Setengah jam lewat dari janji mereka bertemu. Ralat. Reenan yang membuat janji. Akan tetapi, Agista belum juga menampakkan diri. Dia bahkan sudah menghabiskan sewadah nizakana.
Mungkinkah ini keputusah gegabah? Usai kapal bersandar di pelabuhan, saat itu pula Reenan secepatnya ke bandara. Dia hanya memiliki waktu dua hari untuk... memastikan Agista sudah mengakhiri hubungan atau masih ada sedikit harapan mengenai mereka.
"Kau langsung menemuinya saja." Ungkap Brad setelah mereka seharusnya kembali ke ruang peristirahatan. "Jangan menatap begitu terhadapku." Brad mengipasi diri dengan tangan gemuknya. "Pekerjaanmu menjadi kacau." Telunjuk lelaki itu kemudian mengarah pada Reenan yang tidak lagi memiliki gairah melakukan apa pun. "Dan kau menjadi pemarah belakangan ini."
"Pacarku berselingkuh!" Reenan menyeru kemudian berdengkus ketika Brad memutar kedua bola mata. "Aku dan Katarina berbeda." dia mengucapkannya dengan tegas. Sedetik kemudian, dia mengumpat. "Sial!"
"Ya, sial sekali. Kau sedang bekerja keras di sini sementara seseorang yang kau cintai justru bersama dengan orang lain. Kau mengacaukan semuanya hingga aku yang harus mengurus pekerjaanmu. Aku sedang tak ingin menceramahi, tapi kau semestinya tetap bekerja dengan baik apa pun yang terjadi di luar sana."
Memang benar semua yang Brad katakan. Dia tidak hanya salah dalam membuat menu. Dia nyaris membuat kebakaran di dapur. Masih untung kepala koki tidak melaporkan apa yang telah terjadi. Reenan hanya mendapatkan satu peringatan. Akan tetapi, itu sungguh memgejutkan karena dia tak sekali pun melakukan kesalahan.
"Besok, kita akan sampai di tujuan. Kau punya waktu untuk memperbaikinya." Brad mengedik. "Berapa lama jarak dari Jepang ke kampung halamanmu?"
Entahlah. Reenan tidak pernah menghitung atau sekadar memperkirakan. Mungkin hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam lebih. Dia akan mendarat di Jakarta lalu meneruskan perjalanan ke Bandung. Tidak. Tidak. Dia tidak akan melakukan gagasan dari temannya yang sekarang ini sudah berbalik menjauh.
Bukan Reenan yang semestinya berusaha keras demi hubungan ini. Reenan kembali ke kamar. Sebelum tidur, dia memantapkan hati agar keesokan paginya, rasa sakit itu sudah melebur. Dia harus merelakan Agista. Setidaknya, Alan lelaki yang baik. Dia tidak bisa memercayakan lelaki lain selain penulis naskah film tersebut. Namun, bayangan Agista dan Alan terus bersama menggerogoti pikiran Reenan.
Sebaiknya, Reenan harus belajar untuk menerima keadaan ini. Cepat atau lambat, dia dan Agista harus berpisah jika memang tak berjodoh.
Akan tetapi, keesokan harinya, Reenan berubah pikiran. Dia langsung memesan tiket pesawat untuk pulang ke Bandung. Jika harapan itu masih ada meski kecil, dia akan mencoba untuk memperbaikinya.
Dalam perjalanan ke Bandung, Reenan mencoba mengirimkan pesan dengan nomor baru. Semua pesan mengenai perkiraan tiba hingga pertemuan sudah dibaca perempuan itu. Tidak ada respons sedikit pun.
Seraya meluruskan otot-otot dan mengisi perut, Reenan masih bersabar untuk menunggu kedatangan Agista. Nyaris sejam, tetapi dia masih berada di ruangan privasi lengkap dengan makanan yang nyaris habis.
Reenan melirik pada arloji. Ini kesempatan bagi mereka. Dia akan menyerah andai perempuan yang selalu membayang di kepalanya itu tidak muncul. Apakah Reenan rela jika hubungan mereka harus berakhir? Dia memejam dan seluruh kenangan bersama Agista hadir. Semua itu mungkin akan memudar di kepalanya. Dia akan mengabdikan saja dirinya di kapal pesiar. Lagi pula, dia tidak akan terus didesak oleh topik pernikahan.
Pintu geser bergerak usai Reenan menenggak ocha. Dia tersentak pada sosok di depannya. Agista mengenakan gaun putih sebetis. Sebagian rambut tebalnya terurai ke depan dada. Meski tidak ada senyum seperti sebelum-sebelumnya, dia masih selalu cantik. Jauh lebih cantik saat terakhir kali mereka bertemu.
Seolah ada yang menggerakkannya, Reenan berdiri dan mendekati Agista. Dia merentangkan tangan demi merengkuh perempuan yang seketika mundur. "Aku..." Reenan meneguk ludah. Dia kangen. Segala kemarahannya di ubun-ubun melindap begitu saja usai melihat wajah Agista.
"Aku tuh enggak ada waktu buat ketemuan lagi, Re."
"Kita duduk dulu aja." Reenan menggerakkan tangan pada makanan yang ada. Lalu, dia meringis sewaktu sadar, beberapa wadah nyaris kosong.
"Enggak usah pesan. Aku masih kenyang."
"Tapi, ini semua makanan kesukaanmu." Reenan menunjuk Onigiri yang masih lengkap. Pun sewadah yakitori.
Agista memelotot. Kemarahan begitu tampak di mata hitam itu. Agista, bukan hanya kamu yang marah di sini. Hanya saja, Reenan memang selalu luluh seperti dulu. Jadi, untuk sementara, dia cukup mengangguk.
"Aku menunggu selama sejam."
Perempuan yang terus memancarkan permusuhan itu melipat tangan, "Lalu?"
"Begini, Agista–"
"Ya, Reenan, sebaiknya kita enggak ketemu."
Reenan mengembuskan napas sebelum mengeluarkan segala uneg-unegnya. "Katakan saja, kenapa kamu yang marah sekali padaku? Cuman karena aku terkesan menyepelekan pembicaraan kita terakhir kali itu?"
"Sebagian temanku bilang, kamu bisa saja selingkuh. Tapi, aku percaya kamu enggak mungkin seperti dugaan mereka. Ternyata, aku yang kelewat naif."
Pernyataan itu begitu lucu bagi Reenan. Dia tersenyum pahit. "Lantas, kamu dan Alan?"
"Udah berapa lama kamu selingkuh dariku?" Agista tidak melepaskan sedikit pun pandangannya pada Reenan.
"Tuhan, aku enggak selingkuh! Jangan percaya dengan apa yang Alan katakan. Itu cuman triknya biar bisa dekat sama kamu, Gis. Aku enggak habis pikir kenapa kamu mesti percaya dengan semua omong kosongnya?"
"Alan teman aku."
"Dia enggak cukup baik buat jadi temanmu." Reenan menggeram jengkel. "Dia berniat mendekatimu sejak dulu, Agista."
"Oh, jadi kamu mengundangku ke sini cuman pengin ngelekin Alan doang?" Agista melepas lipatan tangan dan siap berangkat.
"Aku harus ngapain biar kamu percaya, Agista?" Reenan mendongak. Dia sengaja mengeraskan suara agar menghentikan Agista. Mereka tidak boleh berakhir dengan saling menyimpan kebencian. "Aku enggak selingkuh!"
"You kissed her! Itu bukan selingkuh namanya?"
Berengsek, Alan! Reenan ingin sekali mencekik lelaki itu sekarang. Dia belum mengatakan apa pun sebagai pembelaan ketika Agista kembali bersuara dengan berapi-api.
"Ah, kamu cuman jadiin cewek itu selingan karena kita LDR, ya? Bukan aku, lho, yang pengin pacaran kayak gini, Re. Kamu, kamu yang sejak dulu punya mimpi buat kerja di kapal pesiar. Aku enggak minta banyak. Jangan-jangan, kamu udah gerah kali, ya, ditanyain melulu soal kesiapanmu melamar." Agista mengedipkan mata berulang kali. "Tapi, aku semestinya sadar sejak dulu kalau kamu, kan, pengecut."
"What?" Reenan tak percaya pada pendengarannya. "Ya, aku memang pengecut karena selalu ketar-ketir ketika kamu mulai menyinggung tentang topik sensitif itu. Kupikir kamu akan mengerti kalau aku belum bisa melepaskan pekerjaan ini. Kenapa kamu enggak bisa menungguku, Agista?"
"Re, ternyata aku enggak sesabar itu." Agista mengembuskan napas. Dia terlihat sedih sekarang ini. "Kamu yang sekarang bikin aku sadar udah buang-buang waktu bersama dengan orang yang salah."
"Apa, Gis?"
"Kita udahan, ya?"
Begitu saja tanpa menunggu persetujuan Reenan, Agista bergegas bangkit dan pergi. Di dalam ruangan sepi ini, Reenan merasa begitu terpuruk.
***
Love, Rara
Pinrang, 12 Juli 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Kali Kedua
RomanceAgista minta putus dari Reenan. Pacar baik hati dan gantengnya yang satu dekade menjalin hubungan enggak kunjung datang melamar. Usai mencampakkan koki kapal pesiar itu, Agista pun berburu calon suami. Akan tetapi, pencariannya tidak mulus karena e...