[20] Sebuah Drama

26 5 0
                                    

"Saya rindu."

Untuk sepersekian detik, jantung Filsha rasanya berhenti berdetak saat itu juga. Entah dirinya sedang bermimpi atau berkhayal, yang jelas semuanya terasa begitu nyata dan terdengar sangat merdu di telinga ibu muda itu. Tanpa ia sadari, belah bibirnya terbuka begitu saja. Terperangah bercampur tak percaya jika Elang baru saja mengatakan kalau dia rindu.

"Eh?" Respons yang bisa Filsha berikan hanya itu. Ya, siapa tahu saja jika dirinya memang hanya salah dengar atau bagaimana. Akan tetapi, saat Elang juga terlihat sedikit kaget sembari mengalihkan tatapan ke arah lain, membuat Filsha berspekulasi jika lelaki itu salah bicara.

"A-ah, maksud saya ... saya rindu. Iya, saya benar-benar rindu sama Bayu. Sudah lama sekali, saya nggak gendong dia. Jadinya, saya rindu sama Bayu." Elang terlihat gugup, tetapi membuat Filsha menyadari jika dirinya hanya terbawa suasana saja.

"Iya, Mas." Ibu muda itu menanggapi dengan tawa kecil. "Bayu juga kayaknya rindu sama Mas Elang. Padahal sudah lama nggak ketemu, tapi Bayu malah anteng. Nggak rewel begitu."

Elang mengusap pipi Bayu terkena celemotan bubur, dengan lembut. "Iya," ujarnya sambil tertawa kecil. "Kamu sama Bayu nggak ada niatan untuk kembali ke rumah saya, Sha?"

"Eh?" Kedua alis ibu muda itu, praktis terangkat saat mendengar ala yang Elang katakan. "Ma-maksudnya Mas Elang, gimana?"

"Ya, itu ...." Elang menggaruk kepala bagian belakang, tanda tak tahu harus berkata bagaimana. "Maksud saya ... siapa tahu, kamu nggak bentah di sini. Kamu bisa kembali ke rumah saya, kok."

Mendengar kalimat Elang yang terkesan lucu itu, membuat Filsha tertawa karenanya. "Saya betah di sini kok, Mas," jawab ibu muda itu. "Orang tua sama adik-adiknya Mas Elang memperlakukan saya dan Bayu dengan baik."

Entah apa yang membuat Elang tiba-tiba saja merasa sedikit kecewa. Padahal, bukankah itu adalah hal bagus, jika Filsha betah tinggal di rumah orang tuanya ini? Dengan begitu, dirinya akan terhindar dari omongan-omongan tetangga yang biasanya tak enak didengar. Akan tetapi, setelah terpisah dengan Bayu selama beberapa bulan membuat Elang merasakan makna rindu yang sebenarnya. Ah, apakah ia sudah mulai menyayangi bayi kecil itu dalam artian yang jauh lebih bermakna lagi?

"Mas Elang," panggil Filsha saat lelaki itu terdiam cukup lama.

Elang berdeham sebagai jawaban, sementara Filsha tampak menundukkan pandangan sebentar. Mungkin tengah meramu kata-kata yang harus ia katakan kepada Elang. Jari-jarinya bertaut satu sama lain, lantas dengan ragu berujar, "Mas Elang baik-baik saja 'kan, di rumah?"

Dahi Elang refleks berkerut samar, saat mendengar pertanyaan dari Filsha. Dadanya seketika terasa menghangat secara tiba-tiba, padahal tidak ada hal berarti yang Filsha lakukan. "Um ... ya, seperti biasanya," jawab Elang kemudian.

Keduanya terdiam cukup lama setelah pertanyaan dan jawaban yang terkesan aneh itu hingga Bayu mulai bersuara dengan bahasa bayi yang tidak dimengerti oleh Elang. Tangannya memukul-mukul karpet bulu, sementara bibirnya terus berceloteh, "Da ... da-da!"

"Bayu ... mandi dulu yuk, Nak." Filsha akhirnya memecah keheningan, dengan mencoba membawa Bayu ke dalam gendongannya. "Mas Elang, saya mau memandikan Bayu dulu. Jadi—"

"Saya ikut," ujar Elang refleks. Bahkan lelaki itu tak tahu, mengapa ia bisa mengatakan hal itu secara tiba-tiba. Sekarang, Elang benar-benar merasa bodoh. Akan tetapi, sudah telanjur dikatakan, jadi tidak bisa ditarik kembali.

Sementara itu, Filsha menaikkan kedua alisnya kebingungan. Bayu sudah berada dalam gendongannya, sementara salah satu tangan ia gunakan untuk memegang mangkuk bubur milik Bayu yang sudah habis isinya.

A Poor Girl and Her Little Baby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang