E 11 - Jawaban

557 51 7
                                    

Candaan yang Mama lontarkan menciptakan rasa hampa pada sarapan pagi itu, Amanda menebar senyum paksa, menyahut, "Maksud Mama apa? Manda, gak paham sama sekali."

"Kamu itu memang di luar nalar, ya, Dek? Mama, kan, meminta mengajak sahabat main ke rumah. Eh, kamu malah membawa undangan, undangan makan malam pula. Itu artinya, acaranya benar-benar spesial."

"Dari dulu Manda memang selalu tak terduga, Ma. Gak sesuai ekspektasi, karena kitanya gak berharap terlalu jauh." Abikara mengabaikan tatapan maut itu, menyelesaikan godaannya terhadap adik satu-satunya. Antara William dan Baskara, Abikara tak ragu dengan keduanya. Semua tergantung Amanda, pada siapa gadis itu memutuskan untuk menjadi pilihan.

"Undangan makan malam? Ah, jangan dianggap serius. Dia cuma bercanda," timpal gadis itu. Pegal pipinya karena pura-pura tersenyum.

"Tidak baik menganggap keseriusan sebagai candaan. Terima sajalah undangan itu, Dek. Mama yakin dia anak baik-baik. Nanti dia jemput kamu, kan? Sekalian Mama mau lihat anaknya." oh tidak, Amanda tidak bisa mengelak. Dia pasrah, membiarkan Mama dan antusias beliau soal Baskara.

Kok Mama gak khawatir, sih? Bukannya dia gak mau kalau calonnya punya saingan? Apa Mama yakin, William bisa mengalahkan Baskara?

Amanda meneguk susunya sampai habis, mengambil sisa roti selai untuk dia santap di jalan saja karena kini gadis itu sudah tak kuasa menahan godaan Mama terhadap undangan makan malam dari Baskara. "Hati-hati, Sayang." pesan Mama setelah dicium pipinya oleh sang anak.

"Kalau Ayah ada, pasti aku gak bakalan malu kayak gini." Amanda menahan senyum, kenapa dia salah tingkah begini? Ayah tidak ada pada sarapan kali itu, berangkat pagi sekali kala itu, kalau ada Ayah, pasti beliau menjadi pembela satu-satunya. Ah, pria itu terlalu penuh kualifikasi, karena William anak sahabatnya saja, makanya William mudah menerima kepercayaan beliau.

***

Amanda, aku ingin minta maaf. Boleh ngomong sebentar? Ada yang ingin kusampaikan. Maaf jika kamu tak nyaman, kalau tak berkenan, tak mengapa, kita tak perlu ngomong.

Baskara

"Sejak kapan aku nulis beginian? Wah, kurang ajar yang ngaku-ngaku surat buatanku." ungkap Baskara saat membaca tulisan yang Amanda tahu, adalah darinya.

Baskara, aku juga ingin mengatakan sesuatu. Maaf jika berlebihan, aku mau mengobrol denganmu.

Amanda

"Tapi gak nyangka juga, kalau Sasi bisa semanis ini." pemuda itu tersenyum luar biasa bahagia. Sudah bak pujangga jatuh cinta.

Di sebuah rumah ... seorang pemuda bernama Baskara tengah galau, apa jadinya jika gadis yang dia pikirkan akhir-akhir ini benar-benar menolak undangan makan malam darinya? Baskara mengelus kepala kucing berbadan gembul, menatap hewan berbulu bak seorang majikan dengan nelangsa. "Bantuin dong, kasih aku saran, gimana caramu bujuk Sasi kalau dia ngambek?"

Wajahnya mirip Amanda, sorot matanya menggambarkan seberapa bosan dirinya, belum lagi dengan kelopak mata yang senantiasa melorot. Seolah ucapan Baskara tak begitu penting, hewan itu hanya menguap sambil menjilat perutnya. "Sombong, gak mau kasih tau triknya. Pelit, gak mau bagi-bagi saran."

"Bagaimana? Sudah minta maaf ke, Sasi?" tanya Mama yang tiba-tiba muncul, Baskara tersenyum canggung.

"Nah, kayaknya hari ini cocok. Lagi nyari waktu yang tepat nih, Ma, lihat mood Sasi juga, entar dia malah makin ngamuk karena badmood." pemuda itu tertawa, berlagak sebagai ahli.

"Benar, Mama setuju. Asalkan kamu gak lupa."

"Siap!" ada yang menahan langkahnya saat dia hendak ke bawah, Baskara membalikkan badan, matanya tertuju pada kucing jantan bernama Candramawa yang mempunyai kalung nama, melalui tatapan apatis itu, dia berkata, "Kembaliin cewek gue secepatnya." Baskara tertawaan terbahak-bahak, kucing berwarna hitam dan putih itu meninggalkan Baskara untuk menghampiri peraduan.

Baskara turun ke ruang makan dan menghabiskan sarapannya yang terasa nikmat. Seleranya tampak membara karena untuk menghadapi Amanda, dia butuh tenaga ekstra.

***

Suasana begitu panas, atmosfer kelas benar-benar mencekam. Dialah Amanda, gadis kutu buku, berwajah galak, tak peduli apa pun, yang mampu mengalahkan Baskara bahkan dengan angka yang terpaut cukup jauh.

"Si Manda makan apaan, sih? Bisa-bisanya dia ngalahin nilai Baskara, mungkin kalau mau, dia bisa aja jadi peringkat umum ke 1 di semester nanti."

"Kamu nanya dia makan apa? Ya makan bukulah, gak kamu lihat, selama ini, dia itu bukan membaca, tapi memakan semua ilmu dari buku yang dia baca."

"Oh ya?" tanya gadis itu, percaya pada perumpamaan lawan bicaranya. "Dia gak melulu baca buku pengayaan, kadang aku ngelihat dia baca novel remaja."

"Apa? Serius? Tapi kenapa dia gak kelihatan kayak cewek lain, seolah-olah dia anti sama cinta."

"Dia anti sama cinta? Kamu gak tau aja, dengar-dengar, dia dan Baskara punya hubungan!"

"Hubungan? Apa jangan-jangan, dia minta nilai, Baskara? Kalau seandainya mereka memang punya hubungan."

"Benar juga. Berarti gak murni dong nilainya?"

Amanda maju ke depan saat sang guru memintanya, gadis itu menerima lembar jawabannya yang menampilkan nilai 100, dengan Baskara yang mendapatkan nilai 95. Beliau memberi Amanda sebuah hadiah dari dirinya pribadi, terkesan dengan kecerdasan gadis itu. Saat beliau meminta tepuk tangan murid Bahasa A, Baskara paling menggebu-gebu.

***

Saat pulang sekolah tiba, Amanda menghampiri William di lapangan basket. Gadis itu meminta pemuda yang tampak maskulin dengan pakaian olahraga yang dia kenakan, untuk tidak perlu mengantarnya pulang dan latihan dengan tenang. Amanda bilang, dia akan melihat untuk beberapa saat, William terpaut kasih, hampir saja dia pingsan karena diperhatikan oleh Amanda.

Kaki aku lemas, kok gak kuat lompat, ya? Pemuda itu hampir saja mencair bagai es batu, kalau, dia tak menjaga harga dirinya di depan crush.

Amanda duduk sambil memandang William dengan kaki menyilang dan tangan terlipat di depan dada. Gadis itu mengukir senyum di bibirnya, tertawa kecil saat William bertingkah aneh di matanya.

Aduh ..., udah kelihatan cool belum? Kok aku baper, ya? Mana William ganteng banget lagi.

"Aku pulang, ya?" pamit gadis itu, memperhatikan wajah William yang terlihat tampan berkali-kali lipat, William tersenyum manis. "Hati-hati, ya. Aku gak apa-apa kok, kamunya yang kenapa-kenapa. Entar pingsan karena lapar." Amanda memukul lengan William, tertawa kecil. "Biarin, biar kamu yang gendong sampai rumah."

"Boleh, aku sih rela. Cuma, takutnya malah ke KUA."

What? Dapat dari mana gombalan receh itu? Tapi ... kok deg-degan?

"Enak aja, aku duluan. Selamat latihan."

Sekolah mulai lengang, Amanda memegang tasnya dan berjalan di lorong kelas yang panjang. Gadis itu memperhatikan tampilan pemandangan taman dari jendela, suasana ini benar-benar dia suka. Saat matanya melihat seseorang ketika dia sudah sampai di luar gedung kelas, dia melihat seorang pemuda yang tengah bersandar di pilar bangunan.

"Hai, Sasi ..., boleh pulang sama?"

Amanda hanya diam sambil membalas tatapan Baskara. Dia merasa gelisah, bukan soal ketakutan, namun, mengapa dia gugup? Andaikan hatinya memiliki pilar, boleh jadi hatinya takkan runtuh oleh kehadiran Baskara yang membuatnya berdebar. Dinding menjelma tunawicara, meledek Amanda yang salah tingkah.

Di jalan perumahan tempat Amanda tinggal, mereka hanya mengobrol beberapa hal saja. Keduanya sama-sama canggung, Baskara rasa, lebih baik dia melihat Amanda yang datar daripada Amanda yang terlihat bersahabat, jujur, dia benar-benar bingung, sulit bersikap, gugup nian.

"Sekali lagi, maaf soal yang lalu-lalu. Entah itu karena ucapanku waktu kamu menanyakan soal undangan, atau surat yang aku kira, kamu yang kasih."

"Bukan, bukan salah kamu. Aku yang salah, aku minta maaf karena tanpa kusadari, ucapanku kelewat batas. Terima kasih sudah menerima undangan itu, meskipun kamu tak datang."

Amanda menghentikan langkah, bibirnya kelu, padahal semua sudah dia rancang. "Siapa bilang? Aku akan datang. Terima kasih untuk mama kamu, maaf membuat repot."

Untuk pertama kalinya, Baskara mengaku, bahwa, dia telah jatuh cinta.

***

AMANDA

You're MyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang