Keputusan Baru

17 1 1
                                    

"Wah, sibuknya ngalahin presiden ini orang," Agista merutuk ketika memeloti ponsel yang sedari tadi tidak menyambungkannya dengan seseorang. Sebagai gantinya, dia mengetikkan pesan untuk sahabat tersayangnya. Lalu, benda pipih berwarna deep purple itu sekarang dimasukkan ke tas. "Nanti-nanti kalau kamu telepon, bakal aku cuekin. Lihat aja."

Menjelang pukul sepuluh malam, Agista sudah membereskan perkakas make-up. Merias dua model video klip agak melelahkan. Pekerjaan ini sesungguhnya tak pernah melelahkan. Hanya saja, perasaan kacau yang menyelimuti belakangan ini menghambat aktivitas hariannya. Tadi misalnya, usai merias model terakhir, Agista langsung menelepon sosok tercinta yang berada di benua lain. Ketika tidak mendapatkan jawaban, mood-nya begitu saja berubah buruk.

Semoga aja, sih, kamu enggak kecantol cewek lain di sana!

Agista bukanlah sosok posesif yang kerap berprasangka buruk. Namun, dia bisa apa kalau omongan kerabatnya di pesta kemarin membekas di ingatan.

"Gis, kamu enggak takut apa Reenan kecantol cewek lain?"

"Realistis aja, ya. Di luar sana masih banyak cewek yang lebih cantik. Apalagi cewek bule. Waduh, seksi-seksi, kan, mereka."

"Apalagi kalian masih pacaran. Ipar aku aja ya seminggu lalu udah resmi cerai karena ketahuan selingkuh sama turis di sana."

Percakapan sejenis yang berulang-ulang itu sudah membuat isi kepalanya mampat. Dulu, Agista masih sanggup mendengarkan dan ikut membela kekasihnya. Sekarang dia sudah kehabisan stok kesabaran.

Agista bangkit usai barangnya dimasukkan ke mobil. Beberapa staf kenalannya kerap mengulurkan bantuan karena sampai sekarang Agista belum berani memperkerjakan asisten. Di mobil, ketika akan menyalakan mesin. Ponselnya mendering. Nada khusus itu bukanlah dari Reenan. Setidaknya, Alan akan datang menemani di apartemen ketimbang sendirian terus menengok ponsel.

Ruangan apartemen beraroma masakan. Agista segera berderap menuju ruang tengah. Alan sudah duduk bersila di sofa. Satu tangan memegang mangkuk keramik biru, satunya memegang sumpit berisikan dimsum.

"Tungguin, kek."

Alan tidak menggubris. Dia hanya memindahkan jaket kulit di sebelahnya saat Agista mengambil tempat di sana.

"Aku enggak sempat mikirin makan apa setelah minggat dari studio."

Cowok yang hari ini membiarkan rambut bergelombangnya terurai, masih bergeming. Dia melirik sejenak lantas memasukkan onion ring.

Meski terlihat cuek begini, Alan senantiasa mendengarkan. Sekalian saja Agista menumpahkan seluruh uneg-unegnya hari ini. "Reenan masih belum aktif."

"Oh." Alan menjawab singkat. Tangannya bergerak demi mengambil gelas berukuran sedang di meja. Dia meneguknya cepat. Tak lama, dia berkomentar santai, "Kamu harus tabah kalau dia dimakan paus."

"Kayaknya aku memang ngarepin itu aja, deh." Agista mencocol nugget ayam pada sambal pedas di wadah kecil. "Wah, kok enak?" Agista takjub. Tidak biasanya Alan membawa makanan enak. Temannya sejak remaja ini tipe jajan di mana saja. Enak atau biasa saja tak jadi soal asalkan perutnya kenyang. "Dibeliin siapa?"

"Cewek."

Serta-merta, Agista terbatuk. Pelaku yang membuatnya seperti ini sama sekali tidak menawarkan bantuan dengan mengambilkan air. Agista lekas meraih gelas berisi minuman dingin yang Alan siapkan sebelumnya. "Kamu... kamu udah punya pacar, Alan?" selama ini Agista sungguh-sungguh mengandalkan Alan. Punya pacar berarti Agista sudah tidak bisa memanfaatkan kebaikan hati cowok ini. "Lan, kenalin aku sama cewek ini. Gimana pun, aku perlu..."

Cinta Kali Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang