Semalam, akhirnya Filsha memutuskan untuk bermalam di sebuah mushala yang letaknya tak terlalu jauh dari halte bus, di mana ia sempat singgah untuk menikmati makan malamnya.
Sejatinya, Filsha juga tak bisa tertidur dengan nyenyak karena ia takut jika ia tertidur pulas, terjadi sesuatu pada anaknya. Lagipula, ia bahkan hanya diizinkan untuk tidur di teras mushala saja. Bahkan ibu muda itu mendudukkan dirinya pada undakan tangga, sembari bersandar di pilar mushala. Anaknya ia baringkan dengan beralaskan beberapa pakaian miliknya, di lantai teras mushala. Beralaskan sebuah kain yang biasa ia gunakan untuk menutupi dirinya kala memberikan ASI kepada anaknya, supaya bayinya itu tidak merasa dingin.
Filsha tak bisa benar-benar tertidur pulas karenanya. Khawatir anaknya akan terbangun karena lapar dan haus atau karena buang air. Untunglah, anaknya itu pintar karena malam hari itu, ia sama sekali tidak buang air kecil atau pun besar hingga menjelang subuh saat Filsha akan segera beranjak dari sana. Ia sempatkan diri membersihkan pakaian yang kotor karena anaknya di toilet mushala. Sebelum orang-orang datang untuk menunaikan ibadah subuh, Filsha segera beranjak dari sana. Khawatir kehadirannya akan mengganggu jamaah yang datang, membuat ia dan bayinya segera menjauh. Kembali memulai hari, dengan melangkahkan kaki menjauh dari neraka terkutuk yang semalam ia tinggalkan.
Kakinya sekarang terasa sangat lelah. Entah sampai kapan Filsha akan kuat untuk terus berjalan, membawa anaknya pergi sejauh yang ia bisa. Kalau boleh, sebenarnya Filsha ingin menyerah saja. Tetapi bagaimana dengan janjinya kepada bayinya untuk mengajak anak itu jalan-jalan? Alhasil, Filsha terus melangkah. Mengeyahkan segala lelah dan letih yang ia rasakan, demi anaknya itu.
Hari mulai terang. Matahari muncul dengan malu-malu menyinari bumi dengan cahayanya yang hangat. Filsha mencari posisi yang pas. Ia pernah dengar dulu jika bayi akan tumbuh lebih sehat, jika dijemur di pagi hari seperti ini. Alhasil, ibu muda itu melakukannya sekarang.
"Hei Sayang. Senang tidak?" tanyanya kepada sang bayi yang kali ini nampak menggerakkan tangannya untuk mengucek hidungnya yang mungkin saja terasa gatal dengan gaya khas bayi. Filsha tersenyum melihatnya. "Anak Ibu pagi-pagi dijemur ya, Sayang, biar tulangnya kuat, kan?"
Filsha mengecup seluruh permukaan wajah anaknya dengan gemas. Betapa beruntungnya ia memiliki anak seperti bayinya ini. Ia tidak rewel, paling hanya menangis ketika ia lapar atau haus. Ataupun kala ia buang air, anak itu akan menangis. Selebihnya, ia akan tetap tertidur dengan nyaman di dalam gendongan ibunya.
Puas menjemur bayinya selama beberapa menit, Filsha akhirnya beranjak dari tempatnya berdiri. Jalanan tempatnya berpijak, mulai ramai disesaki orang-orang yang akan memulai hari mereka.
Tas usang berisi pakaian miliknya, masih ia genggam di tangan kanan. Karena bahunya terasa sangat pegal akibat terus-menerus menggendong anaknya, membuat Filsha memindahkan tali gendongan, pada bahu yang lainnya. Pun dengan baju-baju basah yang menggantung pada tas jinjingnya—setelah bagian atasnya, sempat Filsha tutupi dengan kantong plastik yang ia temukan di jalan, agar pakaian lainnya tidak basah. Sepanjang-panjang perjalanan, pakaian itu akan kering dengan sendirinya.
Langkah kaki Filsha membawanya kepada sebuah tempat, yang bahkan dirinya saja tidak tahu di mana. Setahunya, ia telah berjalan sangat-sangat jauh, dan jelas saja sangat melelahkan. Tetapi ia tetap tidak tahu, berada di mana ia sekarang. Plang-plang penunjuk jalan yang sempat ia jumpai, pun tak kunjung membuatnya mengerti, di mana kakinya berpijak sekarang. Ia buta arah. Buta jalan. Bahkan sekarang, kalau disuruh kembali ke neraka terkutuk itu pun, Filsha yakin jika ia tak akan tahu lagi, di mana tempatnya.
Orang-orang yang berlalu-lalang kerap kali memperhatikan dirinya bagai orang aneh. Entahlah, Filsha tidak tahu apa kira-kira yang mereka pikirkan. Yang jelas, saat melihat dirinya dan anaknya yang melewati mereka, rata-rata orang-orang itu akan menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ada pula yang menatapnya iba, pun dengan mereka yang menatapnya dengan wajah jijik. Filsha abaikan itu semua. Selama mereka tidak memiliki niat menolong, setidaknya Filsha tak perlu turut campur.
Lagipula ... siapa sih, yang mau menolong gelandangan seperti dia? Tentu saja tidak ada. Kebanyakan dari mereka hanya bisa berspekulasi macam-macam, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Lantas, dari beberapa spekulasi-spekulasi itu, akan muncullah sebuah saat di mana segala macam tuduhan tak berdasar, tertuju padanya. Ah. Persetan dengan itu semua. Toh Filsha tak mengenal mereka. Pun juga dengan mereka yang tak mengenal dirinya. Jadi, lebih baik ia berpura-pura tidak tahu saja agar bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang.
Angin berembus menyapa wajahnya. Begitu juga dengan seluruh tubuhnya yang terasa sejuk karena diterpa angin. Filsha tersenyum kala menyadari jika bayinya bergerak-gerak sembari menggosok wajahnya dengan tangan. Bibirnya yang mengerucut karena sedikit terusik oleh angin, membuat Filsha tambah gemas saat melihatnya. Diciuminya wajah anaknya itu, bertubi-tubi hingga puas. Walau kenyataannya, seberapa banyak pun ia menciumi wajah anaknya itu, tak akan membuatnya puas.
Kala ia ingin menyerah, wajah polos anak itu seakan menampar Filsha kembali pada kenyataan. Buat apa dia menyerah, jika sejatinya Tuhan telah memberinya anugerah tak terhingga kepadanya? Terlepas dari bagaimana cara Filsha menemukan kebahagiaannya, yang jelas ... ia bahagia, bagaimanapun kehidupannya kini.
Dunia ini keras. Dunia juga terkadang teramat kejam, apalagi bagi orang-orang seperti dirinya. Sendirian, tidak punya tempat untuk berlindung, dan tidak punya tempat untuk pulang, sekadar mengusir lelah. Ke mana kaki yang membawanya kuat melangkah, maka di sanalah mereka akan berhenti barang sebentar. Mengistirahatkan tubuh, seraya mengumpulkan tenaga untuk kembali berjalan.
Filsha menengadah menatap langit yang terbentang di atasnya. Cerah. Semuanya Filsha anggap sebagai sebuah harapan, tentang kehidupannya yang tak tentu arah. Ia tidak sendirian sekarang, tentu saja. Ada anaknya yang kini menjadi tanggung jawabnya. Ia tak boleh gegabah dalam melakukan apa pun, untuk keberlangsungan hidup anaknya yang ia sayangi.
Tuhan, bolehkah Filsha berharap jika Engkau bersedia mengiriminya seorang malaikat baik hati, yang akan membawanya keluar dari kesengsaraan hidup ini?
Ah, jangan.
Filsha tak mau terlalu berharap kepada Tuhan. Memangnya siapa dirinya? Filsha bahkan lupa, kapan terakhir kali dirinya membersihkan tubuh, lalu bersuci untuk menghadap kepada sang Khalik. Tetapi keadaanlah yang memaksanya melakukan itu.
Benar kata mereka. Di dunia ini, tak ada satu pun yang menginginkan keberadaannya. Tak ada satu pun yang membutuhkannya. Dia benar-benar tidak berguna hidup di dunia ini.
Lalu, apa Filsha memilih mati saja? Lalu, bagaimana dengan anak tak berdosa dalam gendongannya?
Tidak!
Seburuk apa pun kehidupan yang ia jalani, anggap saja ini adalah anugerah yang Tuhan titipkan kepadanya. Kendati dirinya memanglah seorang manusia biasa ... tetapi Filsha yakin, jika Tuhan tidak ada pernah menguji hambanya, lebih dari apa yang ia kehendaki.
"Nak, maaf jika suatu hari nanti kamu menyesal pernah terlahir dari rahim ibu. Maaf jika hingga detik ini, Ibu belum bisa membahagiakanmu." Filsha mengusap pipi bayinya, di tengah hari terik, yang menyengat kulitnya. "Tetapi percayalah, Sayang. Ibu benar-benar menyayangimu. Ibu akan terus berusaha membahagiakanmu, walaupun dunia menolak kehadiran kita. Sayang, doakan Ibu, ya? Semoga Ibu kuat menjalani semua ini."
Orang-orang akan menganggapnya tidak waras karena berbicara sendiri. Ya, mana mungkin bayinya merespons apa yang ibunya ucapkan? Orang-orang malah berpikir jika ia kehilangan akalnya. Biarlah. Filsha tak mau ambil pusing akan perkataan orang lain, pun juga dengan bagaimana orang lain menatapnya.
Filsha yakin, ia bisa menghadapi semuanya, demi anaknya.
*****
25.04.20
05.05.20
Republish: 18 Agustus 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
A Poor Girl and Her Little Baby ✓
Romance18+ "Lagipula, tidak ada yang menginginkanmu di dunia ini. Pergilah! Atau mati sekalian, supaya kami lebih tenang." Republish: Senin, 3 Juli 2023 - 9 Juni 2024 Start: 24 April 2020 Publish: 26 April 2020 Finish: 15 Desember 2020 Last update: 17 Dese...