Menghadapi Kenyataan

12 0 0
                                    

Inilah kenapa seseorang tidak harus mengandalkan ponsel sepenuhnya. Di ponsel barunya, dia tidak bisa lagi menghubungi Agista. Juga siapa pun yang bisa menghubungkannya dengan perempuan yang memblokirnya dari semua akun sosmed. Menggunakan nomor orang lain pun percuma. Agista tanpa berpikir panjang langsung melakukan pemblokiran.

Setelah ini, Reenan akan menggunakan notes. Cara lain untuk mengantisipasi keadaan darurat dengan mencatat nomor orang penting, seperti Binar. Karena tidak memilikinya, dia pun kelimpungan. Kemarahan Agista sudah seminggu. Ini fatal dan dia dalam bahaya jika tidak memperbaiki keadaan sesegera mungkin.

Binar sudah tidak bisa lagi diandalkan. Masih ada seorang lagi yang Reenan pikirkan. Alan. Sahabat dekat pacarnya. Meskipun dia dan penulis skenario itu tidak dekat, mungkin ada jalan baginya jika menghubungi Alan.

Dengan memanfaatkan mesin pencarian, Reenan menyelusuri informasi mengenai Alan. Lelaki yang menampilkan raut misterius itu rupanya salah satu penulis skenario populer. Wajah rupawan dan karya yang hebat menjadi kombinasi pas untuk mendapatkan perhatian banyak orang. Hanya perlu membaca satu artikel, Reenan sudah mendapatkan salah satu akun sosial media penulis yang mendapatkan penghargaan pertamanya tahun lalu itu.

Masih dengan seragamnya, Reenan memelesat ke bagian belakang kapal. Di sana cukup sepi dan sejuk. Kondisi yang cocok untuknya setelah mendapatkan tiga teguran karena salah menakar resep. Konsentrasinya mulai pecah karena Agista ternyata merajuk cukup lama dari perkiraannya.

"Setelah rehat sejenak, kau harus kembali dengan kondisi prima." Brad berseru di belakang. Reenan hanya memberinya jempol sebelum benar-benar hilang dari area dapur.

Brad teman baik yang pengertian. Meski begitu, Reenan merasa tak perlu menjelaskan kekisruhan hatinya hingga nyaris berbuat kesalahan di dapur. Seseorang bisa saja melakukan kesalahan, itu wajar. Namun, Reenan selalu berhati-hati agar tidak melakukan sekecil apa pun kesalahan. Dia ingin menunjukkan betapa hebat dirinya di dapur.

Akun sosial bercentang biru itu kemudian di klik. Detik itu juga, Reenan terpaku pada postingan teratas. Dia menyipit ketika mendapati foto Agista tanpa make-up. Sungguh sangat cantik. Perhatiannya lalu teralih pada caption yang tertulis, "My Sunshine."

"Apa-apaan?"

Tanpa sadar, dia bersuara cukup keras. Foto itu diunggah semalam dan mengundang banyak komentar. Tangannya gemetar karena amarah yang mulai mendekat ke ubun-ubun. Dia ingin berprasangka baik-baik. Agista memang kerap mengancam, tetapi tak benar-benar mewujudkannya.

Lalu, apa ini? Kenapa kolom komentar tersebut banjir dengan pertanyaan klarifikasi dari Alan? Beberapa di antaranya malah memberikan ucapan doa yang tulus.

Pasti ada yang salah. Agista... Agista dan Alan tidak mungkin... Reenan masih menelusuri ribuan komentar yang belum mendapatkan balasan. Apa maksud caption yang Alan tuliskan itu?

Mereka tidak mungkin bersama. Sayangnya, hanya foto Agista ini satu-satunya yang ada di postingan lelaki yang gemar memamerkan pencapaiannya itu.

Sialan, lelaki itu! Tanpa sadar, Reenan memukul pagar kapal pesiar. Dia tanpa sadar melepas topi putih yang menjadi seragam khasnya di dapur. "Berengsek, berengsek, berengek!"

Reenan bersandar dan menyugar rambut dengan amarah memuncak. Padahal, Agista selalu mengatakan Alan sabahat terbaiknya. Mereka seperti saudara dan segala jenis definisi lain yang menggambarkan mereka tidak akan pernah menjadi sepasang kekasih. Kini, dia paham seseorang yang berpotensi jadi suami ideal itu.

Alan, lelaki pendiam dan terlihat misterius itu, mungkin sudah sejak dulu menyimpan perasaan pada Agista. Dia melirik lagi akun tersebut dan mengecek apakah bisa melakukan panggilan. Setelah menemukannya, Reenan tak perlu butuh waktu untuk menjalankan niatnya.

Butuh waktu nyaris semenit ketika usahanya berhasil. Ketika mendengar suara berat itu, Reenan membuka suara, "Aku ingin bicara dengan Agista."

"Ya?" suara di seberang terdengar tidak yakin.

Reenan mendeham. Dia marah, kesal, dan kecewa berat. Akan tetapi, dia perlu mengatur emosinya agar percakapan ini tidak berakhir membuatnya rugi. "Ini Reenan. Aku kesulitan menghubungi Agista, jadi mungkin kamu bisa membantuku."

"Wah, kamu membutuhkan, ya?" suara kekehan menyusul. Reenan seperti mendengar ejekan itu berupa cemoohan. "Kenapa harus melalui perantara, Re? Sekarang kamu di Singapura dan luang, kenapa enggak mengunjungi langsung?"

Perkataan dari seberang lekas membuat Reenan berbalik dan memindai sekelilingnya. Kapal ini baru akan melanjutkan perjalanan besok siang. Kerutan di dahinya bertambah ketika Reenan menyadari sesuatu. "Kamu..." Koki hanya mengetahui jumlah penumpang di kapal tanpa tahu betul detail mereka.

"Bukan, Reenan. Aku belum berada di level yang berlibur dengan menumpangi kapal pesiar." Jeda sekian detik. Lalu, ucapan Alan menyentaknya. "Katarina pasti enggak mengenalkanku padamu, ya?"

Sungguh, Reenan terkejut setengah mati. Dia tak menyangka Katarina dan Alan bisa saling mengenal. Kalau lelaki itu tahu posisinya sekarang, mungkin saja... Ya, Tuhan. Reenan memijat pelipis. Dia berharap aib malam itu tidak terbongkar. "Kalian berteman?"

"Kamu pasti bangga karena disukai sama cewek secantik dirinya."

Reenan menelan ludah. Tamat sudah riwayatnya. Dia memejam dan bersusah payah untuk berbicara. "Aku menelepon bukan karena ingin membahas Katarina."

"Ayolah, Reenan. Kamu enggak bisa memiliki dua perempuan sekaligus."

"Aku dan Katarina enggak menjalin hubungan apa pun!"

Rupanya lawan bicara Reenan masih tidak percaya. Dia berdengkus keras-keras. "Temui Agista langsung jika ingin bicara dengannya."

"Kalian pacaran?" tembaknya. Reenan tidak bisa lagi menahan pertanyaan itu terus bertahan di kepala. Sembari menunggu, dia berharap agar jawaban dari seberang memuskannya.

"Itu udah enggak penting lagi."

"Jawab aku, Alan!" Reenan membentak. Dia tak peduli seseorang staf kebersihan lewat dan kaget. "Kamu enggak mungkin menggunakan kesempatan untuk merayu Agista."

"Dude, aku enggak perlu bersusah payah untuk merayunya." Alan menjawab begitu ringan. Seolah ucapan itu tidak menyakiti Reenan. "Selama ini, aku orang yang selalu berada di sisinya saat kamu enggak bisa melakukannya karena terobsesi pada hal lain."

"Sialan!"

"Bukan aku yang menyia-nyiakan kesempatan untuk bersama Agista. Dengar, kamu enggak rugi sedikit pun jika mendapatkan Katarina."

Setelahnya, pembicaraan di antara mereka berakhir. Tangannya yang kosong mengepal erat. Dengan dada yang naik turun karena emosi, Reenan hanya menatap lautan biru tanpa bisa melemparkan teriakan.

Jadi, Agista lebih memilih Alan. Kenapa harus lelaki sombong itu yang dipilihnya? Tidak. Tidak. Agista bahkan tidak boleh melirik siapa pun. Reenan berjongkok. Satu tangannya meremas bagian rambut depan dengan kuat. "Arrrgggh, berengsek!" jeritnya tatkala tak berhasil menyembunyikan rasa frustrasi.

"Reenan, ada apa denganmu?"

Suara yang terbalut cemas itu tak diacuhkan Reenan. Dia tetap menunduk dengan memejam. Dia masih tidak percaya Agista... Agista mencampakkannya demi Alan. Baiklah, Alan mungkin memiliki kriteria yang Agista sukai. Namun, kenapa sekarang?

"SIALAN!"

"Reenan, hei!"

"Brad, please!" ungkapnya dengan nada tegas. Dia masih belum mau menunjukkan wajah kalahnya pada siapa pun. "Just please leave me by myself!"

"Ok. Aku di dalam jika kau sudah ingin berbagi atau apa pun itu."

***
Love, Rara
Pinrang, 08 Juli 2023

Cinta Kali Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang