E 6 - Berbaikan

624 51 0
                                    

Jika ditanya mengapa dia melewatkan sarapan pada hari pertama sekolah setelah libur antara akhir bulan sampai pertengahan bulan, tentu saja, dia takkan menjawab. Gadis itu berlari keluar rumah setelah mencium pipi Mamanya, mengabaikan teriakan beliau berkenaan dengan sarapannya. Dia buru-buru karena takut ketinggalan momen yang dia nantikan, daripada kelewatan, lebih baik dia berkorban; tidak masalah melewatkan sarapan satu hari, nanti dia beli makanan di kantin saja.

Di perempatan jalan, terlihat lalu-lalang kendaraan roda dua maupun roda empat, dia bersandar di tembok pembatas rumah orang sambil melipat tangannya di depan dada, menghasilkan bunyi dari sepatu yang dia ketukan ke aspal. Sekitar 10 menit berlalu namun yang dia tunggu tak kunjung datang. Ada apa gerangan, bukankah pemuda itu selalu tampak pada saat sejak pertama kali dia menunggu di sana?

Hampir 20 menit penantian gadis itu sehingga tampak seperti orang aneh yang tak tahu sedang apa, dia mencuca, matanya tampak luyu, bahkan sejak tadi, dia sudah jemu dengan tatapan orang-orang lewat yang melihatnya.

"Dia mah memang gak gampang ditebak. Seandainya aku sarapan, mungkin aku sudah kenyang." dia memaki kebodohan sendiri, seharusnya dia tak melewatkan kebiasaan pagi. Bergegas dari sana, gadis itu melanjutkan perjalanannya menuju sekolah.

Sialnya, di pertengahan perjalanan, dia menenukan yang ditunggu bersama gadis lain. Mereka sedang mengobrol, di ujung kelokan, tampaknya tengah serius, gadis itu menunduk menatap sepatunya, pemuda itu menunduk melihat si gadis. Dia itu benar-benar hobi menatap Amanda ya? Seolah tak menangkap gadis itu dalam netranya, seakan Bumi hendak runtuh.

Rea bersembunyi di balik tembok, menguping baik-baik pembicaraan yang mereka bahas. 5 menit berlalu, mereka sama-sama membisu, ada apa ini? 30 menit waktunya telah habis sia-sia untuk menunggu, yang ditunggu, malah bersama rival dia pula, benar-benar mengecewakan.

"Kamu ngapain nyariin aku sampai-sampai nanya ke, Kehlani?" oh inilah yang Rea inginkan, dia menelinga sambil memicing curiga, belum paham pada pokok pembicaraan mereka.

"Aku mau ngomong tapi susah ngomongnya." timpal Baskara terlihat linglung. Rea kesal setengah mati, ke mana gelagatnya yang anti pada semua orang, lihatlah dia, tampak seperti hendak menyatakan perasaan saja, seakan takut ditolak cintanya.

"Kalau sudah tau mau ngomong apa, silakan. Aku duluan." Amanda meninggalkan Baskara yang terlihat memaki diri akan ketidakpandaiannya terkait hal yang tampak ingin dia bicarakan, dia memasrahkan diri melihat kepergian Amanda sebab sadar bahwa itu kesalahannya telah membuang waktu gadis itu.

Rea menahan napas saat Amanda hendak melewati jalan menuju sekolah yang mana jika dia tak berupaya demikian maka boleh jadi dia akan ketahuan, gadis itu berjalan dengan cepat seolah-olah tak mau diganggu siapa-siapa lagi.

Keluar dari persembunyian, Rea berlagak seolah tidak tahu-menahu, dia menghampiri Baskara.

"Selamat pagi, Baskara! Aku gak nyangka kita bakalan jumpa di jalan begini, mau ke sekolah kan? Samaan yuk?" Rea memasang ekspresi senang, wajahnya ceria sekali, Baskara ingin sendiri dulu saat ini, bagaimana bisa dia membiarkan Rea pergi bersamanya sebab sudah jelas gadis itu akan mencerocos sedang dia perlu waktu untuk berpikir?

"Sori aku gak bisa." Baskara pergi meninggalkan Rea yang melongo, gadis itu menatap kepergian Baskara sambil membatin. Memang sakit ya kalau kita tidak saling? Gadis itu menggeleng saat sadar tak boleh bersedih, semua butuh waktu, suatu hari pasti Baskara menaruh cinta kepadanya.

***

Di kelokan menuju gerbang SMA, Amanda dibuat menarik napas dalam saat melihat William duduk di bangku yang biasanya digunakan untuk menunggu jemputan murid SMA Garuda, Amanda berpura-pura tidak tahu dan berjalan tanpa menghiraukan William yang sudah berlari menghampirinya saat sadar kehadirannya.

Perasaan macam apa yang dia alami, bukankah dia rindu pada William dan ingin William kembali membujuknya? Namun saat melihat William, dia malah bertingkah sebaliknya. Semua itu terjadi karena kekecewaan yang dia rasakan, dia tak percaya saat William memilih bersama Jenna dan membatalkan janji mereka tanpa sebuah kabar.

William diam mengikuti langkah kaki Amanda dari belakang, dia bingung harus memulai dari mana. Jikalau dia salah bicara, boleh jadi gadis itu akan semakin kesal dan niatnya untuk memperbaiki kesalahpahaman malah semakin fatal.

"Pasti liburan kamu menyenangkan, aku sengaja gak kirim pesan apa-apa supaya kamu tenang. Moga aja hal itu benar-benar terjadi. Kalau sudah terjadi, kuharap kamu bersedia mendengarkan penjelasanku."

Amanda sadar dia telah kecewa dengan perbuatan William yang terus terang gadis itu juga sadar bahwa pemuda itu tidaklah sengaja. Dia yakin dengan apa yang William katakan, hanya saja mendengar dan mengingat kembali apa yang Jenna katakan, kesadarannya menepis untuk mengerti posisi William.

"Bodoh." ucap Amanda singkat dengan volume kecil namun terasa menggelegar di hati William.

Langkah Amanda terhenti sehingga William dibuat kaget akan tindakan tanpa aba-aba itu. Amanda melihat William sambil memberengut kemudian berkata. "Harusnya kamu kirim pesan dong, aku kan jadi ngerasa kayak gak dihargai." William menelan saliva, semua serba salah.

"Are you mad at me?" tanya William skeptis.

Amanda menimpali dengan kesal. "Yes, I'm mad at you, duh."

"Tapi aku takut ganggu momen bahagiamu, Man."

"Itu urusan aku, mencoba berbaikan adalah urusanmu. Lagian, aku selalu dengarkan apa yang kamu katakan, walau aku hanya diam." gadis itu melihat William tanpa menoleh sedikitpun.

"Maaf sudah buat kamu kayak gini. Aku bakalan nurutin apa pun yang kamu mau supaya kamu mau maafkan aku." ucap William penuh harap, Amanda kesal mendengar hal itu.

"Maafkan aku ya, harusnya aku tak perlu berlebihan." dari wajahnya, sepertinya gadis itu kelihatan merasa bersalah.

"Wajar kalau kamu kayak gini, aku yang salah dan janji gak akan mengulanginya lagi. Kita baikan, ya? Sebutkan apa yang kamu mau?"

Apa William salah bicara? Ekspresi itu jelas sekali tak terbaca, William takut jika Amanda kembali marah sebab emosi gadis itu terlihat tak stabil. "Kita sudah baikan, tanpa perlu syarat apa-apa dari aku. Kamu gak perlu kayak gitu, kamu selalu sadar dan mencoba menyelesaikan masalah aja sudah cukup. Aku senang akan hal itu."

William akan terbang ke langit ke 7, bagaimana Amanda menatapnya dan berbicara dengan nadanya yang normal adalah pertanda bahwa gadis itu tengah baik-baik saja. Karena terlalu bahagia, dia tidak sadar kalau kini dia berjalan dengan Amanda yang memegang pergelangan tangan kanan pemuda itu.

Dari lantai 2 seorang pemuda menyaksikan kejadian itu dari awal hingga akhir. Sorot matanya tampak dingin dengan kobaran api di dalam dadanya.

"Kamu mau lihat kucing baruku gak? Namanya Sasi, dia unyu banget, loh! Nanti kita pulang bareng, ya?" William dibuat mati berdiri dengan sikap manis gadis itu, William menunduk menggapai wajah Amanda yang mengubrak-abrik dinding hatinya. Cantik nian.

***

AMANDA

You're MyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang