E 13 - Cause I'm Envy

564 51 5
                                    

Ya, pemuda itu stres, kesalahan apalagi yang telah dia perbuat, sehingga Amanda, tak mau bicara apa-apa padanya. William berusaha semaksimal mungkin, dia berharap kekesalan gadis itu hilang dalam waktu sekejap, tergantikan oleh sikap yang seakan tak terjadi apa-apa.

Demo musik yang William berikan khusus untuknya saat mereka berbaikan pada hari pertama pulang sekolah sebagai hadiah sebab dia mendapatkan peringkat umum, masih mengalun indah dalam memori Amanda setelah dia puas memutarnya sebelum pergi ke sekolah dan bertemu William di jalan.

Amanda ingin tetap berbicara dengan pemuda itu meskipun mereka sedang bertengkar. Namun, dia tak bisa. Dia tak bisa berbicara dengan William, sehingga, mendengar suara pemuda itu dalam menyanyikan lagu buatannya sendiri dengan gitar bas andalannya, selalu menjadi jalan keluar untuk menangani masalah tersebut.

William menggaruk hidungnya yang lancip, menarik napas dalam dan menyejajarkan langkahnya dengan langkah gadis itu. William menunduk, melihat Amanda yang menatap lurus tanpa ekspresi. Melihat mata gadis itu saja, William sudah kalang kabut, oleh karena itu, dia tak tahu harus apa. Jika salah ambil langkah, boleh jadi Amanda kan murka.

"Manda, kata bunda, semalam kamu ke rumah nyariin aku, ya?" berilah William tepuk tangan, selama beberapa menit berlalu, baru kini pemuda itu berani bersuara.

Iya, dan kamu kelayapan sama si, Jenna. Dasar.

"Kok kamu gak telepon aku? Pasti aku bakalan balik."

Gak perlu. Nonton aja sana, sampai diusir sama yang punya.

"Aku gak tau kalau kamu bakalan datang, kalau kamu ngabarin, pasti aku gak ke mana-mana." William menahan napas, lirikan Amanda membuat keberanian pemuda itu melemah.

Omong kosong. Janji kita aja bisa kamu batalkan karena dia bertengkar sama pacarnya. Yakin, bisa batalkan acara nonton kalian?

"Jelasin salah aku dong, Man, aku gak tau harus apa. Aku gak ngerti kenapa kamu tiba-tiba marah."

Begitu teringat sangat jelas dalam pikiran William bahwa dia dan Amanda baru saja baikan tepat hari Senin pada minggu lalu. Dan Senin ini, mereka bertengkar lagi? Wah, jangan sampai, jangan sampai dia dan Amanda berbaikan di minggu depan. Jika diperhitungkan, dalam waktu 1 bulan, 2 minggu baikan, 2 minggu lagi bertengkar; sungguh, cinta masa SMA yang adil.

Langkah Amanda terhenti, saat William hendak bersuara, gadis itu lebih dulu berbicara melalui gerakan tubuhnya. William menahan tawa, jari Amanda menunjuk pemuda itu dan aspal, menunjuk dirinya sendiri dan jalan di depan. Lihatlah dia, siapa juga yang takut jika tingkahnya begitu menggemaskan? Gadis itu menjeling lalu pergi dengan langkah lebar. William tertawa keras, meski dia gagal fokus, namun dia paham pada maksud Amanda.

"Kamu tetap di sini, dan aku ke sana! Jangan ikuti aku," ujar William. Menyatakan maksud gadis galak itu, sakit perutnya karena puas tertawa. "Kira-kira Manda kenapa, ya? Dia benar-benar gak mau ngomong sama sekali." perasaan tidak nyaman menghampiri William, yang awalnya tertawa puas, kini merasa gelisah karena tak tahu salahnya apa, mengingat Amanda sebegitu tak mau menimpali ucapannya.

"Jangan-jangan karena nonton sama, Jenna? Tapi dia tau dari mana? Dia punya mata-mata?"

William mencoba memecahkan masalah ini, jika deduksinya benar, mungkin dia takkan berharap lebih. Karena ... membujuk Amanda takkan semudah itu. Ah, bagaimana bisa Amanda tahu kalau dia dan Jenna nonton sama? Bagaimana cara menjelaskannya? Baiklah, William harus fokus, dia tak boleh gegabah. Biarlah Amanda, William ingin memberinya waktu untuk tenang. Ini lebih sulit daripada ulangan fisika hari ini (jika dadakan), Senin yang penuh cobaan bagi William.

"Apa Manda cemburu?" William rela bertengkar jika alasan Amanda mengabaikan dirinya karena perasaan itu, dia merasa spesial.

***

Rea menghampiri meja Baskara, pemuda tampan itu terlihat menawan saat membaca buku. Sejak kapan Baskara baca buku? Bukankah semua ilmu yang ada di buku, dia ambil dan tinggal simpan di otaknya? Wah, diperhatikan dengan saksama, pemuda itu sudah seperti Amanda saja, hobi membaca.

"Baskara, mau temanin aku ke pagelaran gak? Sabtu ini, gak jauh dari perempatan sekolah kita." Rea memberikan selebaran pada Baskara yang betah beberapa detik hanya melihatnya. Pemuda itu menaruh bukunya dan menerima selebaran, membaca tulisan yang ada di sana dan memasang ekspresi tak terbaca.

"Ayolah, aku maunya sama kamu. Gak ada teman yang seru buat diajak ke sana, please?"

Jika itu pemuda lain, maka sulit untuk menolaknya sebelum berpikir dengan matang. Namun, dia adalah Baskara, jika tidak, ya, "Sori, aku ada acara. Gak bisa." bagaimana bisa Baskara menemani Rea ke pagelaran itu dan membatalkan acara makan malamnya dengan Amanda? Andai Rea tahu, mengundang gadis kutu buku itu sangatlah sulit.

"Gak bisa atau karena gak mau?"

Baskara melihat Rea, semua orang pastilah tak tega, setidaknya, Baskara tak seharusnya mematahkan rasa semangat itu. Namun, Amanda jauh lebih penting, bahkan permintaan Rea tak sebanding dengan hal tersebut. "Gak bisa, kalau gak mau, kayaknya gak juga. Gak mau karena gak bisa."

"Sekali aja, ayo dong? Aku yakin ini gak menyangkut urusan pribadi kamu? Pasti ada seseorang, kan?"

"Maksud kamu?"

"Karena Manda kan, makanya kamu gak mau?"

"Bukan. Tapi karena, Sasi."

"Sasi, kan, ya, Amanda? Memangnya dia siapa kamu, sih? Kalian pacaran? Kamu panggil dia Sasi, terus dia panggil kamu apa? Sayang?" Rea benar-benar kesal, nada bicaranya terdengar jelas begitu mempermasalahkan hal demikian.

Kok jadi bahas 'Sayang'?

"Terus gimana? Kamu mau aku janji, terus, aku gak tepati janji? Aku gak bisa janji apa-apa." Rea memberengut sambil mengentakkan kakinya, memandang Baskara yang sampai hati. Gadis itu pergi keluar kelas yang sudah cukup ramai, membawa selebaran dalam genggaman dan hasil yang hampa. Hatinya sakit, Amanda yang beruntung, pikirnya. Tak perlu usaha apa-apa untuk merasakan apa yang Rea rasa.

Semua mengalami kecemburuan.

***

Saat pulang sekolah tiba, Kehlani menoleh ke arah Amanda yang duduk di sebelah kanan. "Man, gimana kabar kucingmu? Belum ketemu pemiliknya juga?"

"Alhamdulillah. Sehat banget. Belum, Lan."

"Untukmu ajalah. Mungkin pemiliknya sudah ikhlas." Amanda berpikir sejenak, mengangguk dan berkata. "Ikhlas? Barangkali, iya. Tapi kalau kucingnya balik lagi, apa dia menolak? Gimana pun, pasti dia kehilangan."

"Lalu? Kamu aja gak ada aksi apa-apa. Gimana mau balikin kucingnya?" Kehlani menyusun buku-bukunya, memperhatikan alat tulisnya yang memenuhi meja.

"Aku sudah berdoa kok. Soal aksi, aku sudah tanyakan pada tetangga, apa dia mengenal Sasi atau tidak, mereka gak kenal. Bahkan, mereka malah mau merawatnya."

Kehlani tertawa, "Kamu jawab apa?"

"Maaf, dia kucing, Manda, Bu. Walaupun untuk sementara." Kehlani tertawa lagi saat Amanda memperagakan sebagaimana dia melakukannya sebelumnya. "Gak kamu runtuhin kan rumahnya?" Kehlani tak bisa membayangkan jika Amanda menatap tetangganya dengan sorot matanya yang hampir tertutup, takut jika beliau trauma.

"Enak aja." Amanda meloloskan tawa lepas, menyusun barangnya dan bergegas menuju rumah.

***

AMANDA

You're MyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang