[3] Ketika Malam Datang

75 11 2
                                    

Semakin malam, semakin berkurang jura rasa ingin tahu beberapa orang yang singgah di halte untuk bertanya kepada ibu muda dengan seorang bayi dalam gendongannya itu.

Filsha bahkan lupa, sudah berapa banyak orang yang bertanya akan pergi ke mana ia, hanya atas dasar ingin tahu saja. Untunglah, sekarang halte yang ia tempati sudah benar-benar sepi sekarang. Hanya tertinggal dirinya dan juga anaknya dalam gendongan.

Bayinya itu sempat menangis beberapa kali karena buang air kecil atau besar di celananya. Filsha hanya memiliki dua pasang pakaian bayi yang akan ia cuci ketika mampir di masjid untuk menghilangkan lapar dan dahaga sekaligus—dengan air keran—juga tak lupa menumpang memandikan anaknya dengan izin pengurus masjid. Baju anaknya yang kotor akan ia cuci seadanya. Tanpa sabun atau pun yang lain. Ia bahkan tidak mandi sama sekali karena tidak tahu harus menitipkan anaknya di mana jika ia tinggal mandi. Tak apalah, yang penting tubuh anaknya terasa lebih segar agar bayi nyaman dalam tidurnya.

Baju bayinya sendiri akan Filsha keringkan sepanjang perjalanan. Terik matahari yang menghujaminya, ia gunakan untuk mengeringkan pakaian sang anak, juga pakaiannya yang terkadang terpaksa ia gunakan sebagai pakaian ganti anaknya, jika yang lain masih basah. Bahkan, bayi dua bulan itu kini menggunakan kaos kebesaran yang Filsha punya untuk membungkus tubuhnya. Lucu, karena tubuh anaknya itu, benar-benar tertutupi oleh bajunya yang cukup besar. Hanya kepalanya saja yang menyembul keluar, melalui potongan leher kaosnya.

Filsha menciumi wajah bayinya dengan sayang. "Nanti, kalau Ibu sudah punya uang, Ibu akan belikan kamu baju yang bagus. Tidak memakai baju Ibu lagi, deh." Ibu muda itu tertawa pelan karena ucapannya sendiri. "Tapi sekarang Ibu lapar. Kira-kira, anak Ibu lapar juga, nggak?"

Jelas saja anak itu selalu merasa kenyang. Karena Filsha tak akan lalai memberi anak itu ASI, disaat anak itu mulai terbangun karena haus.

Filsha tersenyum lagi. "Kalau anak Ibu kenyang, artinya Ibu juga ikutan kenyang, deh," ujarnya lagi. Ia menciumi pipi anaknya dengan sayang.

Kenyataannya, dia bohong. Perutnya sekarang benar-benar terasa lapar. Ia tak tahu, apakah besok ia akan kuat berjalan atau tidak. Yang jelas, Fisha sekarang merasakan jika dirinya mulai tidak kuat. Tetapi bagaimana? Mau tak mau, ia harus kembali berjalan, hanya demi sesuap nasi sebagai pengganjal rasa laparnya.

Sebuah warung makan ia lewati. Nampak sangat ramai dengan orang-orang yang menuntaskan lapar dan dahaga mereka di dalamnya.

Filsha segera melangkahkan kakinya, menuju ke belakang rumah makan itu. Berharap, pemiliknya berniat mempekerjakan dirinya, walau untuk semalam saja.

"Permisi," sapa Filsha dengan ramah, pada seorang wanita yang nampak sangat keteteran saat mencuci piring.

Wanita itu menoleh, mendapati seorang ibu muda, dengan bayi di gendongannya. "Ya, ada apa? Kalau mau mengemis, lebih baik pergi saja. Saya sedang sibuk!" ujarnya ketus.

Filsha menyunggingkan senyumnya seperti biasa. "Tidak kok, Bu," ujarnya ramah. "Saya hanya ingin mencari pekerjaan di sini. Apa ada?"

Wanita itu menatap Filsha dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Tidak ada," sahutnya acuh.

Filsha tampak mendekati wanita itu. Berdiri di sampingnya, seraya berkata, "Ibu sepertinya sedang repot, membersihkan piring ini sendirian. Saya bisa membantu ibu, kok, untuk malam ini saja. Untuk bayaran, saya boleh meminta makanan? Barang untuk mengganjal perut saya malam ini."

Wanita itu menatap Filsha tak percaya. "Lalu, bagaimana dengan anakmu?"

Filsha menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Anak saya tidak akan rewel jika saya bekerja. Jadi, apa boleh saya membantu Ibu?"

Lagi-lagi, jalannya dimudahkan Tuhan. Karena jumlah piring kotor yang semakin bertambah, alhasil wanita tadi mengizinkan Filsha untuk membantunya. Toh ibu muda itu hanya meminta upah sebungkus nasi atas hasil kerjanya, bukan?

Melihat kinerja Filsha yang cukup baik, juga anak dalam gendongannya yang tidak rewel sama sekali, wanita tadi berniat untuk memberi sebotol air juga, sebagai bayaran atas hasil kerja keras Filsha setelah ini. Ya, sepertinya itu sudah lebih dari cukup.

"Ini upah kamu." Wanita tadi memberikan sebungkus nasi kepada Filsha, juga sebotol air mineral yang telah ia janjikan dalam hati tadi. Tentu saja langsung diterima Filsha dengan senang hati. "Terima kasih sudah membantu saya mencuci piring hari ini. Kamu boleh pergi."

Setelah mengucapkan banyak sekali terima kasih, Filsha—dengan bayinya dalam gendongan—kembali melangkahkan kaki, mencari tempat beristirahat. Lagi-lagi, halte bus lah yang ia cari. Cukup jauh perjalanannya, dari warung makan tadi ke halte bus yang entah jurusan mana ke mana, akhirnya Filsha mendudukkan diri di salah satu bangku yang ada di sana.

"Lihat, Ibu punya makanan!" seru Filsha bahagia, kepada anaknya yang masih tertidur dengan nyenyak. Ibu muda itu lantas segera membuka karet pengikat bungkusan nasi yang berada di tangannya. Mencuci tangannya dengan air mineral yang diberikan oleh wanita tadi—hingga air itu berkurang sedikit. Perlahan, ia membuka bungkusan nasi itu, agar tidak tumpah.

Filsha sempat diam, kala melihat nasi yang berada di tangannya. Hanya nasi putih dengan kuah—yang Filsha tidak tahu kuah dari sayur apa—sepotong tempe dan tahu apkiran, yang sepertinya tidak laku dijual, juga seiris wortel yang agaknya sempat melekat pada sendok sayur atau bagaimana, Filsha tidak mengerti. Akan tetapi, ibu muda itu kembali tersenyum. Ini adalah rezeki dari Tuhan. Ya, tentu saja.

Dengan lahap, ia segera menjejalkan nasi ke dalam mulutnya. Itung-itung sebagai tabungan energinya untuk melanjutkan perjalanan esok.

Filsha juga tak lupa menyempatkan dirinya, berbicara pada bayi mungil yang berada dalam gendongannya. "Lihat, Ibu sedang makan sekarang. Nanti, kita lanjut jalan-jalan lagi ya, Sayang. Jangan takut, oke? Ibu 'kan sudah punya tenaga sekarang. Kita akan jalan-jalan lebih jauh lagi, ya?"

Ia kembali menyuapkan nasi yang tersisa di bungkusannya hingga tandas. Kemudian meminum air mineral yang dapatkan dari wanita tadi, lalu menggunakan sebagian airnya untuk mencuci tangan.

"Ibu sudah kenyang, lho. Kita lanjut jalan lagi ya, Sayang? Supaya kita, bisa cepat sampai ke mana pun anak Ibu mau." Ia mengecup pipi anaknya dengan gemas—tentu saja setelah ia mengusap bibirnya sendiri, dengan lengan kaos yang ia kenakan. "Nanti, kita cari tempat berteduh, ya. Soalnya sudah malam, Ibu sampai lupa. Anak Ibu pasti capek ya, bobok digendong terus?"

Kakinya kembali melangkah, mencari masjid atau mushala terdekat, yang sekiranya bisa ia gunakan untuk beristirahat barang sejam dua jam. Walaupun jarang ada masjid atau mushala yang mengizinkan orang untuk bermalam, tetapi tak apa. Filsha tidak kehilangan akalnya. Ia bisa saja mencari tempat lain untuk melepas penat. Di mana pun, asal anaknya tetap tidur dengan nyenyak, Filsha pasti akan bahagia.

*****
24.04.20
02.05.20
Republish: Kamis, 20 Juli 2023

A Poor Girl and Her Little Baby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang