begitu yakin walaupun matanya belum terbuka sempurna. "Kehlani?" Amanda memandangi layar ponsel yang menampilkan nama temannya itu.

"Halo?" ujar Kehlani saat Amanda menerima teleponnya, "Man, boleh minta tolong?"

"Halo? Ada apa?"

"Tolong buatkan surat untukku, aku izin gak masuk, mama dan papa bertengkar."

"Kamu di mana?" Amanda turun dari kasurnya, tidak sabar dengan Kehlani yang terlalu lama menyahut, "Tunggu di sana, aku susul kamu sekarang."

Kehlani kaget ketika Amanda yang hidupnya penuh dengan bekal atau paling tidak adalah buku, tiba-tiba rela ingin menghampirinya.

"Gak usah, Man. Aku baik-baik aja, tolong yang tadi, ya?" seakan dapat melihat sorot mata Amanda yang tajam, Kehlani menelan saliva sambil mengubah arah posisi ponselnya.

"Tunggu di situ, aku susul kamu—" sebelum Amanda bersiap pergi, sahutan Kehlani lebih dulu menghentikan pergerakan gadis yang masih memakai piama itu. "Percuma, aku gak di rumah. Aku di rumah saudara. Makasih, ya, Man buat bantuannya."

"Gila ya kamu, ini jam 3 tau, Lan, jangan bego. Aku tau kamu gak punya saudara di sekitar sini, jangan bohong."

"Buktinya aku bisa telepon kamu? Itu artinya, aku baik-baik aja. Makasih banyak sudah mau kurepotkan dan khawatirkan aku, aku beruntung bisa kenal kamu." ah, mungkin ini adalah alasan mengapa Kehlani tak pernah berpikir mengakhiri segalanya, dia masih punya Amanda; alih-alih siap diumpat gadis yang kalau melihat orang seolah semua orang menyebalkan di matanya, Kehlani geger dengan nada khawatir yang terdengar jelas dari suara Amanda.

"Maaf mengganggu tidur kamu, terima kasih banyak." sambungan telepon terputus. Celaka, ada yang lebih parah dari tak bisa berbuat apa-apa; Amanda tak tahu rumah Kehlani di mana meskipun dia tahu alamatnya.

***

Supaya tidak ada yang mengajaknya mengobrol, Amanda memilih membuka buku-bukunya dan mulai membaca. Terus terang, meskipun kelas amat ramai, namun hal itu tak mengusik ketenangan Amanda, karena ... dia sendiri tidak tahu sedang membaca apa.

"Tanda tangan orang tuanya mana, Man?" tanya sekretaris dari mejanya, kedua meja gadis itu cukup dekat.

"Pakai tanda tanganku, aku yang wakilkan." Amanda menoleh kepada temannya yang berada di belakangnya kemudian dengan serta-merta kembali berpura-pura membaca buku.

"Apa?" bukannya tidak dengar, hanya saja sang sekretaris kelas Bahasa 12-A itu tidak paham mengapa Amanda menjadi wakilnya.

"Bisa diam gak? Kamu berisik." sekretaris itu dibuat terdiam, seolah paham bahwa Amanda sedang jengkel, gadis itu memilih menyudahi dan membiarkan Amanda berakting.

You're MyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang