Perempuan Lain

15 0 0
                                    

            Area lantai dua tidak benar-benar sepi. Setidaknya baru atau pun tempat bilyar masih menjadi favorit. Empat orang kru kapal tengah mengelilingi meja biliar. Karuna, kapten kapal yang sebentar lagi mendapatkan promosi tengah mengarahkan bidikan.

Reenan tidak benar-benar bisa bersantai di bar. Ajakan bermain di sisi biliar yang kosong sudah ditolak. Dia juga tidak antusias menanggapi obrolan dari rekan dari bagian teknisi di sebelahnya.

Usai menenggak habis minumnya, Reenan melangkah gontai. Untuk pertama kalinya, dia benci berada di antara kebisingan. Rekan-rekan yang hendak mengajaknya mengobrol tidaklah salah. Hanya, emosinya tidak stabil.

Kembali ke Bandung memang bukanlah langkah tepat. Semuanya sia-sia. Mungkin tidak. Dia dan Agista bertemu demi menuntaskan apa yang harus mereka akhiri. Ternyata, sakit itu malah makin mendera dan berkepanjangan.

"Tidak ada yang bisa kau lakukan. Sakit hati ini hanya sementara." Brad mengatakannya sembari menepuk bahu Reenan saat kembali. "Apa yang kau rasakan hanya sementara."

Walaupun Brad menunjukkan keprihatinan, Reenan tetap saja kesal. Dia menjauhi Brad bahkan ketika berada di dapur. Harunya, dia tidak mengikuti saran tolol itu. Ini akibatnya. Dia kembali patah hati lebih sakit dari sebelumnya.

Tak disangka Reenan sudah tiba pada area dek di lantai tiga. Sunyi sekali di sini. Ini bukanlah tempat yang disukainya. Tidak terdengar hiruk pikuk keramaian. Area yang bahkan tidak terkena sinar matahari pagi.

Patah hati ternyata mengubah beberapa kebiasaan. Dia yang kurang suka pada keheningan justru membutuhkannya saat ini. Reenan bersyukur tidak ada satu pun orang di sini.

Udara hangat dari pantai Jepang menyapa wajah. Dia menumpangkan kedua tangan di pagar pembatas sembari melihat riak-riak laut di bawah. Biasanya, ketika kapal bersandar, dia akan berenang beberapa saat. Hobi satu itu bahkan tidak lagi cukup menyenangkan.

Reenan sedang menikmati kesendirian tatkala mendengar decakan. Dia menoleh dan menemukan sesosok cantik dengan wajah cemberut. Dia sedang menghindar dari siapa pun itu. Namun di sini, dia justru mendapati Katarina.

"Aku tidak mengikutimu." Suara lirih itu terdengar usai keheningan panjang.

"Tempat ini begitu luas." Reenan berusaha agar tidak mengatakannya dengan sinis. Tanpa menoleh, dia kembali melanjutkan. "Selain itu, bukankah kalian berbelanja atau apa pun itu di darat?"

"Apa-apaan kau ini?" Katarina menyeru. "Kau marah karena ciuman singkat itu? Lagi pula, itu bukan ciuman. Kau mendorongku setelah bibir kita menempel."

Ciuman itu tidak berarti apa pun. Reenan juga tidak menikmatinya. Namun, karena tindakan impulsif perempuan di sebelahnya ini, semua masalah kian membesar. Agista menjadikannya motif untuk berpindah ke lain hati.

"Kau seperti takut ketahuan saja." Katarina berbicara lagi. "Oh? Apa aitu yang terjadi sekarang?"

Reenan menoleh. Salah satu alasannya menjauh karena tidak ingin Brad atau lainnya melihat keterpurukannya. Perempuan berkucir tinggi yang belum juga beranjak malah menelanjanginya.

"Kau, tutup mulutmu!"

Katarina menanapkan mata. Wajahnya berubah sebal luar biasa. Dia mengambil langkah panjang untuk mendekati Reenan. "Apa, sih, masalahmu? Kau benar-benar berengsek."

"Dengarkan aku–"

"Kau yang harus mendengarku!" Telunjuk dengan kuku berwarna biru cerah tersebut menusuk dada Reenan. "Hanya karena aku pernah menyukai dan menciummu, bukan berarti kau bisa berbicara kasar padaku. Kau terlalu mengandalkan wajah itu, yang jujur saja, tidak lagi menarik. Kau tahu, Reenan? Aku bisa menemukan pengganti yang tentu saja jauh lebih beradab darimu."

Kalimat panjang itu agak membuat Reenan merasa bersalah. Baru saat ini, dia melihat wajah cantik di depannya berubah sedih. Dia menyugar rambut tebalnya. Kemudian, perlahan-lahan, dia mengembuskan napas. "Aku... aku minta maaf."

"Tapi kau sama sekali tidak menyesal."

Reenan melongo. Dia memang mengucapkan kalimat tadi dengan asal-asalan. "Aku sungguh minta maaf sudah menyakiti perasaanmu." Reenan melirik pada batas cakrawala di ujung sana. "Suasana hatiku sedang buruk, itulah kenapa aku perlu menghindari orang-orang."

Detik selanjutnya, wajah cemberut di depannya perlahan surut. Katarina bergerak mundur. "Aku tidak bisa meninggalkan tempat ini. Belum. Tapi, kau tidak usah khawatir, aku tidak ingin mengganggumu."

Helai-helai rambut Katarina diterbangkan angin. Reenan hanya bergeming sewaktu perempuan yang sudah berjarak itu sibuk merapikan rambut panjang itu. Lalu, dia membuang tatapannya kembali pada laut biru yang tenang.

Entah berapa lama mereka berdua berdiri berdampingan tanpa saling bercakap. Reenan bukanlah tipe pendiam. Pun, sebaliknya. Hanya saja, cukup aneh jika dia mendiamkan seseorang. Terlebih, dia mengenal Katarina semenjak perjalanan berhari-hari menuju Jepang ini.

"Kita bisa menjadi teman." Reenan memulai. Dia tidak yakin pada ucapannya. Namun, tidak ada salahnya mencoba.

"Gagasan yang buruk." Ucapan itu segera terlontar. Katarina berdengkus kuat-kuat. "Kau tak perlu melakukannya karena setelah ini, kita akan berpisah. Benar-benar berpisah. Kau selalu mengajukan saran pertemanan pada perempuan yang patah hati karenamu?"

Reenan bisa mengatakan dengan jelas jika Katarina orang pertama yang mengaku patah hati karenanya. Alih-alih mengucapkan kejujuran, dia justru menyindir perempuan di sebelahnya yang juga sedang balas menatap. "Ah, jadi kau masih patah hati?" perasaan yang juga tengah dirasakannya. "Kau membenciku karena itu."

"Kau tidak seberpengaruh itu, Reenan." Katarina mengucapkannya tanda nada kesal sedikit pun. "Lagi pula, ini hanya sekadar ketertarikan fisik."

"Pada dasarnya, sebagian besar hubungan terjalin karena seseorang tertarik pada penampilan fisik lawan jenisnya. Aku pun begitu pada awalnya." Reenan sadar sudah kelepasan saat berbicara. Untung saja, Katarina tidak langsung memberikan tanggapan. "Lalu bagaimana? Maksudku, situasi yang sedang kau hadapi sekarang."

Katarina mengulas senyum tipis. Dia menyelipkan helai-helai di sisi rambutnya hingga menunjukkan wajah tegasnya yang menarik. Tanpa menoleh, dia bersuara, "Kau sendiri? Suasana hatimu masih belum baik-baik saja?"

Pertanyaan tadi membuat Reenan melepaskan tawa. Tawa lepas tanpa beban. Dia mengernyit ketika sadar akan sesuatu. Belakangan ini, becanda pun dia tak mampu. Dia menunduk dan menandak-nandak kecil kakinya pada pagar pembatas. "Jadi, bukan aku yang membuatmu harus datang menyendiri ke sini."

"Ternyata, aku tidak sendirian." Katarina berbalik. Dia memainkan kedua tangan dan menatap begitu lama kuku indah mengilapnya. "Omong-omong, Reenan, apa aku semenyebalkan itu?"

"Sebenarnya, kau perempuan yang baik." Reenan mengucapkannya tanpa berpikir panjang. Omongannya otomatis membuat Katarina memutar kedua bola mata. "Aku serius. Kamu memang baik."

"Setiap orang memiliki sisi baik dan buruk."

Segera, Reenan berkomentar. "Sisi baikmu lebih baik. Setidaknya, itu yang aku saat mengenalmu."

"Tapi aku terus mengganggumu."

"Sejujurnya, kau sama sekali tidak menggangguku." Reenan mendesah. Diacak-acak rambutnya. Entah seberapa berantakan sekarang. "Kau akan selalu menjadi teman perjalanan yang mengasyikkan. Kau... kau hanya datang di saat yang tidak tepat."

"Benar." Katarina mengembuskan napas. Senyumnya tipis ketika memandang bagian kapal di depannya. "Aku semestinya datang di saat kau belum mengenal kekasihmu."

Tiba-tiba saja pikiran lain mendesak benak Reenan. Andai dia bertemu Katarina terlebih dahulu, apakah dia tidak akan menjalin hubungan dengan Agista? "Aku tidak tahu," Reenan menjawab pendek. "Mungkin, kita bisa menjadi sepasang kekasih."

"Atau cukup menjadi teman saja?"

Reenan mengulurkan tangan lalu Katarina menyambut dengan hangat. 

***

Love, Rara
Pinrang, 15 Juli 2023

Cinta Kali Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang