Apapun

11K 771 29
                                    

Mobil Rolls-Royce yang dikendarai Gamma melaju kencang membelah jalanan kota Jakarta. Ada dua iringan mobil yang mengekor di belakang—mereka semua menuju satu titik yang sama yakni alamat yang diberikan oleh sang peneror anonim. Dari jarak 100 meter mereka sudah bisa melihat satu-satunya gedung bekas dari projek terbengkalai. Mobil pun mulai memelankan laju, mencoba memastikan kalau tidak ada lagi bangunan lain di sekitar.

"Is this the place?" Tanya Gamma sambil melirik El sekilas.

(Ini bukan tempatnya?)

Gadis itu sempat menyipit untuk menajamkan pandangan, lalu sesaat kemudian wajahnya berubah terkesiap. Ia memekik, menutup mulutnya yang terbuka lebar saat melihat seseorang jatuh dari lantai tertinggi gedung.

"Fuckkkkk! Hurry up, Gam! Ada yang jatoh!!"

"Holy shit?!! Is that Sean?!!"

Begitu mobil menepi El bergegas lari menghampiri sosok yang baru saja jatuh tersebut. Meski tak melihat wajahnya, intuisinya mengatakan dengan yakin kalau orang tersebut adalah Sean. Kepanikannya membuncah seketika saat tebakannya terbukti benar. Namun ada kelegaan yang menguar saat melihat Sean jatuh di atas safety net. Laki-laki itu terlihat tak terluka parah selain tangannya yang bersimbah darah karena luka tusuk tadi.

"Sean are you okay?! What the hell is going on?!" Tanya El cemas. Sedangkan di belakang anak-anak lain terlihat ikut menyusul.

(Sean lo gapapa?! Apa yang udah terjadi?!)

"Ratu. She's with Ms. Anna." Ucap Sean tanpa menjawab pertanyaan El barusan.

(Dia sama Ms. Anna.)

"I'm gonna rescue her, you guys wait here and call the cops if I didn't comeback in 15 minutes."

(Gue bakal selametin dia, kalian tunggu di sini dan telfon polisi kalo gue gak balik dalam 15 menit.)

El pun berlari masuk tanpa mengindahkan teriakkan teman-temannya. Ia mengeluarkan revolver milik Gamma yang diletakkan di balik dress. Senjata antik berkaliber 44 yang kini hanya terisi 4 peluru. Sebenarnya El tidak yakin akan menembakannya nanti. Ini hanya opsi terakhir kalau-kalau keselamatannya terancam.

"Malam itu, saat saya tusuk tubuh dia berkali-kali, dia tiba-tiba memohon sama saya. Dia bilang; tolong, biarin saya hidup, ada janin di perut saya. At the time I was speechless, Ratu. And kinda feel bad, actually. Saya gak tega harus bikin kamu kehilangan calon ponakan,"

(Saat itu saya bener-bener syok, Ratu. Dan ngerasa sedikit bersalah, sejujurnya.)

Seketika El menghentikan langkahnya, tertegun dengan apa yang baru saja ia dengar. Namun yang menjadi pusat perhatiannya sekarang adalah seberapa menghancurkannya kata-kata itu untuk Ratu. Kedua mata gadis itu membola menyorotkan tatapan kosong. Ia membeku, bibirnya bahkan bergetar kaku tatakala tetesan air jatuh dari matanya.

"But she's dying though. Jadi saya mutusin buat berhenti. Saya tinggalin dia di tengah genangan darah⎯sekarat, sebelum akhirnya mati. Seharusnya dia biarin saya lanjutin, so it'll be easier and less pain. Tapi yah, dia lebih suka mati dengan cara yang lama dan menyakitan."

(Tapi dia udah terlanjur sekarat. / Jadi kematiannya bakal lebih mudah dan gak sakit.)

"Apa yang—apa yang udah lo lakuin sialan.., hiks hiks hiks," Ratu berteriak dalam hening. Tenggorokannya terasa tercekat, mencekiknya hingga tak ada satu kata pun yang keluar tanpa rasa sakit.

"Enough!"

(Cukup!)

Teriakkan El terdengar menggema hingga kedua wanita itu sama-sama menoleh. Ia muncul sambil menodongkan pisol dengan heroik ke arah Ms. Anna. Sedangkan wanita itu kini terlihat santai-santai saja, melipat tangan di depan dada sambil tersenyum remeh.

HierarkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang