Obrolan Pagi

9 0 0
                                    

Tidak ada mata bengkak. Tidak ada wajah sedih. Penampilan Agista pagi ini secerah matahari yang mulai benderang pada pukul sembilan ini. Dia meninggalkan mobil di garasi keluarga usai memastikan tidak ada tanda-tanda wajah menderita. Pengakuan Alan tempo mengejutkannya. Reenan bisa saja selingkuh. Itu masih perlu penyelidikan untuk mendapatkan bukti. Akan tetapi, dia mengenal Alan. Semua ucapannya kerap terbukti.

Masa galau itu harus segera diakhiri. Sebagai awal, Agista pun berkunjung mengunjungi orang tuanya. Akhir pekan menjadi tradisi mereka berkumpul. Dia tidak ingin lagi melewatkan hal seru demi menangisi cowok murahan yang menyakitinya.

Melalui pintu belakang yang menghubungkan area taman, Agista melihat ponakannya sedang berlarian mengejar kelinci. Sebelum melewati ambang pintu, dia melihat pantulan di cermin. Wajah putihnya terlihat sempurna. Bagus.

Langkah Agista mantap menyusuri lantai vinyl. Di seberang sana, pada gazebo yang keempat sisinya dipagari batu, ketiga keluarganya tengah membincangkan sesuatu. Sepertinya menarik karena belum ada yang menyadari Agista tengah menuruni undakan demi mendekati mereka.

"Papi, halo!" Agista menyeru nyaring sewaktu Papi menoleh. Dia lanjut mengecupi Mami dan Anin.

"Cantik banget kamu hari ini." Gita merespons. Rambut sebahunya diwarnai lebih gelap. "Lagi happy, ya, kamu?"

Agista mengangkat bahu kemudian menyibak untaian rambut cokelatnya. Dia memang berdandan habis-habisan untuk temu keluarga hari ini.

Papi yang mengambil cangkir berisi teh hijau pun menyahut. "Kamu ada janji ketemu Reenan?"

Aduh, nama keramat itu akhirnya disebut juga! Agista mengulas senyum dan bergabung dengan duduk di samping Mami. "Semalam, menantu Pak Walikota memberikan ulasan positifnya." Setidaknya, ada hal menggembirakan selain menangisi kehidupan asmara. "Kita udah saling follow."

"Wah, congrats, Dear." Mami memberikan tepukan sayang di bahu. "Bakal banjir job lagi dong setelah ini?"

"Doain aku, Mi." Agista berpaling pada ponakannya. Bocah enam tahun itu masih sibuk berlarian. Tujuan Mami sepertinya terkabul. Beliau sengaja mengalokasikan dana lebih untuk taman luas ini agar bisa menjadi tempat bermain menyenangkan bagi cucu-cucunya. "Itu siapa yang punya kelinci."

"Abil, tentu saja." Anin menatap Agista lekat-lekat. "Antingmu bagus." Anting panjang dengan ujung berbentuk kupu-kupu ini hadiah Alan untuknya beberapa bulan lalu. "Pasti dari Reenan, kan?"

Kalau nama itu selalu disinggung, Agista akan kesulitan menahan air mata. "Alan yang ngasih. Binar malah dikasih gelang."

"Enggak adil banget!" Anin cemberut. "Abil, telinga kelincinya jangan ditarik-tarik. Astaga!" Kengerian di wajah kakak pertamanya itu menarik perhatian seluruh orang. Anin segera memelesat ke arah anaknya.

"Ya ampun. Mami kapok menghadiahkan hewan peliharaan buat anak itu. Semua ikan koki yang Papi kasih udah enggak tersisa lagi." Mami mendecak kemudian menepuk lembut tangan suaminya. "Udah pukul sembilan lewat, Papi katanya pengin memeriksa sesuatu di ruangan kerja."

Tanpa banyak suara, Papi mengambil secangkir minuman kemudian menyingkir. Agista menatap kepergian beliau dengan hati resah. Apakah dia perlu memberitahu orang-orng mengenai kisah asmaranya yang menyedihkan?

"Mami semestinya enggak perlu mengusir Papi biar bisa ngobrol sama aku."

Jawaban Mami hanya berupa gelengan lembut, "Rasanya kita udah lama enggak ngobrol. Semenjak Binar pindah ke rumah barunya, Mami benar-benar kesepian." Jemari gemuk nan halus itu merapikan poni yang menghalangi pandangannya. "Kamu kalau enggak sibuk, mampir-mampirlah ke sini."

Agista membalas tatapan Mami. Penampilan beliau selalu sederhana, tetapi tidak mengurangi keanggunan dan kecantikannya. Helai-helai putih yang menyeruak di antara rambut lebat itu malah semakin memukau Mami. "Aku tuh sebenarnya kalau udah capek, langsung pulang aja. Mami deh sekali-kali nginap di tempat aku."

"Papimu bakal mengamuk. Mana bisa dia tidur tanpa dipeluk Mami."

Cerita itu bukanlah karangan Mami. Dari semenjak mereka kecil, orang tuanya selalu menunjukkan kasih sayang dan pengertian di antara keduanya. Tak sekali pun Agista melihat pertengkaran kecil orang tuanya. "Enggak baik mengumbar kemesraan di depan anak-anak, Mi."

Mami tertawa kecil. "Apalagi kamu belum punya pasangan halal, ya."

Tanpa sadar, Agista berubah murung. Harapannya bisa bersatu dengan Reenan harus kandas. Dia tidak akan bisa lagi membayangkan Reenan akan seperti Papi. Agista menggeleng keras. Kisahnya dengan Reenan sudah berlalu. Secepatnya, dia akan mendapatkan ganti dari cowok itu. Dia pun melengak dan meringis ketika mendapati tatapan lekat Mami.

"Kamu lagi ada masalah apa sama Reenan, Gis?"

Hanya Mami satu-satunya orang yang tak bisa membuat Agista tak berkutik. Dia mendesah kecil. Dia tidak langsung menjawab melainkan menengok kepergian Anin. Kakaknya sudah merangkul Abil menuju ke dalam.

"Kamu ceritalah daripada dipendam-pendam."

"Susah, Mi." Pada akhirnya, dia menyahut. Reenan tidak akan pernah lagi meramaikan kumpul keluarganya di gazebo ini. Spot paling digemari cowok itu. Katanya suatu waktu, dia pun akan membuat taman bergaya retro seperti ini.

"Kenapa dengan Reenan?" Mami menaikkan alis tipisnya yang diukir sempurna. "Kalian putus?"

Di saat yang sama, Agista melongo. Begitu mudahnya Mami menebak. "Kok tahu?"

"Waktu acara Binar, kamu udah uring-uringan kalau ditanyain soal Reenan. Mami tadi asal nebak, tahu-tahunya memang kejadian. Kenapa bisa putus?"

Agista menjawab lancar. "Udah enggak cocok lagi."

"Pacaran hampir sebelas tahun, kalian baru sadar enggak cocoknya sekarang?"

Nada heran itu menyadarkan Agista jika Mami tidak menyindir. Lagi pula, Mami bukanlah tipe seperti itu. Beliau begitu bijak dan selalu mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. "Aku... aku merasa kami udah enggak kayak dulu lagi, Mi. Semakin ke sini, Reenan makin terobsesi dengan pekerjaannya. Aku udah capek selalu dinomor duakan."

"Kalian udah bicarakan ini matang-matang?"

Tidak perlu ada pembicaraan lebih lanjut. Komunikasi terakhir mereka serta pengakuan Alan sudah cukup. "Aku agak mencemaskan Papi, sih."

"Jelas, Papi bakal kecewa, tapi enggak bakal sampai mengejar Reenan karena udah bikin anak kesayangannya sedih."

Agista meraih dan menggenggam tangan Mami yang hangat. Dia selalu tahu, sosok perempuan yang membesarkannya dengan sabar ini pasti tidak akan menghakimi. "Mami sedih, kan? Maksudnya, Binar sama Anin udah punya keluarga."

"Memang, kamu, enggak punya kami apa?" Mami mengelus ujung rambut Agista. "Orang tua selalu mengharapkan pasangan yang terbaik untuk anak-anaknya. Kalau pengin menuruti sisi egois, kami bakal senang jika kamu pun menikah secepatnya. Tapi, apa itu yang kamu harapkan? Reenan atau siapa pun itu, haruslah laki-laki yang bertanggung jawab atas kebahagianmu."

"Mami!" Agista mulai berkaca-kaca. "Jangan bikin aku menangis, deh."

"Kamu yang mancing-mancing." Mami kembali mengeratkan genggaman mereka. "Mami sepertinya harus belajar buat merelakan Reenan. Perasaanmu pasti masih enggak keruan?"

"Itu dia. Aku pengin move on segera. Kali aja kenalan anak teman Mami banyak yang ganteng dan masih jomlo."

"Yang bener, kamu tuh move on dulu baru nyari pasangan." Mami menyahut. "Biar kamu enggak selalu membandingkan pasanganmu yang sekarang dengan Reenan."

Rambut bob Mami bergerak indah ketika beliau mengangguk cepat. "Sekarang Mami paham alasanmu dandan cantik begini."

"Benar, kan, dugaanku. Agista pengin ketemuan sama Reenan?" ucap Anin yang muncul tiba-tiba itu meruntuhkan mood.

***

Love, Rara
Pinrang, 09 Juli 2023 

Cinta Kali Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang