Reenan berpisah dari Brad dan rekan lainnya. Meski sudah mengunjungi Jepang ketiga kalinya, dia tidak pernah benar-benar melakukan petualangan. Mereka berada di Shinjuku beberapa jam lalu. Kemudian, Brad memutuskan untuk melakukan spa usai sepanjang hari berkeliaran di kota. Rencana yang tidak disepakati oleh Reenan.
Impian Reenan sejak dulu ketika berkunjung ke negeri matahari terbit ini yakni mengelilingi semua detail Tokyo Skytree. Sekarang, impiannya terwujud. Dia sudah melihat gemerlapnya koa Tokyo di malam hari dari Tembo Galleria. Tidak hanya berlapis kaca, area berbentuk spiral ini memiliki kemiringan. Untuk beberapa saat, Reenan berdiri cukup lama di sana.
Setelah merasa cukup di Tembo Galleria, Reenan beranjak menuju Sorakara Point. Dengan ketinggian 452,1 meter, ruangan ini memberikan sensasi berbeda dari ruangan sebelumnya. Dia dan beberapa pengunjung lainnya tengah menikmati efek cahaya yang menjadikan ruangan tampak begitu luas seolah-olah mereka dapat mengambang.
Sayang sekali, Reenan tidak bisa berlama-lama karena kelaparan. Padahal, belum sejam yang lalu dia baru menikmati ramen dengan kuah panas. Beruntung, bangunan yang tinggi 634 meter ini menyediakan restoran. Ke sanalah Reenan melangkah.
Menariknya, restoran ini menyediakan pemandangan kota Tokyo. Sepaket kursi dan meja diletakkan di sisi bangunan. Pesanannya baru saja dicatat sewaktu ponselnya berdering. Reenan mendesah sembari memejam beberapa saat. Itu telepon dari Ibu. Ya, dia memang menyediaan nada dering khusus untuk tiap orang terdekatnya.
Reenan bukannya tidak ingin mengabaikan telepon dari Ibu. Hanya saja, Ibu akan mengingatkannya pada Agista. Sekali lagi, dia mendesah. Sebenarnya, berapa lama seseorang akan sembuh dari luka patah hati?
"Reenan!" suara Ibu memekik. Tidak biasanya Ibu menelepon dengan suara panik seperti tadi. Apakah ada sesuatu yang terjadi? Jika, ya, dia akan merasa sangat bersalah karena sempat ingin mematikan saja ponselnya.
"Ada apa, Bu?" Reenan memperbaiki posisi. Tadinya, dia sedang bersandar. Kini, dia menegak demi menunggu dengan baik-baik kabar dari ibunya.
"Kamu... kenapa kamu putus dari Agista?"
Usai kalima itu, Reenan membungkuk dan menyugar rambutnya. Pantulannya dari kaca memperlihatkan wajahnya keruh seketika. Sejak putus, dia belum pernah memikirkan bagaimana perasaan Ibu. Agista dan Ibu sudah begitu dekat. Dari sejak mereka bertemu, beliau langsung jatuh cinta pada Agista. Tak peduli Agista pesolek dan tidak bisa masak.
"Reenan, jangan diam saja. Kenapa kalian putus?" ibu mendecak di seberang. Beliau pasti jengkel dan syok. Namun, Reenan tidak memiliki pembelaan apa pun. "Reenan, jawab Ibu!"
"Kami sudah membicarakannya baik-baik, Bu."
"Alasan ap aitu? Membicarakan baik-baik bagaimana? Kenapa harus putus kalau kalian masih saling mencintai. Jangan-jangan, kamu sudah memiliki pacar baru di tempatmu bekerja. Betul begitu?"
"Bukan begitu, Bu!" Reenan menjawab agak berseru. Tuduhan itu hanya mengingatkannya pada tudingan Agista mengenai melakukan affair.
"Katamu tidak ada perempuan lain, tapi kenapa harus berpisah? Kalian berpisah setelah bertahun-tahun menjalin hubungan. Setelah semua keluarga menyukai Agista, kamu ingin menyudahi semuanya? Kenapa, Reenan? Jelaskan pada Ibu sekarang."
Tidak ada jawaban sama sekali. Reenan memandang kejauhan tanpa menikmati titik-titik terang yang mengagumkan. Ibu butuh jawaban. Memangnya, Reenan harus berkata apa? Agista salah paham lalu akhirnya menjalin hubungan dengan Alan? Meskipun dia kesal setengah mati pada mantannya itu, dia masih sadar untuk tidak memperburuk keadaan dengan menjelaskan semuanya.
"REENAN!" kali ini Ibu meneriakinya. Reenan harus menjauhi ponsel dari telinga. "Jawab sekarang!" samar-samar suara Ibu terdengar.
"Bu, aku sama Agista putus baik-baik." Jawabnya ragu. Kalau Ibu begitu ingin tahu alasannya berarti ada kemungkinan Agista belum menjelaskan yang sebenarnya. "Kapan Ibu menemui Agista?"
Dengan kondisi yang baru putus, mustahil Agista yang menemui Ibu terlebih dahulu. Wanita di seberang mengembuskan napas. "Ibu baru saja menemuinya di apartemen. Tahu apa yang Ibu temukan di sana? Dia bersama lelaki asing yang sangat tampan. Dia bahkan jauh lebih tampan dari Alan." Ibu menjeda ucapannya dengan desah sedih.
Dalam jeda yang panjang itu, Reenan bertanya-tanya, siapa lelaki yang Ibu maksud? Lebih tampan dari Alan? Mungkinkah keluarga Agista? Dia tidak akan heran mengingat gen-gen kedua orang tua Agista tidak perlu lagi diragukan. "Siapa?" Reenan pun akhirnya bertanya.
"Entahlah. Anak mud aitu bilang, dia calon pacar Agista. Sungguh, Ibu syok setengah mati. Ibu tidak akan percaya jika Agista beralih pada lelaki lain meskipun lelaki itu jauh berkali-kali lebih tampan darimu."
Reenan tertegun. Benarkah Agista tidak menjalin hubungan dengan Alan? Namun, apa maksud foto Agista yang diposting si penulis naskah di sosmednya? Dia hendak mengecek lagi akun Alan, tetapi suara Ibu menghentikan rencananya.
"Apa kalian sudah bertengkar hebat? Pasti karena itu, kan? Tolong, yakinkan Ibu jika Agista tidak berselingkuh."
"Saat bertemu, Agista enggak bilang alasannya?"
"Reenan!" Ibu sekali lagi membentaknya. "Jangan membuat obrolan ini berputar-putar! Katakan dengan jelas dan jujur, kenapa kalian putus?"
Tahu-tahu, aroma makanan menggelitik hidung. Namun, Reenan sekadar memandangi beberapa wadah berisi makanan yang sudah ada di meja. Dia mengerling pada pramusaji lantas menganggukkan kepala. Dia kemudian melirik ponsel dan menyiapkan mental setelah berucap, "Entahlah. Aku enggak mau Agista menunggu lebih lama lagi."
"Anak bodoh! Kamu itu bodoh sekali, Reenan. Kenapa kamu lebih memilih putus ketimbang menyiapkan mental menikahinya? Apa kurangnya Agista? Hanya karena dia nyari ssempurna, kamu berpikir, akan mendapatkan jauh lebih baik darinya? Sudah Ibu duga, kamu yang memutuskan Agista secara sepihak."
"Ibu–"
"Cukup. Ibu enggak mau lagi mendengar penjelasanmu."
Percakapan berakhir. Ibu marah besar padanya. Kalau ada di sini, beliau sudah memukul lengannya. Dia memang bodoh. Sudah setua ini, dia masih belum bisa mengambil keputusan penting. Reenan meneletakkan ponsel dan termenung. Namun, ada yang jauh lebih penting sekarang. "Siapa... siapa lelaki itu?" Reenan mengambil ponsel demi menghubungi Alan. Sebelum itu terjadi, ponselnya sudah mendering. Ibu kembali menelepon. Tanpa banyak berpikir, dia segera mengangkatnya hanya untuk mendapatkan kekesalan Ibu.
"Jadi, kamu sudah tidak lagi mencintai Agista? Kenapa perasaanmu lenyap begitu saja, Reenan? Kamu itu lelaki bodoh yang tidak pandai bersyukur. Ibu sungguh menyesal tidak mendidikmu dengan baik hingga melukai perasaan seorang perempuan begitu dalam. Ibu sungguh tidak percaya kamu sejahat ini, Reenan."
Reenan menyentuh kening dan memijatnya. "Bukan berarti aku enggak lagi cinta sama Agista, Bu."
"Pembohong. Mana ada orang yang mengaku cinta tapi melepaskan hubungannya begitu saja. Setelah sekian lama Agista menunggu, kamu melepasnya begitu saja? Reenan, Reenan. Apa hatimu terbuat dari batu?"
"Aku juga enggak pengin pisah dari Agista, Bu?"
"Katanya masih cinta, tidak mau berpisah. Kenyaaannya, kamu memberikan kesempatan besar untuk lelaki mana pun mempersunting Agista. Ingat, Reenan. Tidak setiap orang memiliki banyak kesempatan. Jangan sampai kamu menyesal seumur hidup karena menyia-nyiakan orang sebaik Agista."
"Tapi..." Reenan menyuarakan kepedihannya. Dia mengedip karena tak menyangka satu air mata lolos begitu saja.
"Rebut Agista kembali." Ibu melanjutkan tanpa ragu. "Sebelum kamu benar-benar kehilangan kesempatan."
***
Love, RaraPinrang, 17 Juli 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Kali Kedua
RomanceAgista minta putus dari Reenan. Pacar baik hati dan gantengnya yang satu dekade menjalin hubungan enggak kunjung datang melamar. Usai mencampakkan koki kapal pesiar itu, Agista pun berburu calon suami. Akan tetapi, pencariannya tidak mulus karena e...