E 21 - Prima

131 18 11
                                    

Rea tidak akan bertanya mengapa tidak sedari dulu dia mendapati perasaan lega ini? Jawabannya, karena Rea sendiri yang memilih memikul perasaan itu bersamaan dengan harapan-harapannya yang terlalu memaksakan segala sesuatu sebagaimana yang dia inginkan.

Nyaman sekali nyatanya, mencoba ikhlas, bukan karena mengalah, bukan kalah, hanya saja; agar tidak lelah. Rea harus menyayangi dirinya sendiri, berbaikan dengan semesta, biarlah si dia, bersama yang menjadi pilihannya.

Kapan terakhir kali dia merasa ramai? Sebelum mengenal Baskara. Sejak kenal Baskara, menyatakan bahagianya adalah pemuda itu, sejak itulah Rea kehilangan kewarasannya. Rea mengaku salah, menggantungkan segala bahagianya pada Baskara, sementara, pemuda itu sibuk pada gadis lain.

Perasaan memang suka tantangan, sialnya, tantangan yang benar-benar menantang pula; menyukai seseorang yang kita tahu pasti menyukai orang lain, lebih sialnya, padahal dia tahu kita suka padanya. Begitulah hidup, kadang di atas, kadang bertepuk sebelah tangan.

Gadis itu ke sekolah jalan kaki, menjemput teman baiknya, Prima. "Prima ada, Pak?" tanyanya sesampainya di rumah Prima, satpam itu tersenyum ramah, "Saya panggilkan, ya, None."

"Makasih, Bapak!" sahut Rea ramah nan ceria.

"Ini dia, ini baru teman aku!" seru Prima tatkala menghampiri Rea, keduanya melangkah menuju sekolah, berbicara sepanjang jalan. Prima senang sekali, ketika bahagia Rea yang dia tunggu-tunggu, akhirnya tiba.

"Jadi selama ini gak teman?"

"Teman dong! Tapi ini teman banget!"

Rea tertawa ceria, "Makasih ya sudah ada dalam segala kondisiku. Pulang sekolah mampir ke restoran depan pertigaan gimana? Aku traktir!"

Senyum Prima semakin lebar, "Ayo!" dirangkulnya Rea, keduanya ketawa keras.

"Mau seburuk apa pun keadaannya, kalau kamunya baik-baik aja, semua akan baik-baik aja. Yakinlah, Rea." Rea membalas rangkulan Prima, dia sudah menganggap gadis itu sebagai kakaknya.

***

"Fidah ke rumah, Abang." ucapnya sembari mendongak guna menggapai wajah pemuda di depannya itu.

Ditinjau dari pengalaman teman sebayanya, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan bila berbicara dengan seorang gadis yang sedang merajuk. Biarpun nada bicaranya amat stabil, namun ekspresi itu jelas sekali tampak solot.

"Iya, Manda sudah kasih tahu. Maaf ya, Dek, kan hari Minggu memang selalu di luar." paparnya, diikuti senyum ramah agar tak terlihat seperti hendak memulai perdebatan yang bila itu muncul ke permukaan, menyerah sajalah, Abikara kalah.

"Tapi kenapa nomornya gak aktif? Gak biasanya kayak gitu." pertanyaan yang mengandung makna tersembunyi itu bisa membahayakan posisi Abikara—kalau-kalau dia tidak pandai menanggapi.

"Kan Abang golf, kalau golf, wajar nomornya gak aktif." alasan paling logis itu terpatahkan tatkala serta-merta Fidah menyahut.

"Tapi minggu lalu Abang telepon Fidah, Abang bilang kangen, kita ngobrol 21 menit 4 detik." Abikara hampir saja menyemburkan tawa ketika dilihatnya wajah polos gadis itu, lucu nian, kalau lagi cemburu begini, bawaannya ingin cepat-cepat dinikahkan, eh?

"Gak melulu harus gitu dong, semuanya tergantung sikon, Dek. Abang minta maaf ya, sekarang kamu maunya gimana? Abang harus jelasin apa, ada yang ganjal sama kamu?"

"Tuh kan, bukan tergantung sikon. Abang, memang sengaja."

Bahaya, Abikara sudah di ujung harapan, harapan untuk mengira segalanya akan mudah. Fidah tampak tak bersahabat, harus dengan apa, agar dia bisa memenangkan hati gadis itu? Ah, sial sekali, bisa-bisa gadis itu akan mengamuk, habislah dia. Begitulah hidup, kadang di atas, kadang bingung membujuk gadis, sulit sekali persoalan ini; setidaknya bagi Abikara.

"Maaf, Abang minta maaf, ya?" Abikara membawa gadis itu dalam dekapannya, mengelus kepala Fidah yang rambutnya panjang nian, harum, berwarna dark brown.

Fidah memejam, merasakan kehangatan dekapan Abikara, ah, kini, segala amarah dan cemburu dalam dirinya, telah hilang. Fidah yakin, Abikara tidak ada hubungan apa-apa dengan Sania, hanya saja, dia tetap cemburu, bagaimana membayangkan betapa Sania menyukai Abikara dengan macam-macam cara.

Pertanyaannya, mengapa Fidah mampu, mengetahui durasi selama 21 menit 4 detik?

***

"Ramai." ujar Rea sembari memperhatikan orang-orang yang tengah asyik pada kegiatan masing-masing. Prima memberi angguk kemudian berjalan menuju meja yang Rea tawarkan, sesampainya di sana, kedua gadis itu sama-sama diam.

"Mending di sana aja gak, sih?" ragu Rea setelah keduanya diam, menunjuk meja dengan posisi yang sama hanya saja beda arah; sebelah kanan.

"Keburu tutup, Rea, kalau kelamaan milih meja. Di sini juga bisa." Prima menaruh barang bawaannya, menarik napas panjang dan mulai menikmati suasana restoran yang lumayan memberi kesan damai. Tetap saja, meskipun tidak bising, namun bisikan-bisikan pasti terdengar.

Datanglah seorang pelayan, mencatat pesanan mereka setelah sempat memilih antara iya atau tidak, antara ada dan tiada, antara daripada dan mendingan, kemudian pelayan pergi untuk segera menyiapkan tugasnya.

"Cape banget ya hari ini, tapi seru! Kok aku jadi sedih ya, masa-masa kayak gini bakalan berakhir. Sebentar lagi kita tamat." lesu Prima, memegang kedua pipinya yang terasa dingin, bahunya melorot.

"Semua tergantung kita, kalau sama-sama mau, semua beres. Gak ada yang perlu dikhawatirkan." yakin Rea menyemangati, gadis itu memejamkan matanya, lelah sekali seharian memperhatikan pantulan proyektor.

"Benar sih, kita sama-sama terus kan? Kamu jangan sedih lagi, masa muda terlalu sia-sia kalau kebanyakan mikirin soal cinta."

"Pasti dong! Siap! Tapi boleh?"

"Tergantung. Kalau banyak positifnya, silakan. Kalau minus positifnya, abaikan." keduanya sama-sama tergelak bersamaan dengan datangnya pesanan mereka. Pelayan menyusun wadah-wadah ke atas meja, pergi setelah sama-sama berterima kasih.

"Kok pakai jagung?" Rea lesu, mendorong piringnya dengan kecewa. Padahal dia sudah memesan tidak pakai jagung.

Serta-merta Prima yang melihat hal itu mengambil tisu, menaruhnya di atas meja, meraih sendok dan memisahkan butir-butir jagung ke atas tisu dari campuran buncis dan wortel.

"Apa perpisahan adalah jalan terbaik?"

"Iya, kalau memang perlu." Prima menyodorkan piring itu ke Rea, Rea tersenyum manis, Prima selalu menjadi jalan keluar terbaik dalam persoalan kecil hidupnya.

***

AMANDA

You're MyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang