Kita Putus!

16 1 0
                                    

Please, call me back as soon as possible.

Ponselnya mendering dan menampilkan nomor asing. Agista kok yakin sekali itu Reenan. Karenanya, dalam beberapa kesempatan, Agista kerap mengulang harapan tersebut agar bisa memastikan dugaannya.

Agista semestinya tak berharap banyak dulu. Pekerjaannya sekarang membutuhkan konsentrasi tinggi. Bukannya senantiasa melirik pada ponsel di nakas. Tindakan yang sama sekali tidak profesional.

Agista memiliki aturan ketika sedang bekerja yakni mengamankan ponsel ke tas dalam mode hening. Itu dilakukan karena konsentrasinya mudah pecah. Sewaktu mengakhiri telepon dengan Alan beberapa saat lalu, dia ceroboh meletakkan saja benda tersebut.

Lalu, ponselnya menderitkan nada khusus yang mengejutkan Agista. Dia langsung bergerak untuk menjangkau ponsel dan mendapati nama Alan. Untung dia teringat pada klien. Agista menggumamkan permintaan maaf pada calon menantu wali kota tersebut kemudian melanjutkan pekerjaan.

Ketika melakukan rutinitasnya mendadani klien, Agista ingin menunjukkan totalitas. Terlebih pada klien pentingnya satu ini. Gadis anggun dan manis ini memang bukan model atau aktris terkenal melainkan akademis berprestasi yang dalam hitungan jam akan menjadi menantu orang penting di kota ini.

Demi kenyamanan tiap klien, Agista kerap mengobrol demi mencari tahu jenis dandanan yang mereka inginkan, termasuk perempuan semampai berkuning langsat ini. Dia mendambakan dandanan glamour, tetapi elegan. Selain itu, Agista pun menyadari jika klien yang sedang dirias alisnya begitu detail. Maka, dia harus berkonsentrasi. Salah sedikit saja, kariernya bisa jadi taruhan.

"Wow, aku jadi cantik banget." Pujian pertama dari si calon mempelai. "Tempo hari, aku pernah bilang kalau alisku harus dibikin cantik, kan?"

Agista memandangi cermin sembari tersenyum. Dia sepertinya tahu apa yang akan kliennya ini ucapkan. "Aku suka banget sama alis di antara semua fitur di wajahku. Itu bikin aku cerewet kalau didandani. Tapi, kamu bisa wujudin apa yang aku mau."

"Alis yang Mbak punya memang punya daya tarik." Agista mengecek dengan saksama wajah kliennya. Dia lantas mengambil lipstik berwarna terang dari lima pilihan yang tersedia. "Salah treatment sedikit aja, bisa mengubah kecantikan Mbak meski sebenarnya Mbak udah cantik banget."

"Jadi, Agista, sekarang aku udah yakin bakal pakai jasa kamu lagi di kemudian hari." Mempelai perempuan tersebut mengedip dan kembali menatap ke cermin.

Obrolan ini menenangkan dan untuk sesaat Agista lupa pada panggilan telepon tadi. 20 menit kemudian, Agista memulas senyum paling lebar. Kini, dia tahu bahwa perempuan yang sebentar lagi mengenakan siger begitu puas. Binar pada matanya begitu jelas terlihat.

Tepat ketika Agista berbalik menuju nakas, ponselnya mendering. Masih nomor yang sama. Agista mengangkat sembari membuka pintu menuju balkon. Segera, ucapannya meluncur tanpa ditahan-tahan lagi. "Aku udah telepon kamu berulang kali, Re."

"Hai, Sayang–"

"Sayang, sayang, enggak bakal mempan. Kamu tuh enggak sayang kalau suka ngilang-ngilang kayak kemarin. Apa, sih? Sering banget merasa kayak paling sibuk sedunia. Re, aku, kan, enggak suka kalau kamu enggak ada kabar. Bikin aku overthinking dan senewen. Aku udah muak dan enggak percaya kalau kamu bilangnya sibuk." Sontak, Agista menutup mulut. Alisnya naik lalu memandangi telepon. Mereka masih terhubung. "Lho, kok diam? Halo, Re?"

"Aku dengerin semua yang pengin kamu bilang sejak kemarin, Gis. Masih ada yang perlu aku dengar, Sayang?"

Agista makin jengkel. "Aku beneran lagi sebal, lho, sama kamu. Bukan cuman pengin ngomelin kamu sekarang, aku juga pengin..." Dia berhenti sejenak demi memikirkan kata-kata yang tepat. "Habis ini, aku enggak mau terima telepon dari kamu!"

"Hei, dengerin aku dulu, Gis." Reenan masih berusaha memulai percakapan dengan nada lembut. "Ponselku rusak."

"Menurutmu aku sebodoh itu percaya gitu aja, Re? Benar-benar, ya, kamu."

"Mana mungkin aku menelepon pacar dengan barang pinjaman."

Demi mendengar balasan tersebut, Agista memanjangkan decakan. "Gitu doang alasannya enggak ngasih kabar ke aku?" tempo hari, orang tua Reenan menemuinya. Beliau mengaku tidak tahu mengenai kesibukan Agista yang baru saja merayakan pernikahan Binar. Tak lupa, Tante Asia menyebutkan perihal ponsel Reenan yang terjatuh.

"Ibu belum menemuimu, ya? Soalnya aku sempat–"

"Ini bukan sesepela yang kamu pikir, Re." Agista duduk di salah satu bangku rotan. Seungguhnya, dia masih ingin mengomeli cowok tak peka di seberang sana. Namun, ada yang lebih penting. Jauh lebih penting dari kerinduannya yang selama ini dibendung. "Ada hal penting yang pengin aku bicarain, tapi aku enggak bisa nunggu sampai kamu balik."

"Oh, ya? Aku udah punya ponsel baru. Kapan pun kamu pengin ngobrol, aku akan selalu punya waktu."

Omong kosong! Agista tahu persis bagaimana sibuknya koki kapal pesiar. Mereka akan sibuk tiga jam sebelum jam makan. Ditambah dengan perbedaan waktu di antara mereka. Mungkin, Agista bisa egois, tetapi dia takkan setega itu pada Reenan.

"Jujur, aku masih kesal kamu enggak bisa datang di acara Binar."

Telinga Agista mendengar desahan panjang. Reenan pasti sedang menyugar rambutnya. "Waktunya enggak tepat, Agista. Sampai sekarang aku belum ambil cuti karena–"

"Dari dulu, kamu enggak tahu apa itu cuti." Agista memotong dengan cepat. Dia sedang menggoyangkan ujung kakinya pada birai balkon.

"Oke. Kamu pengin bahas apa tadi?"

"Udah enggak tahan pengin matiin telepon pasti, ya?"

"Agista, please. Kemarin aku memang keterlaluan. Semestinya, aku berusaha keras menghubungimu. Janji, aku enggak akan mengulanginya."

Area balkon sempit ini diteduhi dengan berbagai pot berisikan tanaman yang memanjakan mata. Meski begitu, kemarahan Agista belum juga reda. "Papa sempat menanyakanmu yang belum juga datang melamar."

Mereka berdua tahu, percakapan sensitif ini akan mengheningkan situasi beberapa waktu. Dalam diamnya, Agista mengulas senyum sinis. Dia melongok ke bawah. Terlihat orang-orang bersileweran. Semuanya berpakaian formal. Tak lama lagi, calon mempelai akan turun dan segera dibawa ke hotel tempat acara berlangsung.

"Ehm, Agista, begini..."

"Untung kamu enggak lagi minum, ya. Bisa-bisa keselek."

"Jangan menyindirku."

"Aku lagi enggak nyindir kamu, kok. Dalam kondisi santai aja, kamu udah syok banget. Heran, deh, kenapa kamu takut banget aku mengungkit soal lamaran. Menikah sama aku semenyeramkan itu, ya?"

"Pekerjaan ini masih terlalu berharga buat aku lepasin sekarang, Agista."

"Siapa yang nyuruh kamu berhenti?" tahu-tahu suara Agista meninggi. Dia bahkan tak sadar sudah bangkit dari duduknya. "Seegoisnya aku, sekali pun enggak pernah minta kamu berhenti melakukan sesuatu yang kamu suka."

"Omongan ini kita tunda dulu aja, Gis. Aku kepengin–"

Detik ini juga, Agista bertambah berang. Dia berseru, "DITUNDA, RE? Aku–" ucapannya terputus ketika seseorang menyembulkan kepala. Dia memberikan anggukan permintaan maaf kemudian berbalik. Sembari mengatur napas, dia memijat kening. "Ternyata memang benar, ya, kamu enggak seserius yang orang-orang kira."

"Hei, hei, jangan ambil keputusan kayak gitu. Aku suka dengan pekerjaan ini, Agista. Aku masih punya impian dan kamu udah tahu itu. Dengan menikah, aku... aku pasti harus berpikir ulang untuk terus melaut. Ayolah, kamu pasti mengerti kondisiku sekarang ini."

"Maaf, Re, tapi stok kesabaranku udah menipis." Agista memejam. Dia ingin mengakhiri saja percakapan di antara mereka. "Lagian, aku enggak pengin jadi cewek yang ngemis-ngemis terus sama cowok yang sama sekali udah enggak mengharapkan aku lagi." Dia memantapkan diri ketika mengucapkan, "Omong-omong, Papi mengenalkanku dengan seseorang. Dia calon suami yang bisa aku andalkan."


***

Love, RaraPinrang, 04 Juli 2023

Cinta Kali Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang