Baru kali ini, keriuhan yang ada di sekelilingnya tidak membuat Agista antusias. Ya, mahkluk berdandan glamour saling melempar candaan dan prestasi itu justru mengundang muak. Bukan berarti Agista kalah pamor, ya. Dia tidak iri sedikit pun. Dia hanya... Argh, di sini ada samsak enggak, sih?
Oke, Agista tidak butuh samsak. Jelas-jelas, dia tidak bisa menggunakan alat itu dengan benar. Yang ada, jemarinya bakal sakit lantas kuku super cantik yang beberapa hari ini begitu dipuji orang-orang bakal patah. Atau malah menyakiti dirinya.
Pelan sekali, Agista mengembuskan napas. Samsak sudah pasti bukan penyelesaian dari perasaan tidak keruan ini. Minggat dari sini pun bukan solusi. Pulang? Duh, enggak dulu, deh. Semalaman berpesta tuh udah paling bener!
"Pulang aja, Gis." Suara berat muncul dalam sosok besar menjulang yang mendekati Agista. Alan senantiasa memegang gelasnya dan mengernyit. "Sebenarnya kamu udah enggak betah, kan? Meskipun aku juga penasaran kok bisa-bisanya..." Cowok berkucir itu menoleh pada segerombolan makhluk di sofa yang cekikikan. "Mereka enggak bikin kamu nyaman."
Agista memandang ke luar dinding kaca. Keramaian di bawah sana justru makin menggila. Dia tidak mendengarkan keriuhan di lantai bawah karena ruangan kedap suara ini. Meski begitu, dia tahu, musik membahana yang mengantarkan orang-orang makin semangat untuk mengakhiri malam. "Sumpek aja, sih."
Wajah persegi Alan bergerak ke arah Agista. Senyum miring khasnya menguak. Dia meneguk isi gelas. Setelahnya berujar, "Jadi, ini yang kamu rasakan dari beberapa hari yang lalu? Kenapa? Karena cowok yang berpotensi besar jadi suami paling romantismu di seluruh dunia belum menelepon?"
"Berengsek!" Agista mengumpat keras-keras. Dia kesal sekali kalau Alan begitu mudah menebak. Tangannya lantas menjulurkan demi merebut gelas Alan. Sayang sekali, tanpa melakukan usaha yang banyak, cowok itu mampu mengelak. Pada akhirnya, Agista tidak mendapatkan apa-apa selain udara hampa. Karenanya, Agista ingin mengumpat.
"Heh, anak kecil yang manis enggak minum kayak gini."
"Lan, nyebelin banget, sih."
"Udah tahu."
Namun, Agista tidak ingin menjadi perempuan baik-baik malam ini. Astaga, kenapa dia tidak berpikir untuk mendapatkan minuman lebih keras sedari tadi, ya? Dia mengangguk untuk memantapkan hati. Sial sekali. Ketika dia berbalik, sebuah tangan menahannya. Agista mendelik pada Alan. "Sentuh-sentuh aja kamu. Lepasin."
"Cuman karena chef enggak beruntung itu, kamu pengin minum, Gis?"
Lagi, Agista mendelik. Kedua tangan sudah berada di pinggang. "Apa, sih?"
"Coba ceritakan sebenarnya kamu lagi kenapa? Bukan cuman karena si pacar ini, kan?" Alan melembutkan suara.
Mendengar ekspresi melunak dari Alan, Agista pun mengangguk lemah. "Aku lagi pengin minum aja."
"Terakhir kali minum, Mami, Papi, semuanya mengamuk padaku. Enggak ada sekali pun yang memberikanmu wejangan. Kalau sekarang aku membiarkanmu, aku bakal habis. Kamu yang paling rugi karena kehilangan orang paling mengerti dirimu."
Segaris senyum terbit di wajah Agista. Alan memang paling bisa membanggakan diri. "Lan, aku lagi ngadepin krisis yang semua cewek hadapin saat berumur 25 tapi belum nikah-nikah."
"Kamu bakal menikah dengan chef romantis itu. Omong-omong, umurmu, kan, udah 27. Trus, kenapa itu jadi masalah? Kenapa kamu harus buru-buru menikah saat belum bisa sampai ke bulan?"
"Aku malah berencana pengin jadi kapten marvel dulu sebelum nikah, Alan." Agista menjawab jengkel. "Kamu masa enggak ngerti, sih, dilemaku?"
Sebelum menjawab, Alan menghabiskan sisa di gelasnya. Dia mngernyit lalu meletakkan benda kosong itu di salah satu meja. "Kamu baper aja kali karena dilangkahi Binar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Kali Kedua
RomanceAgista minta putus dari Reenan. Pacar baik hati dan gantengnya yang satu dekade menjalin hubungan enggak kunjung datang melamar. Usai mencampakkan koki kapal pesiar itu, Agista pun berburu calon suami. Akan tetapi, pencariannya tidak mulus karena e...