[6] Menggantungkan Asa

52 8 1
                                    


Awalnya, Filsha ingin menolak saja. Ia tak mau merepotkan malaikat baik di hadapannya itu. Ia tak tahu harus membalas budinya bagaimana, sebab bisa hidup hingga esok pagi juga, Filsha tak yakin.

Tetapi agaknya, bayi dalam gendongannya mengerti akan bagaimana lelahnya Filsha membawanya berjalan. Bayi dua bulan itu menangis keras, padahal Filsha tak merasakan jika anaknya itu buang air.

"Mungkin anaknya haus," ujar malaikat baik itu, tadi. "Dia juga sepertinya kedinginan. Kasihan dia, kamu juga sepertinya lelah."

Alhasil, Filsha mengenyahkan rasa malu dan takutnya. Demi bayinya, ia akhirnya menurut. Memasuki mobil malaikat baik hati itu, yang katanya akan mengantarkan dirinya, hingga ke rumah.

Filsha mendadak ingin menertawai kebodohannya. Rumah? Sejak kapan ia punya rumah. Berbohong benar-benar menyiksanya sekarang.

Di dalam mobil malaikat baik itu, bayinya mendadak diam. Filsha sebelumnya meminta izin untuk menyusui bayinya lebih dulu, agar bayi itu kembali tertidur nyenyak. Lelaki itu bahkan mengizinkan Filsha melakukan semuanya.

Melirik dari kaca spion yang berada di tengah, lelaki itu kemudian mengambil sebotol air di dalam dasbor. Mengulurkannya ke kursi belakang, yang tentu saja membuat Filsha bingung menatapnya. "Minumlah," ujar lelaki itu. "Wajahmu pucat sekali, sepertinya kamu dehidrasi."

Ragu, Filsha mengambil uluran air mineral itu karena kerongkongannya benar-benar terasa kering. "Terima kasih, Tuan," ucapnya diiringi senyum.

Hangat. Entah mengapa, melalui kaca spion tengah yang berada di mobil, lelaki itu mendadak merasakan hatinya menghangat kala melihat senyum tipis yang Filsha berikan. Sepertinya, ia tidak salah menolong orang.

"Di mana rumahmu?" tanya lelaki itu, sontak membuat Filsha diam.

Ibu muda itu sibuk berpikir, kira-kira di mana ia akan turun. Rumah mana yang akan ia tunjuk nantinya? "A-um ... sedikit lagi sampai, Tuan," ujarnya takut.

Bingung, tetapi lelaki itu memilih diam. Entah mengapa, ia merasa jika ibu muda itu tengah berbohong sekarang. Ada ragu yang tersirat di dalam suaranya yang lemah itu. Tetapi ia tetap berusaha mengenyahkan rasa curiganya. "Nanti kalau sudah hampir sampai, ingatkan saya, ya?"

Filsha menunjuk sebuah rumah—yang ia tak tahu sebenarnya itu rumah siapa—yang berada di pinggir jalan. Rumah sederhana, yang nampak sudah gelap bagian dalamnya.

"Benar di sini?" tanya lelaki itu.

"Be-benar, Tuan." Filsha merutuki dirinya sendiri, yang malah terkesan gugup. Semoga saja, pemilik rumah tidak marah karena ia sembarangan mengakui rumah itu, sebagai kediamannya.

Mobil berhenti, membuat Filsha segera turun dari mobil. Ia menatap lelaki itu lewat kaca mobil yang terbuka penuh. "Terima kasih Tuan, karena sudah menolong dan memberi saya tumpangan. Suatu hari nanti, Tuhan pasti akan membalas perbuatan baik Tuan. Sekali lagi, terima kasih, Tuan."

"Kamu tidak perlu sungkan," ujar lelaki itu. "Masuklah ke dalam, aku akan menunggumu hingga kamu berada di dalam rumah dengan aman."

Kelabakan. Mendadak, Filsha merasa takut. Astaga, kenapa lelaki ini malah menyuruhnya masuk? Mati dia, kalau ketahuan berbohong. "Ah, tidak usah, Tuan." Filsha segera mencari alasan. "Ini sudah larut, sebaiknya Tuan segera kembali ke rumah. Toh saya dan anak saya juga sudah berada di depan rumah, Tuan. Jadinya, anda tidak perlu khawatir."

Semakin bertambah keraguan dalam diri lelaki itu. Terlebih lagi, kala mendengar bagaimana penuturan ibu muda itu, yang lebih mirip seperti alibi semata. Tetapi lebih baik ia menurut saja. "Baiklah," ujarnya. "Segeralah masuk, dan beristirahat. Bayimu pasti sangat lelah."

"Sekali lagi terima kasih, Tuan," ucap Filsha, sebelum akhirnya mobil itu kembali bergerak meninggalkannya juga bayinya di depan rumah—yang entah milik siapa.

Memastikan jika mobil itu benar-benar menghilang dari pandangannya, setelah berbelok ke sisi kanan, Filsha mendesah lega. Ia mengecup pipi anaknya dengan sayang, lantas menoleh ke arah rumah yang berada di belakangnya. Ia mengulas senyum tipis, seraya kembali melangkahkan kakinya.

"Lihat, Sayang." Filsha mengajak bayinya berbicara. "Tuan itu baik sekali ya, kepada kita. Dia membawa kita lebih jauh sekarang dengan mobilnya. Anak Ibu senang tidak, naik mobil?"

Ia tersenyum manis sekali. Ini adalah kali pertama bayinya itu naik kendaraan. Pastinya akan menjadi kenangan paling membekas dalam ingatannya. Suatu hari nanti, Filsha ingin menceritakannya kepada bayinya, tentang hari di mana mereka bertemu dengan malaikat utusan Tuhan.

"Suatu saat nanti, semoga Tuhan mempertemukan kita dengan tuan tadi ya, Sayang. Kita harus membalas kebaikannya. Anak Ibu, harus tumbuh dengan sehat. Janji ya, Sayang. Anak Ibu harus jadi anak baik."

Lelahnya sedikit berkurang, dan hatinya seolah berbunga-bunga. Ia senang. Ia bahagia. Tuhan benar-benar selalu berbaik hati kepadanya. Bagaimanapun kehidupannya nanti, Filsha yakin, Tuhan pasti akan selalu bersamanya.

Terlalu asyik melangkah sambil mengoceh apa saja sebagai penghilang sepi, tiba-tiba saja Filsha dikagetkan dengan malaikat penolongnya—yang Filsha yakin sudah berlalu jauh sekali—kini berada di hadapannya. Membuat ibu muda itu seketika meneguk salivanya.
"Sudah saya duga, kalau kamu membohongi saya," ujar lelaki itu, seraya berjalan mendekat ke arahnya.

Filsha ketahuan berbohong. "Ah ... T-tuan." Ibu muda itu tergagap seketika.

"Harusnya kamu jujur kepada saya sejak awal. Tidak perlu sungkan."

"Tuan, saya hanya—"

"Kamu tidak punya tempat tinggal, bukan?"

Diam. Filsha terdiam di tempatnya. Ia ragu berkata jujur. Ia takut jika dirinya akan menyusahkan orang lain. Ia takut tak bisa membalas budi orang yang sudah berbuat baik kepadanya. Filsha takut jika esok, ia tak lagi bernapas, lalu utang budinya ia bawa mati.

"T-tuan, saya ...."

Lelaki itu menghela napas. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, lantas dengan ragu memegang kedua pundak Filsha dengan lembut. Ia menatap manik mata ibu muda itu, dengan serius. "Bicaralah," pinta lelaki itu. "Saya akan mendengarkan segalanya, dan saya akan menolong kamu semampu saya."

Filsha diam.

Selama 19 tahun ia hidup di dunia ini, Filsha rasanya hanya bisa membuat masalah. Menyusahkan orang lain, lalu diusir hingga kembali menjadi gelandangan. Lagipula, siapa yang menginginkannya hidup di dunia ini? Orang tuanya saja tega membuangnya. Lalu, panti asuhan di mana ia tumbuh besar, juga membuangnya. Neraka itu juga membuangnya. Lantas, ia harus bagaimana?

"Maaf, Tuan." Filsha memberanikan dirinya, untuk menolak. "Hidup saya terlalu kotor dan terlalu hina untuk terus menerus menyusahkan orang lain, Tuan."

Kedua tangan lelaki yang sejak tadi berada di bahu Filsha, seketika ia turunkan. Menatap manik mata ibu muda itu, yang sarat akan kesedihan. Tetapi hingga menunggu beberapa saat kemudian, lelaki itu tak juga menemukan setetes pun air mata yang jatuh membasahi pipi wanita itu.

"Terima kasih karena Tuan telah berbaik hati, berniat menolong saya. Saya ... saya janji akan pergi jauh dari sini. Saya tidak mau menyusahkan siapa pun lagi. Maaf jika saya lancang, Tuan. Sekali lagi, terima kasih." Filsha menundukkan kepalanya, kemudian segera melanjutkan langkah. Meninggalkan lelaki itu, yang menatapnya dengan tatapan kosong.

"Kalau kamu menolak bantuan saya, setidaknya kamu pikirkan bayimu," ujar lelaki itu, membuat Filsha seketika menghentikan langkahnya. "Jika kamu tidak merasa lelah terus menerus berjalan tanpa tujuan, setidaknya pikirkan bayimu, yang pastinya akan lelah terus menerus berada dalam gendonganmu. Ingatlah. Dia masih terlalu kecil, untuk merasakan sulitnya kehidupanmu."

Filsha diam. Mendadak, ia merasa gagal menjadi seorang ibu, detik ini juga. Perkataan lelaki itu, ada benarnya juga. Tetapi rasanya, Filsha benar-benar tak mau merepotkan orang lain lagi. Biarlah ia mencari cara lain, agar hidupnya kelak jauh lebih layak. Walaupun sepertinya, hal itu teramat mustahil untuk digapai.

Apakah lelaki itu benar-benar malaikat yang dikirim Tuhan untuk tempatnya menggantungkan asa?

"Ikutlah denganku," ujar lelaki itu tulus. "Jika bukan untuk dirimu sendiri, setidaknya lakukanlah demi bayimu."

*****
Republish:
Jumat, 29 Desember 2023

A Poor Girl and Her Little Baby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang