First Love

8 0 0
                                    

Reenan tidak butuh kuliah. Mendapatkan nilai terbaik saat kelulusan bukanlah hal terpentinh. Jika teman-temannya membicarakan ke mana mereka usai lulus sekolah, dia justru memikirkan berbagai jenis pekerjaan yang cocok untuknya.

Sebenarnya, Reenan bisa saja kerja serabutan. Itu sama sekali bukan masalah besar, tetapi Bapak memiliki kehendak lain. Beliau justru menyuruhnya kuliah. Sebagai sulung dalam keluarga, Reenan harus memberikan contoh yang baik pada adik-adiknya. Maka, Reenan menurut. Dia kuliah sembari bekerja paruh waktu. Semuanya berjalan lancar. Walaupun Reenan bukanlah anak cerdas, tetapi tekad bulatnya mengantarkan untuk menyusun skripsi lebih cepat.

Di kafe tak jauh dari kampusnya ketika sedang menemani teman, Reenan berjumpa dengan seorang gadis cantik. Amat cantik sebetulnya. Hanya pertemuan singkat, tetapi begitu bermakna. Reenan jadi mengerti arti jatuh cinta saat pandangan pertama. Namun, dia tidak bisa berharap lebih. Gadis cantik mana yang menyukai lelaki sederhana sepertinya?

Kesempatan untuk melihat lagi gadis itu ternyata terwujud. Reenan sedang bergegas ke perpus lalu suara riuh di belakang menghentikannya. Entah apa yang mendorongnya, tetapi dia berbalik. Dia mengedip berulang kali untuk memastikan penglihatannya.

Gadis cantik itu lagi. Dia duduk kesakitan di lantai ketika seseorang menawarkan bantuan. Reenan tersenyum kecut karena kehilangan kesempatan untuk menawarkan pertolongan. Segera, dia menghapus imajinasi bodoh itu kemudian pergi. Namun, bayangan gadis berambut kecokelatan, yang helai-helainya tampak begitu halus, muncul dalam benaknya. Dia bahkan masih begitu cantik ketika meringis kesakitan.

Reenan mengira akan baik-baik saja setelahnya. Rupanya tidak. Pikirannya senantiasa tertuju pada gadis tak bernama tadi. Dia menyesal sudah melewatkan kesempatan. Paling tidak, dia bisa mendekat lagi tadi. Namun, bukankah itu hanya menambah beban saja? Bagaimana jika dirinya terabaikan?

Karena tidak bisa berkonsentrasi, dia bangkit dari kursi dan berniat pulang. Langkahnya menjadi kaku. Dia terkesiap pada sosok di depannya. Kenapa… kenapa sosok yang sejak tadi berada di kepalanya, tiba-tiba muncul di ruangan ini?

“Halo. Aku Agista.” Tangan putih yang terulur itu begitu lentik dan halus. “Eh, kita… pernah ketemu sebelum ini, kok.”
Hanya saja, Reenan begitu gugup dan tidak percaya. Tunggu, gadis ini… siapa tadi? Agista. Ya, Agista. Nama yang begitu indah. Untuk berapa lama, Reenan hanya mematung.

Kemudian tawa kecil yang gugup itu terdengar. Reenan melihat Agista menarik tangannya. “Maaf kalau aku ganggu.”

Begitu Agista menghilang dari pandangan, barulah Reenan mengutuki diri. Dia berdecak dan segera berlari. Bodoh sekali, Reenan! Ada gadis yang luar biasa cantik mendekatimu, tapi kamu mengabaikannya.

Reenan sama sekali tidak memiliki pengalaman berinteraksi dengan lawan jenis. Kesehariannya disibukkan dengan tanggung jawab sebagai sulung dalam keluarga. Dia tidak memiliki waktu untuk nongkrong sewaktu jam kuliah berakhir. Dia tidak begitu menyimak obrolan sebagian temannya mengenai gadis-gadis cantik.

Lalu, tiba-tiba saja, seeorang paling cantik mendatangi dan mengajak Reenan berkenalan. Kesempatan yang tak disangka-sangka itu datang padanya. Maka, dia tidak lagi menyia-nyiakannya.
Agista masih berjarak di depannya. Sial, cepat juga langkahnya! Sembari menahan muatan ransel, Reenan berusaha menjajari langkah gadis berambut sebahu itu.

“Hei, maaf soal tadi,” Reenan berujar ketika selangkah lagi menyamai Agista. Gadis itu agak terkesiap sewaktu menoleh. “Aku… aku…” Kenapa begitu sulit untuk mengucapkan sesuatu?

Beruntung karena Agista menghentikan gerakannya. Dia melengak. Pelan-pelan, senyum pada bibir merah tersebut terbit. Tindakan yang perlahan melegakan bagi Reenan. “Enggak, kok. Aku yang tiba-tiba aja ngajak kenalan.”

“Boleh diulang?” Reenan berusaha berucap tanpa terpatah-patah.

“Apanya yang diulang?”

Reenan mati kutu. Dia menyeret tali ransel yang melorot dari pundak. Lalu, dia menghapus keringat di dahi. Dia kepanasan setelah mengejar Agista padahal tak butuh tenaga yang besar untuk melakukannya. “Itu… maksud aku, kita ulang…” Terus saja buat dirimu malu, Bung!

Seseorang menyenggol Agista. Gadis itu lekas bergeser dengan tampang kusut. Reenan segera mengerti jika mereka berada di tempat yang salah. Koridor ini akan selalu ramai. Dia kemudian menunjuk belokan berjarak dua langkah di depannya.

“Sebenarnya, aku udah ngenalin diri tadi.” Agista langsung bersuara ketika mereka tiba di depan mading besar yang sebagian isinya sudah melompong.

“Ya, Agista.” Reenan mengusap hidungnya. “Reenan.” Dia tidak mengulurkan tangan kapalannya. Selain itu, tangannya berkeringat dingin. Dia enggan membuat kesan yang jelek saat bersalaman. “Aku baru sadar kalau kamu mahasiswi di sini.”

“Eh.” Agista cengengesan. Dia menggeleng dengan cepat. “Aku diajak teman ke sini.”

“Oh, ya?” Reenan melongok ke kanan maupun ke kiri. Sejak tadi, dia tidak melihat keberadaan orang lain di sisi Agista. “Lalu, ke mana dia?”

“Enggak tahu,” Agista mengucapkannya dengan santai. Tatapannya yang terus mengarah pada Reenan hanya membuat salah tingkah. “Tapi, aku enggak buru-buru amat, sih, pengin pulang. Teman aku masih ngurus sesuatu kali. Dia bakal nelepon balik kalau urusannya udah beres. Omong-omong, aku haus, ada kantin deket sini?”

Dalam perjalanan ke kantin, Reenan lebih banyak menanggapi Agista. Dia kesulitan mencari topik yang cocok. Itu membuatnya takut. Gadis semampai yang ceria ini pasti berpikir betapa tidak asyiknya Reenan. Dia akan menerima jika ini terakhir kali mereka bertemu. Lagi pula, dia seharusnya bersikap realitis. Agista murni ingin berkenalan sedar menambah teman. Bukannya naksir pada Reenan.

Mereka hanya sebentar di kantin. Tepat ketika Agista memesan minuman, ponselnya mendering. Gadis itu menjawab sebentar dan setelahnya pamit. Perjumpaang ini cukup. Lebih dari cukup. Dia sungguh keterlalu jika mengharapkan lebih. Meskipun itu hanya pertemanan.

Hari ketiga semenjak pertemuan itu, Agista kembali muncul di perpustakan. Reenan sungguh tak percaya pada nasib yang memihaknya. Gadis yang kali ini mengucir tinggi rambutnya datang menghampiri.

“Kamu kayak syok gitu ketemu aku lagi.”

“Eh… Enggak.” Reenan mendeham. Dia menggosok pelipis. “Aku kaget aja. Sejujurnya, aku sedikit gugup.”

Ketika Agista menelengkan kepala ke kiri, kuciran rambutnya pun bergerak ke arah yang sama. Lebat, sehat, dan berkilau. Itu sangat berkebalikan dengan rambut acak-acakannya yang tak terurus. “Gugup kenapa?”

Reenan mengabaikan pertanyaan tersebut. Dia bingung dalam menjawab. Berterus terang akan membuatnya begitu lugu. “Kamu lagi nungguin teman?”

Agista menggeleng kecil, tetapi senyum di wajahnya tak pernah hilang. “Kamu lanjut lagi aja. Aku cuman pengin liatin doang, kok.”

Selama seminggu setelahnya, Agista selalu muncul di perpustakaan. Kemunculan yang menerbangkan perasaan Reenan. Mereka mengobrolkan banyak hal. Jika terus begini, bolehkah Reenan berharap?

Ada saat tertentu, Reenan berharap mereka hanya sebatas menjadi sahabat. Dia bisa menduga seperti apa kehidupan Agista hanya dengan menilik penampilan gadis yang rupanya masih duduk di bangku SMA itu.

Lihat, usia mereka bahkan terpaut jauh. Reenan tidak ingin dianggap sedang mempermainkan remaja SMA. Namun, perasaan sayang itu terus saja tumbuh dan mengikatnya. Untuk pertama kalinya, Reenan ingin menjadi lebih karena seseorang.

Sayang, perasaan itu ternyata tidak bisa merekatkan mereka. Hubungan Reenan dan Agista ternyata harus berakhir setelah sepuluh tahun bersama.

***

Love, Rara
Pinrang, 10 Juli 2023

Cinta Kali Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang