Cerita Alan

13 0 0
                                    

            Minuman atau makanan yang disantap Agista sama sekali tidak selezat sebelumnya. Ya, ini efek patah hati. Bukan, ini efek berantem dengan Reenan. Bayangkan, sudah seminggu ini nomor maupun media komunikasi lainnya dari cowok itu diblokir. Rekor terlama sejak mereka marahan.

Ada saat-saat tertentu Agista ingin menghubungi Reenan lebih dulu. Bisa saja ketika dia menelepon, cowoknya yang kadang-kadang menyebalkan itu seketika mengabulkan permintaannya waktu itu. Akan tetapi, otaknya masih waras dan mendominasi.

"Kamu masih kepikiran Reeena." Binar berkomentar. Tiba-tiba saja, adik bungsunya ini menelepon dan membuat janji bertemu. Sekarang tuh lagi rawan-rawannya. Begitu yang diucapkan adiknya tadi. Lalu, mereka mendatangi mall dan berakhir makan segala.

"Aku udah menyaring beberapa cowok yang bisa kamu ajak kenalan."

Agista memainkan sedotan. Dia memandang ponsel biru metalik adiknya. "Oh, ya?"

"Enggak ada semangat-semangatnya." Binar memangku dahu dengan kedua tangan. "Kita bisa batalin ini dan kamu balikan sama Reenan. Sebenarnya, aku enggak perlu capek-capek ngenalin cowok ke kamu."

"Karena aku bisa nyari sendiri?"

"Kita, kan, punya kandidat tunggal dan terbaik." Binar melepas senyum lebar hingga memperlihatkan satu gingsul. "Agista! Masa kamu enggak pernah mikirin Alan, sih?"

"IH!" Agista bergedik. Dia menoyor bahu Binar yang terperangah heran. "Alan? Sama sekali enggak pernah. Sedetik pun."

Binar menunjukkan ketertarikan dengan mengedip berkali-kali. "Nih, ya. Alan, tuh, calon penulis skenario hebat. Ganteng dan pekerja keras. Bukan playboy. Meski enggak kekar-kekar banget tapi ya... masih okelah."

"Kamu enggak lagi mengagumi cowok lain, Bin? Di saat suamimu lagi kerja gitu?"

"Agis," Binar melengkan kepala ke kanan. "Jangan muna, ya. Alan ganteng, kan? Ganteng-ganteng gitu masa kamu anggurin. Kalau dia enggak tertarik sama kamu, bukan berarti kesempatan tertutup. Bukan cuman aku yang bakal ngasih restu, Papi sama Mami pun bakalan setuju banget kalau kalian jadian bahkan sampai nikah sama dia."

"Mungkin Alan bakal cocok sama temannya yang masih single."

"Kenapa aku harus ngasih Alan ke orang lain sementara ada kamu yang berpotensi besar untuk jadian dengannya?"

Agista memutar pandangan di sekeliling. Tidak ada hal yang menarik. Namun, dia hari ini begitu kelelahan. Duduk dan bercengkerama di sini jauh lebih baik. Dia sempat frustrasi membayangkan akan menangisi lagi kondisinya di apartemen andai Binar tidak menemani. "Mana, sih, daftar cowok-cowok itu?"

Benda pipih milik Binar menyala. Jemari lentik cewek yang mengenakan blus kuning tersebut menunjukkan sebuah foto. "Namanya Ditto. Anak bisnis dia. Suka hal berbau Jepang dan baca buku."

"Oke. Enggak ganteng-ganteng amat, ya?"

Tawa Binar terdengar. "Matamu lagi jireng kali. Cakep gini, kok. Kecuali kalau kamu bandingin dia sama Reenan, jelas kalahlah." Binar kembali menggeser ke foto yang menunjukkan wajah close-up cowok berwajah sipit. "Keturunan Cina, nih. Sekarang lagi bikin firma hukum gitu bareng saudaranya. Mantap, enggak?"

"Biasa aja, ah."

Untuk merespons ucapan datar kakaknya, Binar memutar bola mata. "Atau kamu pengin kenalan sama Bagas?" dia menunjukkan foto cowok berkemeja hitam yang berupa foto candid. "Kalem, religius, tapi smart banget." Kedua mata Binar bercahaya ketika melanjutkan penjelasannya. "Dia dosen di UGM. Sebentar lagi bakalan mendapatkan gelas doktornya dalam bidang filsafat."

"Aku enggak terlalu suka cowok kayak gitu, ah."

Binar meletakkan ponsel kemudian menyeruput jus di gelasnya yang nyaris habis. "Sebaiknya kita tunggu kamu beneran move on kayaknya."

"Kita enggak perlu move on, Bin." Agista berdengkus. Kalau tidak mendapatkan calon suami sekarang, Papi bakal lebih ribet menanyakan ini-itu. Lebih dari itu, dia ingin membuat Reenan menyesal sudah mengabaikan permintaannya. "Siapa lagi kandidatnya."

"Aku bingung, deh. Ini tuh semuanya udah worth it, Agis. Coba, deh, kasih aku tipe idealmu kayak gimana."

Dengan semburan napas pelan, Agista menjawab, "Kayak Reenan."

"Kamu yang pengin putus karena dia enggak kunjung datang melamar tapi menjadikannya patokan soal cowok. Aku jadi bingung."

Ya, masuk akal. Dia tak harusnya menyebut-nyebut mantan pacarnya sejak SMA itu sebagai tipe ideal. Cowok keren mana yang langsung kicep ketika ditanyai tentang pernikahan? Agista memang mengejar cowok itu dulu karena tergila-gila dengan wajah maskulin yang begitu manis saat tersenyum. Hanya dengan satu senyuman, dia terus memimpikan Reenan dan nekat mencarinya di kampus.

"Biarin dulu aja, Bin." Suara berat muncul. Pemiliknya lantas mengambil gelas Agista dan meneguk isinya. "Gila, Bandung panas banget hari ini." Cowok itu lantas melepaskan hoodie hitam setelah melepas ransel. "Reenan masih baik-baik aja, Gis?"

"Enggak tahu!" Agista berucap ketus. "Jangan mancing-mancing kamu, ya. Aku beneran bakal–"

"Bagus. Itu yang harusnya kamu lakukan sejak dulu. Bikin dia frustrasi sampai enggak konsentrasi saat bekerja." Alan mengambil wadah berisi roti bakar lantas melahapnya. "Sebisa mungkin, kamu sebaiknya udah punya gandengan saat Reenan datang ke sini."

Agista lantas mengernyit. "Apa... apa yang udah kamu lakuin, Lan?"

"Enggak banyak." Alan mengangkat bahu. Dia masih berusaha menuntaskan makanan tanpa perlu khawatir pada wajah-wajah penasaran di depannya. "Aku hanya sedikit memancing cowok pengecut itu."

"Lalu?" Agista membungkukkan badan. Dia selalu terharu saat cowok yang matanya bengkak entah apa melakukan sesuatu yang berarti untuknya tanpa Agista minta. "Alan?"

"Aku belum mau ngomong apa pun." Lalu, Alan menguap. "Aku sebenarnya enggak pengin gabung sama kalian. Ujung-ujungnya kita akan membahas kegalauan Agista dan mantan pacarnya itu."

Binar menyahut tanpa memedulikan rasa penasaran yang Agista tanggung saat ini. "Kamu habis begadang karena nulis buat film baru, ya?"

"Dari novel best seller. Aku berusaha keras buat memasukkan poin-poin pentingnya nanti."

"Spoiler, dong."

Antusias Binar begitu kentara. Namun, Alan tetap bungkam. Dia melirik pada Agista yang menatap dengan tajam. "Ada apa?"

"Jangan berlebihan." Agista memperingatkan. Alan selalu berhati-hati. Tetap saja, Agista khawatir ketika cowok itu mengungkit tentang kemungkinan Reenan bisa muncul.

"Bisa jadi kamu bakal berterima kasih ke aku nanti." Cowok itu bersiul. "Sebenarnya tanpa perlu kupancing pun dia harusnya udah ke sini. Tapi, itu enggak terjadi."

"Dia lagi ada di tengah laut, Alan." Agista menjadi sewot. Walaupun dia berharap Reenan bertindak seperti cowok-cowok di film romantis. Sayangnya, ini kehidupan nyata yang tak seindah film atau pun novel. "Kecuali kalau Reenan bisa teleportasi ke sini."

Cowok di depannya ini menyengir. Senyum palsu itu membuat Agista tidak nyaman. "Reenan lagi ada di Singapura sewaktu kamu mencampakkannya."

"What?" Binar menyeru kencang. "Maaf, guys." Matanya disipitkan ke arah Alan. "Jarak Singapura dari sini, kan, enggak jauh-jauh amat."

"Tapi Reenan sama sekali enggak menemui Agista." Alan mengetukkan tangan di meja dan begitu lekat memandangi Agista. "Aku harus minta maaf karena mengatakan ini. Reenan mungkin punya selingkuhan."

***
Love, Rara
Pinrang, 07 Juli 2023

Cinta Kali Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang