[8] Sebuah Nama Untuknya

49 9 0
                                    

Elang diam, mencoba mencerna apa yang Filsha katakan. Ia kembali menatap bayi laki-laki yang tertidur nyenyak dalam pangkuan ibunya itu, dengan dahi yang mengernyit samar.

"Bukankah usianya sudah dua bulan?" tanya Elang setelah sekian lama diam. "Mengapa kamu belum memberinya nama?"

Filsha mengusap pipi bayinya dengan lembut, sembari berujar pelan. "Di dunia ini ... mereka bilang, mereka tidak menginginkannya, Tuan. Tidak ada nama yang pantas untuknya. Itu yang mereka katakan. Jadi, saya memilih diam. Toh saya pun tak tahu, harus memberinya nama seperti apa." Filsha menarik napas panjang, lantas mengembuskannya. "Saya tidak punya nama yang baik untuknya, Tuan."

Elang diam kembali. Awalnya, ia tidak berniat mengorek masa lalu ibu muda di hadapannya itu. Tetapi nyatanya, Filsha sendiri yang memulai kisah hidupnya. Membuat Elang lagi-lagi tak dapat berkata apa-apa.

Usai Filsha menceritakan kisah hidupnya, Elang tergerak menghampiri ibu muda itu. Ia tepuk bahunya lembut, beberapa kali. "Biarkan saja jika mereka tidak menginginkanmu juga bayimu di dunia ini, Filsha. Percayalah, masih banyak orang lain yang membutuhkan kalian. Jadi, jangan berkecil hati, ya?"

Awalnya, Elang sempat mengira jika wanita itu akan menangis tersedu-sedu kala menceritakan kisah hidupnya yang keras itu. Tetapi kenyataannya, tidak sama sekali. Ibu muda itu masih bisa-bisanya tersenyum, seolah dia baik-baik saja. Padahal, Elang bisa merasakan bagaimana tatapannya yang menyiratkan kesakitan teramat dalan, yang tak bisa ia bagikan begitu saja.

"Terima kasih, Tuan." Filsha lagi-lagi tersenyum. "Terima kasih, karena telah memberikan saya kesempatan untuk tinggal di rumahmu. Suatu hari nanti—"

"Sudahlah, Filsha. Kamu ini, astaga." Elang terkekeh dibuatnya. "Jangan pikirkan apa pun, mengerti? Jangan repot-repot memikirkan bagaimana caranya membalas apa yang sudah kamu dapatkan. Fokus saja kepada kehidupanmu, yang tentunya tidak akan berhenti di sini. Pikirkan juga putramu, Filsha. Dan satu hal lagi." Elang menekankan kata-katanya. "Jangan panggil saya Tuan. Saya tidak suka mendengarnya."

"Lalu, sa-saya harus panggil apa ... Tuan?" tanya Filsha.

"Tuan lagi," desah Elang bosan. "Apa pun, asalkan bukan Tuan."

Filsha meneguk salivanya susah payah. "Pak?"

"Saya belum setua itu untuk dipanggil 'Pak', Filsha."

Ibu muda itu mengulum senyum. "M-Mas? Apa boleh saya memanggil Tuan—maksud saya ... Mas Elang, dengan sebutan 'Mas'?"

"Nah! Itu jauh lebih baik. Anggap saya sebagai kakakmu, oke? Jadi, jangan sungkan terhadap saya. Saya lebih senang mendengarnya."

Filsha ikut tersenyum saat melihat Elang tersenyum manis sekali untuknya. Mendadak, hatinya menghangat. Ia tidak salah menceritakan kisah hidupnya yang keras itu, kepada seorang Elang, bukan? Lagipula ... lelaki itu sudah benar-benar baik kepadanya. Jadi agaknya, Filsha tidak salah melakukannya.

"Ah iya." Filsha diam, sembari menatap lelaki itu dengan tatapan bingung. "Untuk bayimu, apakah boleh jika saya memberinya sebuah nama?" tanya Elang memastikan. "Itu juga kalau kamu mengizinkan, sih."

Bukan main senangnya hati Filsha sekarang. Senyumnya semakin mengembang, kala mendengar tawaran dari lelaki baik hati itu. "Tentu saja boleh, Tuan—Mas Elang. Saya justru akan sangat senang, jika Mas ingin memberikan nama untuk putra saya. Putra saya pasti akan sangat senang. Dan suatu saat nanti—"

"Saya tidak mau kamu balas budi pada saya, Filsha." Elang tertawa melihat reaksi Filsha yang berlebihan. Ibu muda itu, selalu saja berkata 'suatu saat nanti', 'suatu hari nanti', yang sama sekali tidak ingin Elang dengar. Ia ikhlas membantu wanita itu. Ia tidak membutuhkan balas budi, karena ia merasa jika membantu sesama manusia adalah sebuah kewajiban.

Filsha sendiri hanya diam. Benar juga. Sepertinya, Elang bosan mendengar kata-katanya yang selalu saja sama. Filsha sendiri tak yakin, jika suatu hari nanti, hidupnya akan menjadi lebih baik daripada sekarang, untuk membalas budi baik dari Elang.

"Bagaimana kalau Bayu? Bayu Samudera Dirgantara?" tanya Elang tiba-tiba, membuat Filsha mengerjap tak mengerti.

"Bayu ... siapa, Mas?" tanya Filsha bingung.

Elang tertawa melihat wajah bingung Filsha. "Putramu," jawabnya. "Bagaimana kalau namanya Bayu Samudera Dirgantara? Apakah kamu menyukainya?"

Filsha diam. Ia kemudian menatap wajah putranya, lantas menyunggingkan senyum hangat. "Indah," ujarnya.

"Loh? Bukannya anakmu ini laki-laki, ya? Kok kamu ingin memberinya nama 'Indah', sih?" tanya Elang bingung.

Seketika, Filsha tertawa mendengarnya. "Bukan begitu, Mas Elang. Maksud saya ... nama yang Mas Elang berikan untuk putra saya, sangat indah," jelas Filsha panjang lebar. "Saya menyukainya."

Senyum tipis yang Filsha berikan, seketika membuat hati Elang menghangat. Ia kembali menatap bayi dua bulan, yang baru saja diberi nama itu dengan perasaan bahagia. Tetapi kala melihat pakaian yang dikenakan bayi itu, seketika Elang merasa miris kembali.

"Filsha," panggil Elang, membuat Filsha menoleh.

"Ya, Mas?"

"Apa kamu lapar?" tanyanya. "Saya sampai lupa memesankan makanan untukmu." Elang mulai sibuk mengutak-atik ponsel di tangannya, untuk memesan makanan.

"Eh, Mas ... maksudnya, pesan bagaimana, ya?" tanya Filsha tak mengerti. "Tidak perlu repot-repot, Mas saya—"

Elang menghela napas panjang, membuat Filsha refleks menyudahi kalimat yang belum selesai ia katakan. "Di dapur saya, tidak ada bahan makanan apa pun. Saya tidak bisa memasak, jadi ya, kita harus pesan makanan," jelas Elang panjang kali lebar.

"Oh, begitu," sahut Filsha. "Kalau begitu, Mas pesan makanan untuk Mas saja. Saya tidak lapar—"

"Saya tidak suka dibohongi, Filsha. Dan saya juga bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi." Elang berdiri dari duduknya, kemudian menatap Filsha dengan serius. "Kamu bisa memasak?" tanya Elang, yang tidak langsung dijawab oleh Filsha. "Kalau tidak bisa juga tidak apa-apa, sih."

"B-bisa, Mas," jawab Filsha. "Tapi saya nggak pintar memasak. Paling, hanya makanan biasa saja, Mas."

"Memangnya saya minta yang luar biasa? Tidak, kan?" tanya Elang lagi. Kali ini, sukses membuat Filsha melebarkan senyumnya. "Kalau begitu, setelah makanan kita sampai, kamu ikut saya, ya?"

"Ke mana, Mas?"

Elang mengembuskan napas lelah. "Ikut saja, deh. Kamu ini, padahal saya tahu kalau kamu lapar, kakimu juga pasti masih terasa pegal. Tetapi ternyata, kamu masih banyak tanya juga, ya?"

"Um, itu ... maaf, Mas." Filsha jadi tak enak hati dibuatnya.

"Ya sudah," Elang memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. "Kamu lebih baik kembali ke kamarmu dulu, istirahat sebentar. Nanti, kalau makanannya sudah datang akan saya panggil."

"Um, tidak apa-apa, Mas. Saya—"

"Saya nggak sudah dibantah, Filsha. Kasihan Bayu, dia pasti capek digendong ibunya terus. Dia juga mau berguling ke sana ke mari dengan bebas."

Awalnya, Filsha masih belum terbiasa dengan nama 'Bayu' yang sekarang dimiliki putranya. Tetapi lama kelamaan, ia jadi terbiasa walaupun masih sering bingung. "Bayu baru dua bulan, Mas," ujar Filsha diiringi tawa kecil. "Dia belum bisa berguling ke sana ke mari seperti yang Mas bilang."

Baru tahu, sumpah. Batin Elang tak percaya. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Begitu, ya?" tanyanya. "Ya sudahlah, tidak apa-apa. Sana, kembali ke kamarmu. Nanti akan saya panggil."

Kali ini, Filsha memilih menurut saja. Ia tidak mau terlalu banyak bertingkah. Ia takut jika Elang malah membencinya nanti. Lelaki itu terlalu baik masalahnya. Jadinya, Filsha sungkan. Benar-benar merasa sungkan.

"Mas," panggil Filsha ragu, kala Elang nampak beranjak menuju tangga ke arah kamarnya.

"Ya?" sahut Elang yang kini membalikkan badan.

"Terima kasih," ucap Filsha sekali lagi, diiringi senyum manis. "Terima kasih, karena sudah berbaik hati memberikan nama untuk putra saya."

*****

A Poor Girl and Her Little Baby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang