Pemakaman

23.8K 1.7K 84
                                    

Suasana pemakaman Amaris cukup ramai pagi itu. Selain karena banyaknya para tamu yang datang, kehadiran para awak media yang berkerubun di lobi gedung juga membuat keadaan semakin padat.

Dalam pakaian serba hitam seperti pelayat yang lain, Ratu dan Arfa terlihat berjalan memasuki gedung rumah duka. Segerombol bodyguard yang berjaga di sana membantu mereka melewati banyaknya wartawan yang berkerubun.

Begitu masuk perbedaan amosfer terasa sangat kentara. Meskipun masih banyak orang namun tempat itu terasa lebih tenang. Orang-orang di sana terlihat lebih teratur dan tak seberisik manusia-manusia bar-bar di luar.

Ratu dan Arfa kemudian berjalan menuju peti jenazah Amaris untuk memberikan perpisahan terakhir. Mereka berdiri di sana, menatap tubuh Amaris yang terlihat cantik dalam balutan dress berwarna biru laut. Wajahnya begitu tenang, seolah terlelap damai dalam tidurnya.

Setelah 27 hari berada di rumah sakit akhirnya Amaris dinyatakan meninggal dunia karena henti jantung. Keadaanya memang sudah tidak memungkinkan saat itu. Kerusakan syaraf pada otaknya membuat kesembuhan Amaris tergolong mustahil.

Bahkan meski alat-alat medis yang terpasang membantu menopang hidupnya, namun itu tidak mengubah kemungkinan bahwa Amaris tidak akan pernah pulih kembali.

Setelah memberi belasungkawa kepada keluarga Amaris, Ratu dan Arfa kemudian berjalan menuju kursi untuk duduk bersama para pelayat lain. Lalu beberapa saat kemudian perhatian keduanya teralihkan.

Para pelayat juga ikut menoleh ke arah pintu utama dimana sekelompok orang baru saja memasuki gedung. Mereka berbalut dalam pakaian serba hitam, dengan para wanita menggenakan dress elegan dan pria dalam balutan jas berwarna senada.

Seluruh anggota primus itu masuk dengan percaya diri, menguarkan aura dominan yang kentara. Mereka berlenggang penuh karisma dalam barisan yang teratur. Sean berjalan memimpin paling depan, memberi kesan dominasi dan kontrol saat mereka berjalan menuju peti jenazah.

Semua pasang mata masih terlihat mengikuti tanpa berpaling. Bahkan di setiap langkahnya pun aura mereka terasa menghipnotis. Termasuk Ratu yang sempat terkesima. Namun sesaat kemudian ia menggeleng seolah menyadarkan diri. Mereka itu anak-anak primus. Para pelaku yang secara tidak langsung berada dibalik kematian Amaris.

Alih-alih terlihat keren, mereka seperti segerombolan iblis yang baru keluar dari neraka.

Setelah memberikan penghormatan terakhir pada jenazah, para anak primus itu lalu bergabung bersama para pelayat yang lain. Namun dari banyaknya jajaran kursi yang masih kosong mereka justru memilih tempat duduk tepat di sebelah Ratu dan Arfa. Seolah tengah mengolok meski jelas-jelas bendera perang diantara mereka berkibar tegak.

Ratu lantas menghunuskan tatapan paling tajam yang ia punya, seolah mampu mencabik-cabik Sean yang dengan berani mendudukkan diri di sebelahnya. Ia mendelik ke arah laki-laki itu dengan kilat penuh intimidasi.

Sedangkan yang ditatap hanya meliriknya sekilas, sebelum kemudian menoleh sepenuhnya seolah menantang. Sean menyenderkan lengannya ke belakang sandaran kursi, merendahkan dirinya hingga jarak mereka hanya tersisa beberapa inci saja. Begitu dekat hingga Ratu bisa merasakan terpaan hangat dari nafas laki-laki itu.

Sean menatapnya dengan sorot yang datar namun dalam. Intensi diantara mereka begitu gila hingga Ratu merasakan tubuhnya memanas dalam sekejap. Ditatap sedalam itu dalam jarak sedekat ini, apalagi oleh sepasang mata hitam segelap safir berhasil membuat nyalinya ciut.

Untuk beberapa saat gadis itu mencoba mengendalikan dirinya. Namun jelas ia tak berhasil. Ratu kemudian mendelik sambil membuang muka, mencoba terlihat biasa saja meski kini jantungnya bertalu kencang.

"I've actually got time today if you want to try me." Bisik Sean tanpa emosi yang berarti.

(Gue lagi mood buat ladenin hari ini kalo lo mau cari masalah.)

Ratu lantas mengigit kulit pipi bagian dalamnya, menahan emosinya yang bergemuruh. Dalam hati ia mengumpati diri sendirinya dengan ribuan umpatan. Bahkan hanya perang mata saja Ratu sudah kalah.

Ia sudah terbiasa ditekan dan ditindas oleh orang, tapi tidak pernah merasa setakut ini. Gadis itu seperti pecundang yang untuk menatap sepasang mata saja langsung ciut.

Setelah proses penguburan peti para pelayat pun bergegas kembali ke dalam gedung. Ratu yang baru saja duduk seketika mengernyit saat mengecek handphonenya.

Ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor tempat reparasi. Ia memang mengirimkan memory card rekaman CCTV dari Ms. Anna untuk dipulihkan. Meskipun butuh waktu beberapa minggu, namun mereka sudah memastikan kalau rekamannya akan pulih kembali.

Akhirnya karena penasaran Ratu memutuskan untuk menelepon balik nomor tersebut.

"Halo?" Sapa Ratu begitu sambungan telepon tersambung.

"Halo Mbak. Tadi pagi saya baru sampe toko dan memory card-nya rusak. Maaf banget, Mbak. Saya sendiri gak tahu kok bisa, tapi kayanya ada yang ngebobol dan rusakin barang Mbak. Gembok toko saya juga patah, tapi gak ada barang lain yang hilang ataupun rusak selain memory card-nya." Jelas seorang pria di seberang sana.

Ratu lantas mengernyit terkejut. Ia mengacak rambutnya frustasi. Kecurigaanya seketika mengarah pada Sean, namun ada setitik keraguan yang membuatnya bertambah bingung. Bagaimana Sean bisa tahu mengenai rekaman CCTV itu.

"Bentar Mbak, saya kirim fotonya."

Ratu pun membuka satu pesan masuk yang baru dikirim. Sebuah foto memory card yang sudah hancur tak berbentuk. Ia menghela nafas kasar, tak habis pikir dengan pelakunya yang bisa senekat itu.

Membobol kedalam toko orang lain⎯sungguh?

"Oke Pak, gak apa-apa. Nanti saya ke situ." Ujar Ratu.

Setelah sambungan telepon terputus ia kemudian menghampiri Arfa. Laki-laki itu terlihat baru saja akan mengambil hidangan dari buffet bersama para pelayat lain.

"Fa ayo, kita ke tempat reparasi sekarang." Ajak Ratu.

Tanpa membiarkan Arfa banyak bertanya gadis itu sudah lebih dulu menarik tangannya. Namun saat akan keluar langkah mereka dihadang oleh Sean yang berdiri di ambang pintu.

"Lo berdua buru-buru mau kemana?" Sean mengulas senyum sambil mengunyah kue tart di mulutnya. Ia berjalan mendekat sambil memindai Ratu dari atas ke bawah. "Black dress look good on you, anyway." Ucapnya memuji.

(Ngomong-ngomong lo keliatan cantik pake dress item.)

Ia kemudian merendahkan tubuh, mendekatkan wajahnya tepat di telinga Ratu. "But you look so much better without them." Ujar Sean, nyaris berbirik. Ia lalu terkekeh, jenis kekehan melecehkan yang berhasil membuat Ratu tersulut emosi.

(Tapi lo lebih cantik kalo gak pake apa-apa.)

Gadis itu sudah siap untuk menampar cowok kurang ajar di depannya sebelum Arfa mendahului. Laki-laki itu dengan cepat menarik lengan Ratu lalu memasang badan di depannya.

"Watch your mouth." Tandas Arfa penuh peringatan.

Sean lantas tertawa sambil bertepuk tangan, seolah ucapan Arfa adalah lawakan lucu yang harus diapresiasi. "Wahh, you really amazing, bro. Lo keliatan kaya yang bener-bener pengen ngelindugin ni cewek." Ucap Sean sambil berdecak kagum.

"Gue paham. Keep friend close and enemy closer, right?" Lanjutnya diikuti kekehan kecil.

"Lo ngomong apaan sih, bangsat?" Tandas Arfa tak habis pikir.

Dalam sesaat senyuman Sean menghilang digantikan tatapannya yang datar. "Lo tau apa yang gue omongin." Sean berjalan maju sambil merapikan jas pria itu.

"Lo deketin Ratu biar dia bisa lo kendaliin," Sean menjeda sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Arfa. "Kita berdua sama-sama tau, lo yang udah bunuh Amaris." Lanjut Sean. Ia lantas menyeringai saat wajah cowok itu berubah pucat pasi.

HierarkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang