[23] Air Mata Pertama

58 7 6
                                    

Kedua tangannya saling meremas satu sama lain, demi menetralisir rasa gugup yang datang begitu saja, sejak semalam. Bohong kalau misalnya Filsha bilang dia baik-baik saja, sebab saat menyuapkan MPASI untuk Bayu pun, ia malah hampir menyuapkannya ke hidung sang putra. Beruntung saat itu ada Arina yang datang dan mengambil alih, dengan berkata jika ia harus lebih menenangkan diri.

Lagi pula, bagaimana ia tidak merasa gugup, jika saat ini, lelaki yang beberapa waktu lalu telah mengajaknya menjalani hubungan ke jenjang yang jauh lebih serius lagi, tengah berada di depan sana. Siap menjabat tangan penghulu untuk mempersuntingnya.

Takut, adalah satu kata yang menguasai dirinya sekarang. Ingatan masa lalu tentunya tak dapat hilang begitu saja.

Elang memanglah seorang lelaki baik. Sangat-sangat baik. Akan tetapi, yang menjadi pikiran Filsha lagi-lagi adalah apa dia pantas bersanding dengan Elang? Seorang kaya raya yang berpendidikan tinggi, masih perjaka dan memiliki segalanya. Sementara dia? Dia hanya lulusan sekolah menengah pertama. Janda, pula. Tidak memiliki siapa-siapa di dunia kecuali Bayu, putranya. Dapat diterima menjadi tamu di rumah keluarga besar Elang saja sudah lebih dari cukup. Namun, kembali lagi. Tuhan tetaplah perancang skenario terbaik.

Filsha mana pernah berkhayal akan menikah dengan seorang pangeran seperti Elang. Ia cukup sadar diri siapa ia dan apa posisinya sambil terus berdoa jika keputusan Elang dan keluarganya adalah keputusan yang terbaik. Filsha juga berharap jika dirinya tidak pernah mengecewakan keluarga Elang.

"Filsha."

Si empunya nama menoleh, kala suara seseorang yang begitu familiar di telinganya—Arina—terdengar. Perempuan yang beberapa saat lagi resmi menjadi ibu mertua Filsha itu, berjalan mendekat seraya tersenyum hangat. Figur seorang ibu yang begitu Filsha dambakan sejak dulu.

"Cantik banget menantunya Mama," ujar Arina sembari memegang kedua bahu Filsha yang duduk di kursi meja rias. "Sudah siap turun?"

Filsha meneguk salivanya susah payah. Ia memberanikan diri menatap mata calon ibu mertuanya itu, lalu berujar, "Boleh Filsha peluk Ibu?"

Tanpa menjawab, Arina langsung membawa ibu muda itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggung Filsha dengan lembut. Menyajikan perasaan hangat, haru biru layaknya seorang ibu yang hendak mengantarkan putrinya untuk menempuh kehidupan yang baru.

"Bu," panggil Filsha dengan suara pelan. Arina menyahut, dengan dehaman lembut. "Terima kasih."

"Buat apa, Sayang?" tanya Arina dengan suara lembut. Percayalah, perempuan itu tengah berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya agar tidak keluar.

"Buat semuanya," jawab Filsha. Ibu muda itu menyunggingkan senyumnya, seraya melepaskan diri dari pelukan Arina. Tidak ada air mata sedikit pun yang keluar dari pelupuk matanya. Melainkan hanyalah sebuah senyum tulus penuh ucapan terima kasih yang dapat Arina lihat. "Terima kasih karena sudah menerima Filsha dan Bayu, juga ...."

"Enggak perlu ada kata terima kasih dari anak untuk ibunya, Sha." Arina tersenyum, sembari mengusap pelan pucuk kepala Filsha yang kini tertutupi dengan hijab putih gading, senada dengan pakaian yang ia kenakan. "Kamu sudah mama anggap seperti putri mama sendiri. Jadi, kamu nggak perlu mengucapkan terima kasih, Sayang."

Filsha semakin menyunggingkan senyumnya dan terus menatap wajah Arina dalam-dalam. "Selama ini, Filsha nggak pernah berharap untuk bertemu dengan ibu kandung Filsha. Tapi, saat ketemu sama Ibu, boleh 'kan, kalau Filsha berharap ... Filsha itu anaknya Ibu?"

Hancur sudah pertahanan diri yang telah Arina buat. Air matanya mengalir dengan deras begitu saja. Terlebih saat ia menarik Filsha ke dalam pelukannya untuk yang kesekian kalinya. Menyatakan kepada ibu muda itu, bahwa ia sangat menyayanginya. "Kamu memang anak mama, Sha. Semuanya bukan dimulai hari ini, Filsha. Tapi saat hari di mana Mama bertemu sama kamu, mulai saat itu juga, Mama adalah mamamu."

A Poor Girl and Her Little Baby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang