Teka-Teki Alan

9 0 0
                                    

"Kenapa, sih, pada heran kayak gitu?" Agista berpaling pada dua orang yang menemaninya di apartemen malam ini. Binar duduk di depannya. Lalu, Alan mengambil posisi di dekat jendela. Cowok yang rambutnya dikucir asal-asalan itu sedang memangku beberapa buku.

"Aku sama sekali enggak heran, kok." Binar menyuapkan sesendok es krim rasa cokelat ke mulut. "Enggak ada gunanya mengingat masa lalu. Kita hidup buat menyongsong masa depan. Lan, kenapa kita enggak beli varian lainnya tadi, ya? Ini beneran seger, lho. Enggak ada yang pengin cobain gitu?"

Alan terkesan cuek. Cowok itu tampaknya begitu serius pada bacaan di pangkuannya. Sesampainya di sini, Alan langsung menyuarakan betapa mumet hari-hari ini karena isi kepalanya sedang kosong. Tidak ide. Tidak ada sumber imajinasi. Dia sudah mengaktifkan semua inderanya untuk menangkap apa pun itu agar bisa kembali produktif.

"Kalian mendukung seratus persen keputusanku buat enggak pengin balikan sama mantan." Saat mengucapkannya, Agista mendadak dongkol luar biasa. Si mantan yang sama sekali tidak menunjukkan minat besar untuk mengajak balikan. Sudahlah, memang dia tidak harus berharap banyak. "Jangan kira aku buta dengan tatapan aneh itu saat tahu aku lagi dekat sama Thomas."

"Ya, jelas aneh." Binar sekarang mengubah posisi. Kakinya sudah dinaikkan di sofa. Sedetik kemudian, dia melipatnya. Seraya memegang erat kotak es krim, dia berujar, "Di artis." Binar berdecak ketika Agista membalas dengan menaikkan alis. "Seingatku, kamu enggak bakal pacaran sama aktor. Aktor seringnya terlibat cinlok dengan lawan mainnya. Anggaplah Thomas berbeda. Tapi, Agis, dia harus profesional. Kamu pasti enggak akan rela melihatnya beradegan mesra dengan lawan mainnya."

Serta-merta, Agista memonyongkan bibir. Dia pencemburu buta. Salah satu sifat yang sulit dihilangkannya. Jangan kira dia tak pernah memikirkan hal ini sewaktu mulai dekat dengan Thomas. Meski dia berusaha mengabaikannya, tetap saja perasaan egois itu kerap menghantui. "Kebetulan aku enggak terlalu sering nonton. Lagi pula, aku enggak terlalu suka cerita menye-menye berlebihan."

"Tapi Thomas udah sering mendapatkan tawaran. Ingat film horor tahun lalu yang kuceritakan itu? Kamu udah nonton dan suka banget. Nah, kudengar dia ikut bergabung dalam lanjutan film horor itu. Film horor yang dibumbui romansa. Kamu udah tanyain dia bakal berperan jadi siapa? Mungkin aja salah satu teman si pemeran utama yang punya pacar dan adegannya mesra abis–"

"Stop!" Agista menyeru sembari menaikkan telapak tangan. "Harusnya kamu mendukungku, Binar."

"Justru karena aku mendukungmu," Binar meletakkan kotak es krim dengan desah panjang. Isi wadah berwarna pink itu sudah tandas. Dia sungguh menyesal tidak membeli banyak stoknya. "Aku enggak kepengin hubungan kalian yang belum berlanjut lebih serius menjadi bencana karena ada jurang kasat mata."

Agista tidak langsung menjawab. Dia membenarkan apa yang adiknya katakan. Semenejak menikah, Binar terlihat jauh lebih dewasa. Padahal, Agista yang menjalin hubungan jauh lebih lama. Masih sangat jelas, Binar curhat habis-habisan dengan cowok yang hendak melamar padahal hubungan mereka masih seumur jagung. "Kok kamu kayak jago banget, sih, Bin?"

"Aku belajar dari kalian, dong." Binar mengucapkannya dengan raut wajah pongah. "Kamu, Papi Mami, sama Anin. Oh, Alan juga."

"Alan jomlo."

"Dia sebenarnya suhu, Gis." Binar kemudian terkikik. "Sayang aja, satu cewek bikin dia trauma kepanjangan."

"Tuliku masih berfungsi dengan baik." Alan kemudian menyahut. Dia akhirnya memindahkan tumpukan buku di pangkuan ke nakas. Setelahnya, dia mendekati Binar dan duduk. "Aku penasaran aja. Kenapa Thomas?"

"Mungkin, aku cocok, deh, sama Thomas." Agista menunggu reaksi apa pun dari kedua orang di depannya. "Dia baik. Mungkin aku terlalu cepat mengatakan hal itu, tapi seenggaknya, aku enggak menemukan hal jelek selama bareng sama dia."

"Kamu kayak abege aja," Alan mengatakannya dengan dahi berlipat. Dia menyikut Binar. "Cowok yang lagi pedekate mana ada menampilkan sisi terburuknya."

Agista memutar kedua bola mata. "Iya, aku tahu itu. Cuman karena aku hanya pacaran sama satu orang aja, bukan berarti pengalamanku nol besar, ya." Dia lantas melirik penanda waktu di dinding. "Guys, kayaknya aku butuh suasana baru, deh." Mungkin, dia harus mengubah warna tembok. Juga harus mengubah posisi beberapa furnitur.

"Jangan dulu." Alan menambahi sembari menumpangkan satu kaki ke kakinya yang lain. "Tunggu sampai hubunganmu dengan Thomas berhasil."

"Ngeledekin aja terus." Agista mendumal karena jengkel. Alih-alih menyerang Alan dengan cubitan di pinggang atau toyoran, dia langsung menuju ke dapur. Dia memang belum menyediakan apa-apa untuk tamunya yang sudah nyaris tiga puluh menit menemani kesendiriannya.

Sudah dua malam, udangan dari Thomas terpaksa dibatalkan. Cowok itu menelepon dan dengan nada memelas memohon maaf. Ada perubahan jadwal yang tiba-tiba. Agista berusaha memaklumi.

Kalau saja mereka sudah bersama, Agista akan mencak-mencak dan merajuk. Namun, trik itu belum ampuh untuk digunakan waktu ini. Dia mengecek lemari pendingin dan bersyukur masih menemukan kue basah. Ada nagasari dan dadar gulung cokelat isi durian.

Siang tadi, dia begitu ingin mencicipi jajanan lokal. Pukis dengan lelehan cokelat dan onde-onde sudah ditandakannya saat makanan itu datang. Sisanya, dia menyimpannya di lemari pendingin jika sewaktu-waktu rencana ke tempat Thomas gagal. Memang rencana tersebut gagal. Untunglah, Binar dan Alan datang berkunjung. Meski, keduanya tampak tidak begitu yakin dengan si calon pacar.

"Aku hanya punya ini buat kalian." Nagasari dan dadar cokelat itu telah dihidangkan ke meja. Binar yang begitu antusias lantas mengambil nagasari berbalut plastic tersebut. "Aku perhatiin, nafsu makanmu meningkat."

Binar menunjukkan wajah sedih ketika memasukkan nagasari ke mulut. "Tapi aku belum hamil."

Agista melipat kaki saat berada di sofa. "Aku enggak pengin nanyain itu, sih."

"Baru nikah sebulan, orang-orang udah pada nanya, kamu udah isi?" Binar mengucapkannya di sela-sela menikmati nagasari tersebut. "Aku masih pengin menikmati masa-masa pengantin baru, lho. Kalau gini, aku bisa stres."

"Pantesan kamu ke sini." Agista mengambil nagasari sementara Alan memandangi dadar cokelat yang ada dalam pegangannya begitu lama. "Itu aman buat dimakan, kok, Lan."

"Soalnya, aku enggak bisa lagi gangguin Anin. Dia, kan, udah sibuk banget. Omong-omong, aku masih kepengin bahas soal Thomas."

"Enggak perlu." Agista menggelengkan kepala kuat-kuat. "Malam ini kita bahas topik lain aja. Iya, kan, Lan?"

"Tapi, Agista, aku cuman pengin bilang ini ke kamu, kamu jangan terlalu memercayakan pilihanmu pada Thomas."

Binar yang hendak menghabiskan sisa kuenya, kini memelotot pada Alan. "Karena dia playboy?"

"Bukan." Alan menjawab singkat. Jawaban yang tegas dan penuh keyakinan itu agak melegakan bagi Agista. Namun, dia tetap menunggu dengan berpura-pura sibuk pada makanan berbahan tepung beras dan pisang ini. "Aku cuman agak ragu aja sama dia."

"Dia baik banget." Agista lalu menambahkan karena Binar dan Alan bersamaan memandang ke arahnya. "Itu yang fans-nya bilang."

"Agista, jangan begitu naif." Alan menghabiskan dadar cokelat itu dan masih mengambil kue yang sama untuk kedua kalinya. "Aku enggak kenal dengan Thomas. Tapi, dia bukan laki-laki seperti yang sering dieluk-elukan sama fans-nya."

***

Love, Rara
Pinrang, 19 Juli 2023

Cinta Kali Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang