E 30 - Usai tanpa Mulai

58 3 2
                                    

Meskipun Abikara tampak tak berselera untuk menyahuti siapa saja yang hendak berbincang dengannya, tetap saja Amanda mengajukan pertanyaan beruntun dan Abikara harus menjawabnya. Kejadian sore itu benar-benar mengusik Amanda, kesalahan apa yang Abikara lakukan sehingga pertengkaran terjadi?

"Abang buat salah, ya? Kenapa gak dijelasin terus minta maaf, hem? Atau jangan-jangan Abang memang sering berulah makanya dia muak sama alasan gak logis, Abang?" melipat tangannya, Amanda menatap Abikara yang sibuk sendiri mempersiapkan sesuatu yang tidak Amanda suka.

"Harus dijelaskan kayak mana lagi? Memangnya kalian gak bisa bedakan mana kebohongan mana kejujuran? Abang sudah jujur, gak ada yang ditutup-tutupi." pemuda itu melanjutkan aktivitasnya setelah sempat menghadap Amanda untuk menyahutinya.

"Ih, kok jadi bawa-bawa, Manda, sih?" Amanda cemberut lalu melirik Abikara sinis. "Memangnya Manda pernah gak percaya sama, Abang? Tuh, kan, nyebelin banget! Gak usah ajak Manda ngobrol, kasih tau mama, nih!" Amanda mengentakkan kakinya kemudian turun ke bawah guna mengadukan kekesalannya.

Untungnya ada Mama yang berhasil membujuk Amanda, dan karena gadis itu sedang dalam suasana hati yang damai maka berbaikan dengan William adalah manifestasi dari niat baiknya itu. Amanda berjalan menuju rumah William bertemankan bulan keperak-perakan yang jauh di atas sana seraya tersenyum manis sepanjang jalan.

Sesampainya Amanda di depan rumah William, gadis itu merasakan jantungnya berdenyut lebih kencang dari biasanya. Gadis itu menarik napas perlahan-lahan guna bersikap senormal mungkin, Amanda harap setelah ini tidak akan ada lagi pertengkaran yang berujarkan kebencian.

Amanda memasuki pekarangan rumah William yang pintu rumahnya terbuka lebar, mengucapkan salam seraya mengetuk pintu, beberapa detik kemudian muncul Bunda lengkap dengan apron miliknya.

"William ada, Bun?" Bunda menghela napas kecewa, menggeleng dan berkata. "Baru aja keluar sama Jenna, memangnya sudah tau kamu mau ke sini? Anak itu memang kebiasaan." omelnya kemudian menarik Amanda untuk masuk ke dalam.

"Ah, gak apa-apa kok, Bun. Lagi mau main aja, taunya William keluar." bukannya berhasil mengelabui Bunda seolah dia baik-baik saja, sialnya senyum hampa yang malah terukir di bibirnya.

"Katanya sebentar aja, kamu tunggu di sini sama Bunda ya, lihat deh, Bunda lagi buat roti lapis! Pasti kamu suka." setelah siap membuat roti lapis yang aroma dagingnya benar-benar menggoda Amanda, keduanya menikmati makanan itu seraya mengobrol santai. Untungnya roti lapis buatan Bunda tidak kalah hebat, dari rasa membara untuk meninju William bila bertemu nanti.

Will, padahal aku mau baikan ... tapi kok kayak gak direstui? Atau kamu sudah gak butuh?

Lebih baik dari sebelumnya, Amanda bisa menyembunyikan rasa kecewa yang begitu ganas menyerang pertahanannya, seandainya dia tidak mampu, barangkali Bunda sudah menyaksikan betapa dia adalah gadis yang cengeng.

"Bunda tau akhir-akhir ini kalian bertengkar, pasti kamu punya niat khusus ke sini, tapi anak itu malah kayak gini, keluyuran gak jelas." Amanda menunduk mencermati ucapan wanita itu kemudian mendongak dan mendapati Bunda memeluknya dan mengelus kepalanya.

"Sabar ya, Nak, Bunda selalu dukung kamu, berulang kali mengatakan pada William untuk punya prinsip supaya hal kayak gini gak terjadi. Bagaimana lagi, Bunda percaya sama William kalau Jenna gak lebih dari teman lamanya, atau mungkin anak itu sudah menganggap Jenna sebagai adik perempuannya. Kamu gak perlu cemas, bagi William, hanya kamu seorang."

***

Abikara memutuskan menemui Fidah ke rumah gadis itu, Ibu bilang, Fidah tidak mau keluar kamar kecuali menerima paket datang. "Jangan dianggap beban, maklum aja, berusaha bujuk, lama-lama pasti Fidah baikan." begitu pesan beliau menguatkan Abikara melawan cobaan.

Benar saja, meskipun belum dikatakan berhasil, namun Abikara tidak boleh senang dulu, gadis itu hanya mau keluar kamar, bukan memaafkannya. Setidaknya ada kemajuan, itu awal yang baik—begitu anggap Abikara.

"Abang bakal jelasin semuanya, tanpa terkecuali kayak yang Adek mau." ujar Abikara meyakinkan.

"Buat apa? Buat menciptakan kebohongan baru demi menutupi kebohongan lama? Ke mana aja sore tadi? Kok baru sekarang munculnya?"

Abikara menyatukan alisnya, "baru jalan 5 jam lalu, Dek, ya ke mana? Di rumah ajalah, mikirin gimana supaya kamu bisa ngerti."

Fidah semakin kesal dan berkata, "Kok jadi salah Fidah? Jelas-jelas Abang yang salah, kenapa harus Fidah yang ngerti? Abang yang kebanyakan bohong!"

"Maksud Abang gak gitu ..." begitu seterusnya sampai Abikara kembali ragu untuk percaya bahwa Fidah akan luluh.

***

Amanda pulang dengan keadaan kesal bukan main, gadis itu menendang kerikil yang menghalangi jalannya dan sesekali meninju angin. "Resek banget sih, kita memang gak cocok tau, Will ...?" gumam Amanda pada udara malam yang dingin menusuk kala itu. "Kayaknya niat baik aku buat berbaikan bakal sia-sia."

Langkah Amanda yang semula cepat agar bisa segera sampai di rumah dan menelepon William bertanya di mana pemuda itu sebab dia lupa membawa ponsel perlahan melambat tatkala netranya menangkap sosok yang sejak tadi ingin dia temui kini tepat berada di depan matanya.

Malam itu di bawah lampu taman berhiaskan bulan keperak-perakan, Amanda merasakan patah hati untuk pertama kalinya dan dia yakin sebab selama ini dia tak pernah merasakan sesuatu yang amat sakit menyayat hatinya seperti sekarang. William dan Jenna duduk bersebelahan dengan jarak yang amat dekat, Amanda menyaksikan punggung mereka dan ketika William menoleh pada Jenna maka saat itu Amanda dapat melihat wajah William dari samping.

Amanda yakin dia hanya bergeming, bahkan dia sadar bahwa kini kakinya akan goyah menopang tubuhnya sebab tak kuasa melihat mereka selama lebih dari 5 menit. Amanda tak bisa melangkah untuk beranjak dari sana, Jenna bersandar di pundak tegap William sambil tertawa, sesekali memeluk lengan William dengan mesra. Sampai pada akhirnya air mata Amanda menetes deras, kala Jenna meraih wajah William dan mendaratkan ciuman mesra itu di sana dan bertahan selama beberapa saat.

Hatinya bukan lagi tergores, mungkin sudah hancur, niat baik Amanda tak berjalan mulus. William sudah punya yang baru dan Amanda bukanlah orang yang selama ini dia maksud, William hanya berbual, hanya menjadikannya sebagai mainan dan membohonginya bahwa menganggap dirinya spesial.

Jikalau Amanda lah orangnya, mengapa William tidak pernah menyatakannya atau sekadar membicarakannya? Apa dia hanya menjadikan Amanda sebagai peralihan dari Jenna dan mengira akan mendapatkannya dan menjalani hubungan dengannya lantas bila dia bosan dia bisa kapan saja meninggalkan Amanda?

Terus terang, Amanda masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Meskipun William tidak membalas ciuman Jenna, akan tetapi pemuda itu tidak menampakkan gestur penolakan atau menghindar.

"WILLIAM JAHATTTTT!" teriak Amanda dengan tenaga dalam dan berlari kencang dari sana yang pada saat itu juga keduanya menoleh ke arah sumber suara. Amanda terus berlari tanpa memedulikan apa pun bahkan sandalnya yang terlepas sebelah dan seruan William yang memanggil-manggil namanya yang entah bertujuan untuk mengeklaim hubungan dia dan Jenna atau kembali berusaha menjelaskan kesalahpahaman dan meminta maaf seolah dirinya adalah mainan yang asyik diperlakukan semaunya.

Aku gak nyangka kamu setega ini, Will ...

***

TAMAT

AMANDA

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You're MyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang