[14] Manis, Hangat dan Menyenangkan

40 8 0
                                    

Arina tertawa pelan kala melihat ekspresi ibu muda di hadapannya itu yang tampak menunduk takut. Ia menepuk bahu Filsha beberapa kali, hingga membuat perempuan itu mengangkat kepalanya takut-takut.

"Jangan terlalu tegang, ah," ucap Arina sembari mengusap pucuk kepala Filsha. "Saya hanya bercanda, kok."

Filsha mengernyitkan dahinya kebingungan. Bukankah tadi ibunya Elang ini menyuruhnya untuk mengemasi barang-barang? Itu artinya mengusir secara halus, bukan?

"Filsha," panggil Arina pelan. Hal itu membuat Filsha menatap wajah teman bicaranya itu takut-takut. "Kenapa? Saya benar-benar hanya bercanda, kok."

Filsha meneguk salivanya susah payah, "A-um ... secepatnya saya akan segera berkemas, Nyonya. Habis ini—"

"Hei." Arina menatap perempuan muda di hadapannya itu dengan tatapan lembut. "Kamu dengar 'kan yang tadi saya bilang? Saya hanya bercanda." Ia menyunggingkan senyum hangat seraya merangkul Filsha yang mendadak menegang. "Mana bayimu?" tanyanya kemudian.

Filsha terkesiap, sebelum akhirnya menyadari jika ibunya Elang tengah merangkul dirinya. Sungkan, perempuan itu memilih bergerak pelan karena merasa tak enak dan terlihat kurang sopan. "Ba-Bayu ada di dalam, Nyonya," ujar Filsha.

"Panggil Mama, Ibu, atau apa pun, asal jangan 'Nyonya'," titah Arina sembari memegang salah satu tangan Filsha dan membawanya masuk ke dalam kamar.

Filsha sendiri tak mengerti, kiranya apa yang terjadi saat ini. Bercanda? Kalau pun pengusiran tadi adalah sungguhan, ia akan dengan lapang dada untuk segera mengemasi barang-barang—lamanya—lalu segera pergi dari rumah Elang. Namun, mendengar apa yang ibunya Elang katakan, membuat Filsha semakin kebingungan. Sebenarnya, apa yang terjadi?

"Masyaallah." Arina memekik menahan gemas saat melihat Bayu yang ternyata baru saja membuka matanya. Bayi dua bulan itu kini tengah menggerak-gerakkan kaki dan kedua tangannya. Asyik dengan kegiatannya sendiri. "Lucu sekali anakmu, Filsha ...."

Filsha tersenyum tipis saat mendengar bayinya dipuji seperti itu. Ia bahagia mendengarnya. Di luar sana, boleh saja jika orang-orang mencemooh serta membenci dirinya, tetapi tidak dengan bayinya. Bayu harus tumbuh besar dengan bahagia dan sehat, bagaimanapun caranya.

Sementara itu, Arina membawa Bayu ke dalam gendongannya dan menimang bayi mungil itu dengan penuh cinta, membuat hati Filsha menghangat tiba-tiba. Ia seketika membayangkannya, jika Arina adalah ibunya. Walaupun ia tidak pernah melihat sang ibu dan mengetahui di mana keberadaan perempuan yang telah melahirkan lalu membuangnya itu, tetapi selama ini ia tetap berharap bisa bertemu dengannya walaupun hanya sekilas mata memandang. Pasti akan menyenangkan kala melihat sang ibu menimang bayu—cucunya—dengan penuh kasih dan sayang.

"Ini beneran mirip Elang waktu bayi lho, Sha." Filsha seketika tersentak dari lamunannya, dan langsung menatap Arina dengan tatapan tak mengerti. "Bibirnya, alisnya, hidungnya. Ya Allah, kayaknya Elang bohongin mama."

"Bo-bohong apa, Bu?" tanya Filsha memberanikan diri. Ah, ia bahkan tidak tahu kiranya hilang ke mana keberaniannya dulu. Berhadapan dengan Elang dan keluarganya, membuat ia merasa seperti seorang pengecut.

Arina mengalihkan pandangannya dari Bayu sebentar, untuk menatap Filsha dengan serius. "Bayu anakmu sama Elang, kan? Jujur saja sama mama, Sha."

Pupil Filsha membulat seketika kala mendengar apa yang Arina katakan. Tangannya bergerak-gerak pertanda ia tidak setuju dengan perkataan Arina. "Bukan, Bu," jawab Filsha kemudian. "Ba-Bayu bukan anak Mas Elang."

"Terus, kenapa bisa mirip sama Elang begini?" tanya Arina penuh selidik. Ia bahkan menyipitkan matanya dan menatap Filsha dengan tatapan intens, "Bayu tuh beneran mirip Elang, Filsha. Saya jadi nostalgia waktu Elang masih bayi begini, 'kan, jadinya."

Ibu muda itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, bingung harus menjawab seperti apa. "Sa-saya juga nggak ngerti, Bu, kenapa Bayu bisa mirip sama Mas Elang. Tapi ... saya nggak bohong, Bu. Bayu memang bukan anak Mas Elang."

Arina akhirnya menghela napas panjang. Filsha memang tampak takut, tetapi perempuan itu tidak akan memalingkan pandangannya untuk menghindari tatapan si lawan bicaranya. Selain itu, Arina juga tidak mendapati kebohongan sama sekali di mata ibu muda di hadapannya itu. Sedikit kecewa, tetapi bersyukur juga dalam hati. "Padahal, kalau Bayu ini anak kamu sama Elang, saya nggak akan marah lho, Sha."

"Eh?" Filsha tergagap mendengarnya.

"Si Elang tuh, umurnya udah mau 26, tapi sampai sekarang nggak pernah bawa perempuan ke rumah. Saya jadi takut kalo Elang nggak suka sama ... perempuan."

Filsha meneguk salivanya susah payah, kala mendengar apa yang Arina katakan. Di matanya, Elang adalah lelaki sempurna bak malaikat baik hati yang telah menolong dan membawanya keluar dari neraka dunia itu. Namun, mendengar apa yang Arina keluhkan, membuat Filsha menyadari satu hal, jika ia belum mengenal Elang sejauh Elang mengetahui kisah hidupnya. "Mungkin, Mas Elang hanya belum siap, Bu," ujar Filsha kemudian.

"Nggak ngerti lagi saya, sama anak satu itu," keluh Arina. "Adek-adeknya aja udah pada mau nikah, tapi dia sampe sekarang masih betah aja sendirian."

"Mas Elang punya adik, Bu?" tanya Filsha penasaran.

Arina kemudian mengangguk, sementara tangannya sibuk menimang Bayu dengan sayang. "Adeknya ada dua, cewek. Yang satu 24, yang satu 22. Udah pada ngebet mau nikah semua." Perempuan itu tertawa kecil setelahnya.

Filsha mengangguk-angguk mengerti. "Berarti, Mas Elang anak sulung ya, Bu?"

"Iya," jawab Arina. Perempuan itu mengecup pipi Bayu beberapa kali dengan gemas. "Kamu sama Bayu ikut Ibu ke rumah aja yuk, Sha?"

"Eh? Ma-maksudnya gimana, Bu? Saya ...." Filsha segera berdiri dari duduknya karena melupakan sesuatu yang seharusnya ia lakukan. "Saya akan segera berkemas, kemudian pergi dari sini, Bu. Se-sekali lagi, maafkan saya karena sudah lancang tinggal di rumah anak—"

"Lho, kamu ini. Maksudnya, ikut ke rumah saya. Kamu sama Bayu tinggal di sana aja, nah ... nanti kalo sudah sah dengan Elang, baru deh kalian tinggal bersama lagi."

Filsha kontan membulatkan matanya kala mulai mengerti apa yang Arina katakan. "Tapi saya dan Mas Elang---"

Arina segera memotong kata-kata Filsha dengan senyuman tipis, sembari terus menimang dan menciumi pipi Bayu. "Kamu nggak perlu khawatir tentang apa pun, Filsha," ujar perempuan itu lembut. "Saya memang nggak tahu bagaimana perasaanmu dan bagaimana perasaan Elang kepadamu, tapi saya berharap kalau memang ada sesuatu di antara kalian berdua."

Ibu muda itu diam, tak tahu harus mengatakan apa. Ia tidak mengerti dengan apa yang Arina maksud, tetapi rasanya tak sopan saja jika ia menyuarakan suaranya.

"Ah iya, satu hal lagi, Filsha." Arina menatap ibu muda di hapadannya dengan tatapan serius. "Kamu orang baik, dan saya ingin memiliki putri sebaik dirimu."

Baik? Filsha seketika memejamkan matanya beberapa saat, kemudian menerawang ke mana saja. Menggerakkan pupil matanya untuk menghindari tatapan yang Arina berikan, kemudian berujar, "Saya nggak sebaik yang Ibu pikirkan."

Namun, reaksi yang Arina berikan adalah sebuah senyuman hangat yang sangat-sangat Filsha rindukan pada sosok yang ingin ia panggil 'ibu'. Memilih meletakkan Bayu kembali ke tempat tidur, Arina kemudian berdiri dari duduknya dan langsung membawa Filsha ke dalam pelukannya. Ia mengerti pokok kegundahan hati ibu muda di dalam rengkuhannya itu. Perempuan kuat yang bahkan di saat-saat seperti ini, tidak meneteskan air matanya sama sekali. Benar kata anakku, dia ... tidak bisa menangis?

"Kamu perempuan terkuat yang pernah ibu kenal, Sha," ujar Arina seraya menyunggingkan senyum hangat.

*******
16.09.20
Republish:
31 Desember 2023

A Poor Girl and Her Little Baby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang