[1] Semua Berawal Dari (Bag. 1)

210 14 0
                                    

"Saya rasa, tanggung jawab yang saya berikan padamu, sudah lebih dari cukup. Saya tidak mau memperpanjang urusan, dengan sampah tak berguna sepertimu," ucap seorang lelaki dengan tegas, sembari menekankan kata 'sampah', yang terdengar begitu menusuk.

Hening beberapa saat, hingga lelaki berusia 37 tahun itu melanjutkan, "Saya juga sudah menepati janji saya untuk bertanggung jawab atas bayi itu." Ia menunjuk pada seorang bayi berusia dua bulan, yang tertidur lelap dalam gendongan ibunya. "Setelah dia lahir, artinya tanggung jawab saya sudah lepas atas dirinya."

Kali ini, seorang wanita paruh baya, ikut angkat bicara. Ia mendorong bahu si ibu muda, yang tengah menggendong bayinya dengan kasar. "Dengar, kan?" tanyanya sarkas. "Putra saya sudah berbaik hati, karena bertanggung jawab atas seorang jalang licik sepertimu! Sekarang, sepertinya kaujuga sudah mengerti, apa yang harus kaulakukan sekarang."

Wanita paruh baya itu kembali menatapnya sengit, seraya melanjutkan kalimatnya. "Lagipula, tidak ada yang menginginkanmu di dunia ini. Pergilah! Atau mati sekalian, supaya kami lebih tenang."

Lelaki tadi menatap ibu muda yang masih diam menunduk itu, dengan tatapan tajam. "Kautidak tuli, kan?" tanyanya ketus. "Minggu depan, saya akan menikahi gadis yang saya cintai. Pergilah sejauh mungkin, hingga saya tidak akan pernah lagi melihatmu, atau bayi sialanmu itu!"

Aditya-lelaki itu-kemudian meraih sebuah tas usang berisi pakaian si ibu muda, yang langsung ia lempar begitu saja. "Pergilah," ujarnya dingin. "Lagipula ... anak itu hanya anak haram. Terlepas dia laki-laki atau pun perempuan, toh dia tidak akan mengotori namaku. Dia akan membawa namamu hingga ia dewasa. Persetan jika ia perempuan atau laki-laki, saya tak peduli. Yang jelas, jangan pernah mucul lagi di hadapan saya, jalang!"

Ibu muda yang sejak tadi terdiam di tempatnya itu, kemudian menunduk. Meraih tas usang berisi pakaiannya yang tak seberapa, lantas mendongak menatap lelaki di hadapannya, dengan tatapan datar. "Terima kasih," ujarnya. Ia menyunggingkan senyum miring. "Seharusnya, anda daritadi langsung saja mengucapkan inti dari kalimat berbelit-belit yang anda katakan. Saya sudah mengerti."

Wanita paruh baya yang merupakan ibunda Aditya—Laras—kontan saja mendorong bahu ibu muda itu, dengan kuat. "Hei, jalang!" serunya. "Beraninya kauberkata tak sopan begitu kepada putraku, hah?!"

Ibu muda itu menundukkan kepalanya hormat. "Terima kasih sekali lagi, atas apa yang telah keluarga ini lakukan kepadaku, dan anakku." Ia menekankan kata 'anakku' pada kalimatnya. "Terima kasih juga atas tanggung jawab anda, Tuan Aditya Prakasa yang terhormat. Semoga, lelaki bajingan seperti anda, segera mendapatkan karmanya."

Plak!

Ibu muda itu mengulas senyum tipis. Tak gentar walaupun pipinya baru saja ditampar keras oleh Laras—mantan majikannya itu.

"Jaga mulut sampahmu itu, jalang!" serunya murka. "Jangan harap, hidupmu akan baik-baik saja setelah ini!"

"Tentu saja, Nyonya," ujar ibu muda itu tak takut. Tangannya masih dengan tenang menepuk-nepuk bokong anaknya yang tertidur. "Terima kasih atas doanya. Saya akan pergi, dan menepati janji saya, juga permintaan anda untuk tidak pernah kembali menampakkan wajah saya kepada anda, dan anda, Tuan." Ia menundukkan kepalanya, pertanda hormat. "Ah iya. Anda juga benar. Anak ini adalah anak saya. Benar jika seumur hidup, dia akan menyandang nama saya, sebagai nama belakangnya. Ingatlah suatu hari, jika anda tidak bisa mendapatkan apa yang anda inginkan ... jangan pernah mencari anak saya, lalu mengaku sebagai ayahnya."

Setelah mengatakannya, ibu muda itu segera membalik tubuhnya, meninggalkan pasangan ibu dan anak, yang kini menyumpah-serapahi dirinya di setiap langkah yang ia ambil. Ibu muda itu mengulas senyum menang. Ia sudah lepas dari neraka laknat ini, selamanya. Untuk urusan bagaimana kehidupannya setelah ini, ia menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Biarlah Tuhan yang memutuskan segalanya.

Panas terik di luar sana, terasa menyengat kulit. Ibu muda itu terus saja berjalan tanpa peduli kakinya yang mulai pegal, perutnya yang terasa melilit karena lapar, kerongkongannya yang kering, atau kepalanya yang mendadak pusing. Ia menunduk melihat anaknya yang masih tertidur lelap, di dalam gendongannya. Ia mendaratkan kecupannya di bibir mungil anak itu, dengan sayang.

Langkah kakinya, membawa ibu muda dan bayinya itu, ke sebuah halte bus yang terlihat sepi. Rencananya, ia akan berteduh di sana sebenar. Khawatir anaknya anak terbangun karena haus hingga ia akan menyusuinya di sana. Ibu muda itu mendudukkan bokongnya di salah satu bangku yang ada di halte. Mengipasi wajahnya dengan kain panjang yang menjuntai-yang ia gunakan untuk menggendong anaknya-sebagai kipas, juga sebagai lap keringat di wajahnya. Kain itu sendiri awalnya ia gunakan untuk selimut. Namun, karena kali ini ia akan membawa anaknya dalam perjalanan jauh, alhasil ia memanfaatkannya menjadi sebuah gendongan.

Ibu muda itu menghela napasnya pelan. Asap juga klakson-klakson kendaraan membuatnya merasa tenang. Ia tidak sendiri di dunia ini, tentu saja. Ada anaknya yang kini bersama dengannya. Walaupun dunia ini tidak menginginkan dirinya, setidaknya ibu muda itu masih memiliki tujuan hidup. Membesarkan anaknya dengan sepenuh hati, dan melihatnya sukses dengan kerja kerasnya sendiri.

Astaga. Mungkin, angannya terlalu tinggi hingga ibu muda itu menertawai dirinya sendiri. Ia mengecup pipi anaknya beberapa kali, sembari tersenyum. "Nanti, kalau kamu sudah besar, jangan pernah menyesal punya ibu sepertiku, ya?" tanyanya kepada bayi itu. Tentu saja, tidak ada tanggapan berarti, sebab bayi itu belum mengerti apa-apa. "Ibu akan mengusahakan apa pun yang terbaik untukmu, walaupun seandainya Ibu tidak bisa melakukannya."

Sekali lagi, ia mengecup pipi anaknya dengan sayang. Mengusap pipi lembut itu, diiringi senyum yang tersungging di bibirnya. "Ibu sayang padamu," ujarnya sebelum kemudian memilih berdiri, melanjutkan langkah kakinya meninggalkan tempat ini.

Ia tak tahu harus melangkah ke mana. Sejak berjam-jam yang lalu ia berjalan, hingga detik ini pun ia belum memiliki tujuan. Siang berganti menjadi sore, yang sebentar lagi akan segera gelap. Ibu muda itu mengusap keringat di dahinya. Ia tidak boleh berhenti lagi sekarang. Kalau tidak, sampai kapan ia akan terus berada di tempat ini? Ia bahkan sudah berhenti beberapa di masjid-masjid, untuk mengilangkan dahaga-dengan air keran yang tentu saja gratis—juga berhenti di beberapa halte, untuk menyusui anaknya. Tenang saja, ia masih memiliki adab, hingga tidak asal-asalan menyusui anaknya itu.

"Anak Ibu capek, tidak?" tanya ibu muda itu, saat hari mulai menggelap. Ia bingung, mau beristirahat di mana ia nanti, saat jalanan mulai sepi? Saat tubuhnya benar-benar lelah dan tak mampu lagi berjalan? Saat perutnya lagi-lagi cerewet, meronta minta diisi? "Kita cari tempat untuk istirahat hari ini ya, Sayang," ujarnya lagi. "Ibu capek jalan terus. Anak Ibu pasti juga capek, kan, jalan-jalan terus?"

Ia tertawa sendiri, menyadari kebodohannya yang berbicara kepada bayi dua bulan. Tetapi tak apa. Yang penting, ia memiliki teman berbicara, yang bisa ia cium dan ia gendong sampai bahunya terasa pegal. "Nanti kalau Ibu udah nggak capek, kita lanjut jalan-jalan lagi ya, Sayang. Sekarang sudah mau malam, kita istirahat dulu."

Kakinya lagi-lagi berhenti di sebuah halte dekat sekolah yang tentu saja sudah sepi. Ia tak tahu ada di mana ia sekarang, dan sudah sejauh apa ia berjalan. Yang ia tahu, sekarang dia tengah menikmati waktu istirahat bersama anaknya setelah seharian berjalan-jalan. Ya, anggap saja ia sedang berwisata bersama anak dalam gendongannya itu.

Anaknya terbangun karena haus. Ia merengek, bahkan menangis kencang, membuat ibu muda itu akhirnya segera mengeluarkan salah satu sumur kehidupan bagi anaknya, yang segera dihisap oleh anak itu, dengan semangat. Ia menutupi miliknya dengan sebuah kain-yang dulunya ia pakai menjadi handuk-agar tidak dilihat oleh orang lain. Tentu saja ia malu, jika sampai itu terjadi.

Ibu muda itu mengecup pipi anaknya dengan gemas. "Anak Ibu, minum yang banyak ya, biar kenyang." Ia mengusap pipi anak itu, lantas mencubitnya lembut. "Biar cepat besar juga, supaya kita bisa jalan-jalan lebih jauh lagi, lari-lari sama-sama ke tempat-tempat baru, ya? Ibu nggak sabar lho, Sayang."

Biarlah jika orang lain menganggap jika dirinya mulai tidak waras sekarang. Toh ia bahagia menjalaninya. Anaknya, adalah segalanya bagi ibu muda itu.

Hari yang perlahan menggelap, diiringi suara serangga malam yang mulai terdengar, menjadi saksi bagaimana ibu muda itu mengingat-ingat betapa miris kehidupannya itu. Ia tersenyum, seolah-olah semuanya baik-baik saja, tanpa air mata ataupun kesedihan sedikit pun. Hanya senyum yang menghiasi wajahnya, pun dengan hatinya yang kian menghangat, kala anaknya dengan semangat menikmati makan malamnya.

*****
24.04.20
26.04.20
Republish: 3 Juli 2023

A Poor Girl and Her Little Baby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang