Pengganti Mantan

19 0 0
                                    

"Jangan blokir Reenan!" Agista segera bangkit sekaligus melempar tisu bekas ingus pada Alan. Akan tetapi, cowok gondrong jelek itu tidak mengindahkan ucapan Agista sedikit pun.

Agista yang tadinya tidak memiliki daya karena meratapi hubungannya, detik itu juga bergegas merebut ponselnya pada Alan yang begitu sigap menghindar. Dia hanya mendapatkan tepian jaket kulit sahabatnya. "Alan, kemarikan ponselku!"

"Kalian udah putus, kenapa masih memberinya kesempatan untuk menelepon?" Alan masih berdiri di tempat karena cengkeram Agista. Namun, dia enggan mendekatkan ponsel perempuan itu. Tidak akan pernah.

Sejak kemarin, Agista memang mematikan ponsel. Dia tidak ingin mengubah keputusannya jika sewaktu-waktu Reenan menelepon balik dan mengemis minta balikan. Ancamannya harus membuahkan hasil. Untuk itulah dia jual mahal.

"Aku enggak benar-benar mutusin dia, Lan. Give it to me. Now!" Agista mendesis. Cengkeraman di jaket Alan tak juga mengendur.

"Oh, aktingmu bagus sekali. Sampai menangis hingga mata bengkak segala."

Karena Reenan masih menganggap aku enggak cukup penting! Agista hendak meneriakkan kalimat itu sekuat mungkin. Namun, Alan pasti akan mengoloknya. Pasti. Agista berusaha mengerti keinginan cowok yang kini entah memikirkannya atau tidak. Harapannya satu. Reenan mempertimbangkan untuk melamar. Sayang sekali, rencana itu mungkin belum ada dalam sekian prioritasnya.

"Move on, Gis." Alan begitu mudah mundur dalam jangkauan Agista dan memasukkan benda pipih itu ke saku jin. Lantas duduk di sofa seraya bersidekap. Telunjuknya mengarah pada teman yang beberapa hari ini terus mengeluhkan sikap pacar berengseknya. "Hubungan kalian udah enggak sehat. Kamu pengin segera dilamar sementara orang yang kamu harapkan masih mentingin karier. Yang ada, kamu bakal maksain kehendak sendiri."

"Bantu aku ngomong kayak gitu ke Papi." Agista mengambil posisi di seberang cowok yang tengah mengulas senyum dingin tersebut. Pengambilan ponsel secara sepihak tadi masih membuatnya sebal. Dia butuh jarak agar tidak bertindak brutal. "Kamu gampang ngomongnya karena enggak ada yang merecokimu. Lagian, Reenan tuh kadang-kadang butuh dipancing."

"Udahlah tolol, bucin pula." Alan berdecak. Tidak ada sedikit pun senyum di wajahnya kini. "Reenan memang akan terus meneleponmu demi merengek agar balikan. Ingat aja, jangan harap dia akan mengabulkan permintaanmu, Agista. Ayolah, kita berdua tahu apa yang paling cowokmu itu inginkan sekarang dan berpuluh tahun ke depannya."

Memang menyakitkan fakta yang Alan ungkapkan itu. Inilah alasannya menangis sejak kemarin. Agista ragu Reenan akan berubah pikiran. Sebaliknya, cowok itu akan membujuknya. Terus melakukannya hingga Agista luluh.

"Aku percaya kalian sama bucinnya. Tapi buat apa bucin kalau hubungan itu enggak berkembang seperti yang kamu inginkan."

Wajah Agista kembali basah karena air mata. Dia mengambil tisu dan membersit hidung. "Rasanya aku enggak akan bisa melepaskan Reenan."

"Bisa." Alan berujar pelan, tetapi mantap. Dia mendekati sahabatnya. Jemari besarnya menetap di puncak kepala Agista. "Kalian, kan, enggak ketemuan tiap hari."

"Tapi aku cinta sama dia selama sepuluh tahun ini."

"Adikmu masih mencintai orang lain saat menikah dengan orang lain."

Agista ingin membantahnya. Namun, dia kehilangan kalimat balasan. Bagaimana jika bersama dengan orang lain tetap tidak membuatnya bahagia. Binar mungkin merasakan kepahitan itu sekarang. Ketika dia hendak berucap, bunyi ketukan heels membuatnya urung.

Di sana, orang yang dipikirkannya sedang berdiri sembari menaikkan alis tipis hitamnya. "Wah, ada apa ini?"

Alan yang menyapa Binar lebih dulu. "Seseorang cantik banget hari ini. Omong-omong, aku baik-baik saja. Kakakmu yang sedang patah hati sekarang."

Binar mengangguk ringan. Rambut cokelat pendeknya bergerak kecil ketika dia melangkah panjang mendekati Agista. "Melihat kalian enggak terpisahkan begini, aku selalu mikir, kenapa, sih, kalian enggak pacaran aja?"

"Coba bilang ke aku kalau kamu sebenarnya enggak bahagia-bahagia amat." Agista membiarkan sebutir lagi air matanya menangis. Namun, dia menghindar ketika Binar ingin menyekanya. "Suamimu sekarang, kamu enggak cinta sama dia."

Dua tangan Binar terentang. Senyumnya begitu lebar hingga menampakkan lesung di sudut kanan bibir. "Aku bahagia banget, kok. Desta memang kalah ganteng dari mantan aku sebelumnya. Tapi, dia berjuta kali jauh lebih baik. Aku bersyukur banget bisa jadi istrinya. Nah, aku pengin tahu, nih, siapa yang bikin kamu nangis?"

"Dia minta putus," Alan yang ternyata menjawab. "Ancaman belaka, tapi aku memaksanya untuk beneran move on."

"Reenan cowok yang baik." Binar mengerling pada Alan lalu mengekeh. "Aku bisa menerimanya sebagai kakak ipar karena Alan enggak pernah nembak kamu."

"Biar kupastikan satu hal, aku enggak pernah suka sama cewek seperti Agista. Enggak bisa masak. Barbar. Egois. Keras kepala. Tak peduli secantik apa pun dirinya."

Agista menanggapinya. "Seenggaknya, aku masih jauh lebih cantik dari semua cewek yang dekat denganmu."

"Tapi hanya ada dua cewek yang pernah pacaran sama Alan," Binar menyahut. "Dua cewek luar biasa yang enggak berjodoh dengan cowok sebaik kamu."

"Binar," Agista mengerang. Dia tidak habis pikir kenapa Binar terus saja memuji Alan yang sama sekali menyebalkan. "Kenapa ke sini?"

Adiknya yang hari ini tampak cantik dengan blazer baby blue yang dipadukan dengan rok pensil hitam menjawab, "Papi meneleponku kemarin. Kamu enggak pernah muncul di rumah semenjak acara selesai. Selain itu, aku juga kangen. Satu-satunya keluarga yang belum menjenguk atau sekadar menelepon memang kamu, kan?"

"Sekarang tinggal aku anak Papi yang belum menikah. Beliau berharap aku pun menyusulmu tahun ini."

Air wajah Binar berubah. Senyumnya pun berubah kecut. Dalam sekian sejak, tak ada yang bersuara di ruangan ini. Lalu, Binar membelalak. "Setelahnya kamu ngasih tahu Reenan tentang keinginan Papi." Binar mendesah ketika memandang Agista yang tidak memberikan jawaban. "Tapi jawaban Reenan enggak bikin kita senang. Iya, kan?"

"Dia mengambil keputusan tepat dengan mencampakkan koki enggak tahu diuntung itu."

"Alan, kakakku hanya mengenal cowok sebaik Reenan dan jatuh cinta padanya. Justru aneh kalau dia enggak patah hati."

"Gis, katakan pada adikmu, kamu cuman memberikan gertakan, enggak serius mencampakkan Reenan." Alan merogoh saku dan mengeluarkan ponsel milik sahabatnya. Saat menoleh pada Binar, dia berujar. "Aku memblokir nomor Reenan dan dia marah besar. Sekarang, giliranmu untuk membujuk Agista agar menendang lelaki itu keluar dari hidupnya."

Hingga kepergian Alan dari ruangan ini sejak beberapa detik lalu, Agista belum juga berkomentar. Pandangannya terpaku pada ponsel yang tergeletak di meja. Dia bisa saja meraih dan membuka blokiran tadi. Namun, dia masih mematung.

"Semua terserah padamu, kok. Gimana pun Papi enggak pernah memaksakan keinginanya pada kita."

Agista menyemburkan napas. Dia mengalihkan mata ke arah lain. "Kamu beneran bahagia sekarang, Bin?"

"Gis, aku bahagiaaa banget. Aku sempat takut gimana seandainya aku enggak bisa mencintai Desta. Ternyata aku salah besar. Aku enggak perlu waktu lama untuk jatuh cinta dengannya."

"Jadi, aku enggak perlu waktu yang banyak untuk melupakan Reenan setelah bertemu dengan penggantinya?" Agista memandang Binar yang belum memberikan balasan. "Kalau gitu, bantu aku buat nemuin cowok yang jauh lebih baik dan bersedia menjadi suami yang baik buatku."

***

Love, Rara
Pinrang, 05 Juli 2023

Cinta Kali Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang