Bincang Malam

16 1 0
                                    

"Sudah sebulan ini Agista enggak datang ke rumah."

Reenan sontak terkejut oleh pemberitahuan ibunya. Kemudian, sengatan rasa bersalah merambati perasaan hingga tak sadar mencengkeram ponsel pinjaman dari rekannya. Seminggu lalu, ponselnya terjatuh di laut. Tentu saja dia tak bisa menghubungi Agista. Untuk mendapatkan gantinya, dia harus menunggu kapal bersandar dulu di tujuan. Mungkin sekitar tiga hari lagi.

"Adiknya, Binar, baru saja menikah." Reenan memberitahu sekaligus menahan ringisan karena untuk sekian kalinya tak muncul pada acara bahagia keluarga sang pacar.

"Reenan!" suara melengking ibunya di seberang membuat Reenan terkejut. Benda ini nyaris terlempar ke laut. Kalau sampai terjadi, dia akan menjadi bahan olok-olok karena begitu ceroboh. Di saat bersamaan, mungkin tidak akan ada yang mau lagi meminjamkan ponsel padanya. "Mestinya kamu ngasih tahu Ibu. Ibu sudah khawatir kenapa Agista enggak munvul-muncul."

Malam pekat dan dingin ini cukup melepas kepenatan Reenan sepanjang waktu berada di dapur. Tatapannya jatuh pada riak-riak kecil sembari mengendusi kardigan pemberian Agista setahun lalu. Pakaian berwarna biru ini salah satu favoritnya belakangan ini. Cara untuk mengurasi kerinduannya pada perempuan itu.

"Aku mana sempat menelepon. Lagi pula, ponselku hilang."

Di seberang, Ibu mendecak. Tebakan Reenan, beliau pasti jengkel. "Kamu pasti belum menghubunginya, ya?"

Tebakan yang tepat. Reenan menggosok hidung. Udara mulai dingin menggerogoti, tetapi dia belum ingin beranjak. Dia selalu antusias menyambut kesibukan di dapur. Sama antusiasnya untuk melihat laut meski sebentar. "Aku memikirkan banyak orang beberapa hari ini, tapi aku, kan, harus memprioritaskan ibuku."

"Ibu enggak masalah sekali-kali mengalah demi calon mantu." Ibu kemudian melanjutkan usai tertawa. "Kalau benar kamu selalu memprioritaskan orang tuamu, cepat-cepatlah lamar Agista, Reenan. Katanya saling cinta, kok enggak nikah-nikah?"

Haduh, Ibu senang sekali mengungkit-ungkit masalah itu. Reenan menahan diri untuk mengembuskan napas. Gantinya, dia menoleh dan mendapati beberapa penumpang bersandar di pembatas kapal. Sebagian memotret, sebagiannya merokok, sebagiannya tidak melakukan apa-apa selain memancangkan pandangan ke hamparan laut lepas.

"Agista bisa saja direbut orang, Re."

Satu senyum lepas dari bibirnya. Reenan menunduk dan menendang-nendang kecil karena geli. Agista mungkin bukanlah perempuan sempurna, tetapi kesetiaannya tak bisa diragukan. "Agista bakal setia menungguku. Ibu tenang saja."

"Dasar anak muda enggak peka kamu, Reenan." Suara Ibu mulai meninggi. Ayah pasti sudah tidak ada lagi di sisi wanita yang melahirkannya tersebut hingga leluasa berseru sesuka hatinya. "Bagaimana pun, perempuan butuh kepastian."

"Aku enggak pernah main-main dengan Agista. Masa Ibu enggak tahu sebesar apa perasaanku padanya?" dia tidak mengambil beberapa tahun lalu jika tidak memikirkan hubungan jangka panjangnya dengan Agista. Dia membalik badan. Pandangannya bertemu dengan salah satu teknisi mesin yang menuju bagian samping kapal demi merokok. Reenan mengangguk saja dengan senyum kecil saat membalas sapaan lelaki hitam dari Afrika tersebut. "Aku berencana menikahinya."

"Kapan? Kalau Ibu bapakmu sudah meninggal?"

"Bu, omongannya jangan keterlaluan begitu." Orang tua selalu saja memberikan penekanan pada anak-anaknya agar melakukan sesuatu sebelum mereka meninggal. Padahal, Reenan ingin berbakti sepenuhnya dengan menyenangkan mereka. Menikahi Agista tidak akan cukup jika kondisi finansial mereka masih belum membaik.

Pekerjaan Reenan sebagai koki di kapal pesiar memang keputusan yang tepat. Hanya dalam rentang tiga tahun, dia bisa membantu kedua orang tuanya. Mereka tidak perlu bekerja sekeras dulu. Adik-adiknya bisa bersekolah tanpa pusing memikirkan biaya ini-itu. Namun, Reenan masih ingin lebih. Apa yang didapatkannya sekarang barulah sebuah awal. Dia hendak menuju ke puncak. Untuk mencapainya, dia perlu melewati banyak hal lagi.

"Kami bisa melihat begitu jelas betapa Agista menyayangimu. Tidak banyak perempuan cantik yang mau bersama dengan lelaki sederhana enggak ganteng sepertimu."

Tentu saja pernyaaan itu keliru. Reenan bisa menyombongkan diri jika wajah inilah yang mengantarkan Agista padanya. "Jangan merendah begitu, dong, Bu. Anakmu ganteng begini, kok."

"Halah. Perempuan enggak butuh wajah ganteng, Nak. Mereka mencari lelaki sejati bertanggung jawab yang siap untuk berkomitmen. Bapakmu itu contohnya. Beliau enggak menggantung Ibu sampai bertahun-tahun lamanya."

"Masih banyak yang pengin kami lakukan sekarang ini, Bu. Agista ingin belajar lebih keras agar kemampuannya tidak hanya berhenti sampai di sini." Reenan teringat pada kejengkelan Agista suatu waktu. Banyak yang berasumsi beberapa perusahaan menggunakan jasanya karena campur tangan sang ayah. Mungkin benar. Akan tetapi, Reenan mengatahui kemampuan Agista yang sebenarnya. Dia kembali pada laut tenang di belakang dan berkata, "Menikah berarti Agista harus memprioritaskan hal lain. Aku enggak mau menghambatnya."

"Ya ampun, Ibu masih saja bingung kenapa anak muda sekarang lebih berambisi."

Pembicaraan mereka senantiasa mengenai pernikahan. Kadang itu sangat membosankan bagi Reenan. Meski begitu, dia tetap menjalin komunikasi dengan keluarga. Di antara lainnya, Ibu memang paling cerewet. Jatah komunikasi mereka seringkali didominasi beliau. Makanya, Bapak dan adik-adiknya selalu menjadi yang pertama mengabarkan keadaan mereka jika menelepon, seperti tadi. Kemudian, Ibu menyusul dengan membawa topik yang nyaris sama.

"Aku mewarisinya dari kalian berdua."

"Reenan, Ibu serius, lamarlah Agista secepatnya."

Reenan menjauh dari pembatas dan mulai bergerak ke arah lain. Jika tidak memiliki tujuan pasti, dia akan mengintip keadaan di kokpit. Salah satu ruangan favoritnya di kapal ini. "Ibu akan memaksaku mengatakan iya, kan? Kita semua tahu jawabannya. Aku hanya menyukai seorang perempuan. Agista. Enggak ada yang lain."

"Ibu setua ini tapi belum juga punya menantu."

"Lho, ada Agista, kan?" Reenan mengumbar tawa dan menyugar rambut. Saat itulah dia sadar rambut bergelombangnya mulai memanjang. Dia akan diomeli lagi jika bersama Agista detik ini. Masih ada waktu beberapa hari. Dia akan membeli ponsel dan memotong rambut kemudian menghubungi pujaan hatinya. "Doakan saja. Kami akan menikah jika waktunya sudah tepat. Omong-omong, Ibu udah enggak ada yang pengin diobrolkan lagi, kan?"

"Bilang saja kamu ingin menghindar karena terus Ibu recoki tentang pernikahan. Ibu akan selalu berdoa agar kamu sadar udah enggak muda lagi. Enggak usahlah kayak anak kota itu yang berpikiran mengejar karier dulu. Nikah juga ibadah, Re."

Reenan tidak ingin membalas pernyataan itu. Percakapan mereka akan semakin runcing pada satu topik yang, jujur saya, bukan kesukaannya. Agista memang beberapa kali pernah mengungkit hal yang sama. Namun, perempuan itu bisa diyakinkan. Dia mengakui, masih sulit menaklukkan kekerasan kepala sang ibunda.

"Makanya tadi aku minta doa Ibu, kan? Oh, ya, aku berencana pengin beli ponsel. Ibu enggak pengin juga?"

"Enggak. Ponsel Ibu masih bagus. Mending duitnya kamu tabung buat nikah."

"Perintah dilaksanakan!" Reenan menyeru senang. Lantas, setelah berbasa-basi, sambungan itu terputus.

Karena Reenan tak harus mengembalikan barang pinjaman ini sesegera mungkin, dia meneruskan langkah menuju kokpit. Dia masih punya waktu sejam untuk bersenang-senang sebelum kembali ke kamar.

"Reenan!"

Suara khas itu. Reenan menghentikan langkah dan berbalik demi suara yang belakangan kerap menyapanya. Ketika berbalik, senyumnya mengembang. Seeorang dengan rambut pirang lembut mendekati.

Reenan bergerak pelan seraya membuka mulut. Namun, dia belum mengucapkan apa pun ketika perempuan beraroma cedar dan musk itu mendekat kemudian menempelkan bibir padanya.

***

Love, Rara
Pinrang, 03 Juli 2023

Cinta Kali Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang