Keraguan yang Sirna

12 0 0
                                    

            Agista tidak baik-baik saja mengenai rumor yang beredar itu. Kenapa ada masalah lain ketika dia sudah bisa menerima Thomas dengan penuh keyakinan?

Thomas ternyata tak sebaik yang orang kira. Dia kasar dan pernah menempeleng seorang kru saat syuting. Setidaknya, begitu rumor yang beredar di beberapa akun gosip di Instagram.

Namun, sejauh ini, Thomas tidak pernah menunjukkan tanda-tanda jika sikapnya memang kasar. Sikap mendarah daging itu tidak mungkin begitu mudah lenyap. Rumor itu muncul dua hari lalu usai dia dan Thomas pulang dari makan malam. Tak biasaya sebelum tidur, Agista membuka akun Instagram dan menemukan hal tidak mengenakkan mengenai calon gebetannya.

Hingga saat ini, Thomas senantiasa sibuk. Dia tidak memberikan klarifikasi apa pun. Jarang main medsos bukan alasan Thomas tak tahu sedang ada kabar tidak sedap mengenainya.

Mungkin memang bukan sesuatu yang harus Agista pikirkan. Cowok yang saat ini mulai melakukan syuting perdananya untuk serial baru, pernah mengatakan tak terlalu peduli dengan omongan buruk orang tentangnya. Selama dia tak seperti itu, Thomas akan cuek-cuek saja. Maka, Agista tak perlu ikut memusingkannya. Jika itu bukan sekadar rumor, itu akan terbukti sesegera mungkin. Dia harap begiu.

Agista baru bangun saat menjelang pukul satu siang. Dia tiba di rumah saat subuh. Tubuhnya pegal-pegal karena perjalanan Jakarta-Bandung yang melelahkan. Saat baru saja membersihkan diri, dia melirik ponsel dan membeliak saat Thomas menelepon.

Kabar mengejutkannya, cowok itu sedang berdiri di depan pintu unitnya. Agista melemparkan ponsel ke sofa lalu melepas gelungan rambutnya yang asal. Dia berderap ke depa cermin dan melihat seperti apa bayangannya. Tampak begitu segar usai mandi. Dia menambahkan pelembap bibir serta memoles wajah dengan krim. Lalu, rambut tebalnya dirapikan lagi.

Terakhir, Agista melirik pakaian. Tidak ada yang salah dengan kaus biru dan jin denimnya. Dengan percaya diri, dia pun bergerak dan mementangkan pintu demi mendapatkan sebuket bunga pink semerbak.

"Hei!" Agista melepas tawa, tetapi tetap mengambil sebuket bunga indah itu. "Yuk masuk."

Thomas menerima gandengan tangan dari Agista. "Aku sebenarnya cukup mengirim chat atau menelepon saja. Tapi, rugi kalau aku enggak langsung menemuimu sementara aku di sekitar sini."

"Lho, ngapain?" Agista mengernyit kemudian melirik buket bunga cantiknya. Omong-omong, tidak ada usaha florist di sekitar sini. Dia menyimpan buket bunga dengan hati-hati tak jauh dari sofa dan ikut duduk di samping Thomas.

"Aku diajak ketemuan sama seorang kenalan." Thomas mendekat dan mengendus lembut rambut perempuan di sampingnya. "Trus bung aitu memang udah kupesan buat dikirim langsung. Tapi seperti yang aku bilang, aku berubah pikiran."

Agista bersyukur sudah bangun ketika Thomas berencana datang ke tempat ini. Dia tidak langsung menanggapi karena masih bimbang akan pilihannya. Apakah perlu menanyakan rumor itu langsung pada cowok yang balas menatap dengan alis meliuk itu.

"Ada apa?"

"Ya, kaget aja kamu datang tanpa sebab."

"Kamu masih butuh istirahat?" wajah persegi tersebut berubah serius. "Aku enggak peka sekali."

"Bukan begitu, kok." Agista merasa sungkan. Padahal, dia tidak biasanya menahan diri seperti ini. "Aku ambilin kamu minum."

Saat Agista bangkit, Thomas langsung menariknya. Agista mendudukkan diri begitu dekat dengan Thomas hingga mampu menghidu aroma parfum maskulin yang tidak menyengat. "Aku cuman kangen."

Ketertarikan antara mereka tidak bisa lagi ditutupi. Agista bukan cewek pemalu yang suka menahan diri. Hanya saja, sejak rumor itu, pikirannya tidak tenang. Dia tidak ingin salah lagi.

"Kamu enggak kangen apa sama aku?"

Dengan menegakkan kepala, Agista malah membual. "Enggak, tuh."

"Memang aku enggak ngangenin, sih."

"Siapa yang bilang?"

Suara Thomas mengekeh dengan nyaring. "Orang-orang. Teman dekat aku. Kerabat. Rekan kerja. Sekarang kamu secara enggak langsung udah menunjukkannya."

Agista menyandarkan diri di sofa. Dia membalas genggaman Thomas yang hangat. "Aku kangen, kok. Sedikit aja, tapi."

Lalu, satu tangan Thomas menempel di dahi Agista. Telunjuknya berulang kali mengelus dahi putih lembut tersebut. "Kamu sebenarnya kangen banget, tapi lagi banyak pikiran. Makanya kayak enggak kangen-kangen amat. Begitu, kan?"

"Sok tahu." Agista memejam.

Semenjak ajakan makan malam di rumah cowok itu terlaksana juga, keduanya mulai tak ragu seperti ini; saling bergandengan tangan dan menatap satu sama lain. Obrolan mereka mulai intim dan tak melulu membahas pekerjaan.

"Atau sebenarnya kamu cuman capek?"

Meskipun capek, Agista jarang mengeluh. Dia mencintai pekerjaannya. Amat mencintai pekerjaan yang menghidupinya. Padahal, dia pernah berpikir mungkin sudah cukup mengandalkan kedua orang tuanya. Namun, menjadi dewasa dan mandiri itu ternyata nyata. "Aku pengin nanya sesuatu." Dia membuka mata. Di depannya, Thomas tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali.

"Ah, pantas kamu pikirin. Gosip yang beredar itu memang agak mengganggu, sih." Ujar Thomas dengan santainya. Telunjuk itu sudah bergerak merapikan helai-helai pendek rambut Agista. "Pantas aja kamu jadi enggak kangen sama aku."

Tak ada sedikit pun rasa gugup yang terpancar. Mungkin, Thomas memang hanya sekadar digosipkan. Tak sedikit aktor diterpa kabar buruk di tengah kepopulerannya. "Berarti itu beneran gosip?"

"Aku berusaha mendiamkannya, Agista." Thomas melepas sentuhannya. Dia menatap perempuan di samping dengan penuh perhatian. "Itu enggak benar sama sekali. Ketimbang membuang waktu dengan mengklarifikasi setiap tuduhan enggak benar, aku lebih baik fokus bekerja."

"Masa, sih, enggak bikin kamu terganggu?"

"Maaf, ya, udah bikin kamu senewen dan gelisah karena masalahku. Mulai sekarang, kamu harus kuatin mental karena selepas gosip ini, akan ada gosip lain yang lebih wah."

Agista melipat kaki. Tidak sedetik pun pandangannya pindah dari mata hitam Thomas. "Kayaknya kamu udah terbiasa digosipin."

"Waktu SMA, aku pernah digosipin suka sama lawan jenis." Thomas yang sekarang terlihat kebingungan. "Aneh karena sekarang kamu enggak kelihatan panik."

"Alan pernah digosipin gay," ujar Agista mulai berapi-api. Kejadian itu berlangsung sudah sangat lama. "Aku menyesal pernah ngasih solusi agar kami pacaran aja. Alan enggak meladeni omongan orang-orang. Dan, ya, gosip itu pun menghilang begitu saja."

Ada embusan napas legah dari Thomas. Dia pun menyandarkan diri ke sofa. Kepalanya ditelengkan ke samping. "Enggak ada gunanya meladeni orang-orang rese."

"Untung aja, sih, bukan aku yang ada di posisimu."

Alis tebal Thomas terangkat. Namun, senyumnya merekah. "Karena?"

"Aku bakal mengejar orang yang udah bikin namaku tercemar."

"Aku juga ditawari solusi kayak gitu." Thomas mengucapkannya dengan nada kalem. "Tapi untuk saat ini, aku belum kepikiran. Jadi, gimana perasaanmu sekarang? Udah beneran lega atau masih ragu?"

Setelah melihat gerak-gerik dan pengakuan cowok yang tampak menanti jawaban, Agista mulai memberikan jawaban dengan anggukan cepat. Dia tidak ingin mengklaim sudah mengenal Thomas begitu lama untuk membuktikan penilaiannya tepat. Namun, saat bersama cowok ini, dia tak pernah sekali pun menemukan celah.

"Jadi, kita udah boleh pelukan, nih?"

Di saat yang bersamaan, Agista mengekeh. Dia yang lebih dulu merangkul tubuh berotot itu dan mendekapnya erat-erat.

***

Love, RaraPinrang, 21 Juli 2023

Cinta Kali Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang