[2] Semua Berawal Dari (Bag. 2)

97 11 1
                                    

Filsha Humaira namanya. Usianya baru saja menginjak 17 tahun, saat ia diusir dari panti asuhan yang selama ini membesarkannya dengan tuduhan mencuri. Padahal, seingat Filsha, ia bahkan tidak pernah mengambil apa pun kecuali itu adalah perintah. Tetapi mengapa dirinya dengan mudah tertuduh sebagai pencuri waktu itu hingga sekarang pun, Filsha masih tak mau ambil pusing. Toh, dia sudah besar saat itu, walaupun tidak lulus sekolah menengah atas, tetapi setidaknya Filsha sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk baginya saat itu.

Kendati ia diusir dengan cara yang tidak baik, gadis itu masih bisa tersenyum sembari berkata, "Terima kasih sudah merawat saya sampai sebesar ini. Saya akan pergi, jika memang keberadaan saya di sini, hanya bisa membuat malu, dan menyusahkan saja. Terima kasih sekali lagi."

Ia bahkan masih sempat mengabsen semua nama pengurus panti asuhan itu, untuk mengucapkan terima kasihnya. Berbekal beberapa pakaian yang memang menjadi miliknya, juga ijazah SD dan SMP miliknya, gadis itu meninggalkan panti asuhan. Pun dengan para penghuni yang menatapnya dengan tatapan benci, kecewa dan kesal menjadi satu, tetapi Filsha sama sekali tidak menitikkan air matanya.

Anggap saja ia bahagia karena sudah lepas dari bayang-bayang panti asuhan itu, selamanya.

Ia bahkan melangkahkan kakinya dengan riang meninggalkan panti asuhan itu. Membiarkan sampai mana kakinya itu kuat dibawa melangkah, dan perutnya atau kerongkongannya tidak rewel minta dipuaskan. Ia hanya membawa sebuah tas usang berisi beberapa lembar pakaian lusuh miliknya, tanpa uang sepeser pun, atau makanan, atau minuman sebagai pemuas diri. Ia benar-benar tak punya apa-apa lagi. Tetapi tentu saja hal itu tidak membuat Filsha gentar. Ia masih tetap mempertahankan senyumnya, yang selalu ia sunggingkan kala ia berpapasan dengan orang-orang. Ia tak peduli, orang itu ia kenal atau tidak. Ia hanya berusaha meraih pahala dengan cara paling mudah—tersenyum.

Filsha bertemu dengan Laras-calon majikannya saat itu-di halte bus. Wanita itu bertanya kepada Filsha, apa yang terjadi kepada gadis itu, sehingga ia pada akhirnya membawa Filsha ke rumahnya, untuk kemudian dipekerjakan sebagai pembantu.

Filsha yang saat itu tengah kelaparan hebat, tentu saja senang karena ada orang yang mau menampung dan mempekerjakan dirinya. Terlepas dari mimpinya yang terlalu tinggi-menjadi orang sukses, atau seorang koki handal-Filsha bahagia kala ia direkrut menjadi pembantu saat itu. Selain mendapat tempat tinggal, tentu saja ia mendapatkan makanan juga. Hal itu benar-benar disyukuri oleh Filsha. Ia merasa, Tuhan begitu baik kepadanya, hingga jalannya dimudahkan seperti ini.

Tetapi sepertinya, Filsha salah menduga waktu itu. Ia pikir, ia akan menjalani hari-harinya sebagai seorang pembantu dengan damai dan bahagia. Ternyata tidak semudah itu.

Tuan mudanya yang merupakan anak dari Nyonya rumah, ternyata diam-diam selalu memperhatikannya. Filsha bukannya ge'er atau bagaimana. Tetapi ia tahu, jika lelaki lajang itu, senang memperhatikannya. Jujur saja, sebagai seorang gadis 17 tahun yang sudah mulai mengerti akan apa pun, merasa risih karena selalu diperhatikan.

Awalnya, semua berjalan baik hingga setahun ia bekerja di sana. Tetapi semuanya berubah saat tuan muda rumah itu, mulai bertingkah. Padahal, ia sudah memiliki kekasih, tetapi ia tetap saja nakal menggoda Filsha.

Jelas saja gadis itu tidak senang, karena tuan mudanya—Aditya—menggodanya secara terang-terangan. Ia risih, dan mulai bosan dengan pekerjaannya di rumah itu. Ia jadi tidak tenang, karena ulah Aditya.

Suatu malam, Aditya pulang dalam keadaan mabuk berat. Filsha waktu itu yang ditugaskan untuk tetap terjaga, hingga tuan mudanya kembali. Awalnya, Filsha tidak mau. Tetapi bagaimana lagi? Memangnya dia siapa yang berani menolak titah langsung dari nyonya besar?

Malangnya, sisi iblis dalam diri Aditya keluar tanpa diduga, dan tanpa tahu tempat. Filsha sudah berusaha menolak dengan sekeras tenaga, dan segala yang ia bisa. Tetapi kenyataannya, ia kalah telak dengan kekuatan lelaki itu, yang tentu saja lebih seperti seorang paman bagi Filsha, karena perbedaan usia mereka yang sangat-sangat jauh.

Akhirnya, terjadilah malam sialan yang hingga detik ini tak akan pernah Filsha lupakan. Untuk pertama kalinya, Filsha benci melihat dirinya sendiri. Jijik melihat tubuhnya sendiri, juga membenci dirinya yang sama sekali tidak bisa melawan. Lagi. Filsha tidak menangis. Ia hanya marah, marah akan dirinya yang begitu bodoh membiarkan dirinya terjerumus ke dalam neraka sialan, yang sayangnya menjadi salah satu perjalanan memuakkan dalam hidupnya.

Dua bulan berlalu, saat itu Filsha baru menyadari jika dirinya tengah mengandung bayi dari lelaki sialan itu. Awalnya, lelaki iblis itu tidak mau mengaku, tetapi Filsha menunjukkan bukti-bukti akurat jika waktu itu, lelaki sialan bernama Aditya, telah merenggut keperawanan yang telah ia jaga selama ini.

Mau menghindar pun bagaimana? Nyonya rumah telanjur murka terhadap Filsha, yang dinilai sengaja memancing putranya yang tua bangka itu, untuk menikmati tubuhnya. Cih. Filsha bahkan tak sudi meliriknya, sekali pun orang-orang mengatakan jika Tuan-Iblis-Aditya Prakasa itu, adalah seorang yang tampan dan berkharisma. Persetan dengan semua itu. Intinya, Filsha membenci lelaki itu seumur hidupnya.

Aditya kemudian menikahinya, hanya karena desakan dari Tuan Besar-Ayahnya. Seorang anggota politik terkemuka di kota ini. Jelas saja, lelaki tua bangka itu tidak mau nama baiknya tercoreng, hanya karena putranya kedapatan menghamili seorang pembantu.

Mengenai bukti akurat yang Filsha miliki, pun juga didukung dengan kesaksian Laras sendiri, yang melihat bagaimana Filsha keluar dari kamar putranya, setelah memergoki pembantu itu, menampar wajah Aditya dengan kuat. Entah bagaimana kejadiannya, yang jelas dari sana, pernikahan keduanya pun tak terelakkan.

Selama sembilan bulan Filsha mengandung, sekali pun dirinya tak pernah mendapatkan perlakuan baik. Dirinya tetaplah seorang pembantu, yang kini disebut Jalang, oleh majikan-yang sekarang menjadi ibu mertuanya. Pun juga dengan Aditya, dan tuan besar, yang selalu memanggilnya dengan sebutan itu.

Filsha menikmati semuanya dalam diam. Toh, dirinya tidak seperti apa yang dikatakan. Bukankah Tuhan jauh lebih tahu, dan jauh lebih berkuasa di bandingkan dengan manusia yang tak tahu apa-apa?

Filsha melahirkan dengan bantuan dukun, yang dipanggil salah seorang pembantu di rumah megah ini. Itu pun, hanya karena kasihan karena tidak ada satu pun yang peduli akan rasa sakit yang Filsha alami. Hingga akhirnya, anak yang selama ini Filsha kandung, akhirnya lahir ke dunia.

Semua kebencian yang berada dalam diri Filsha terhadap keluarga ini, seketika luruh kala melihat malaikat kecil yang baru saja ia lahirkan, berada dalam pelukan. Rasanya seperti mimpi, hingga akhirnya Filsha menyadari jika apa yang sudah Tuhan berikan kepadanya saat ini, adalah anugerah. Toh, membenci keluarga ini pun tidak ada gunanya. Hanya membuang-buang waktu dan tenaganya saja. Filsha lebih fokus membesarkan anaknya, tanpa peduli bagaimana kehidupannya di masa mendatang.

Hingga akhirnya, hari itu tiba. Hari yang telah Filsha tunggu-tunggu setelah sekian lama. Persetan dengan dirinya yang lebih mirip gelandangan karena tidak membawa uang sepeser pun. Yang jelas, Filsha bahagia karena hari itu telah datang. Hari di mana ia dan anaknya—yang ia sayangi—akhirnya terbebas dari neraka sialan yang selama ini mengurungnya.

"Aku bebas," ujar Filsha penuh kemenangan. Ibu muda itu sekarang patut berbahagia. Bagaimana pun kehidupannya nanti, yang jelas ia menyadari jika Tuhan selalu bersamanya. Buktinya, kali ini Tuhan kembali berpihak padanya, bukan? Dari situ, Filsha tak pernah merasa sedih, apalagi merasa sendirian.

*****
24.04.20
27.04.20
Republish: 3 Juli 2023


A Poor Girl and Her Little Baby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang