[10] Pemberian Elang

40 8 0
                                    

"Filsha, ini ada beberapa pakaian untukmu dan Bayu." Elang menyerahkan beberapa buah plastik belanja kepada Filsha, yang langsung diterima oleh ibu muda itu, dengan wajah bingung. "Saya tidak tahu berapa ukuran baju yang sekiranya pas buatmu, makanya saya hanya membeli beberapa daster saja, apa tidak apa-apa?"

Filsha meneguk salivanya, kala melihat isi dari plastik belanja itu. Matanya membulat sempurna, kala melihatnya. "Astaga, Mas. I-ini terlalu berlebihan. Saya nggak punya uang untuk—"

"Saya membelikannya untukmu, Filsha. Bukan mengutangkannya," potong Elang dengan cepat. "Jadi, kamu tidak perlu repot-repot membayarnya."

"Tapi, Mas—"

Elang berdecak sekali. "Kamu ini kebanyakan tapi, ya," keluh lelaki itu. "Sudah, intinya kamu ambil semuanya, ya. Turuti saya, ingat kalau saya nggak suka dibantah."

Filsha mengalah. Ia tak mau membuat Elang jadi kesal kepadanya. Namun, hatinya mengatakan hal lain. Sejatinya ia khawatir, jika dirinya terkesan merepotkan Elang. Memangnya siapa dirinya, berani membuat lelaki itu repot terus?

"Mas Elang," panggil Filsha setelah sekian lama diam.

"Ya? Kamu mau menolak pemberian saya lagi?"

Kontan saja Filsha menggeleng. "B-bukan gitu, Mas. S-saya hanya ingin bertanya sesuatu sama Mas Elang. Apa boleh?"

Elang mengernyitkan dahinya tipis. "Tentu saja boleh, silakan kalau kamu mau bertanya."

Ibu muda itu menggerakkan matanya, menatap apa saja kecuali Elang. Mendadak ia merasa tak enak. "A-ah, nggak jadi saja deh, Mas." Filsha meringis pelan, karena ia merasa tak enak, untuk bertanya kepada Elang.

"Ya sudah." Elang kemudian menoleh, dan menunjuk meja yang berada di samping kirinya. "Di dalam plastik itu, juga ada perlengkapan bayi. Contohnya bedak dan minyak telon. Ada juga sabun, dan lainnya. Intinya, semua perlengkapan buat Bayu, deh."

"A-apa, Mas? Maksudnya ... saya—"

"Sudah, sana ambil, terus bawa ke kamar. Anakmu masih tidur?" Filsha mengangguk ragu. "Kalau dia sudah bangun, mandikan saja, ya? Pakai yang sudah saya kasih. Saya ingin melihat anakmu nanti."

"B-baik, Mas."

"Ya sudah, kamu juga jangan sungkan memakai apa yang saya berikan, ya? Kalau ada yang kurang, atau apa, bilang saja sama saya, ya?"

Filsha mengangguk lagi. "M-makasih, Mas. Maaf karena saya merepotkan."

"Nggak. Kamu nggak merepotkan saya, kok. Ah iya, tadi juga saya sudah belanja. Kamu bisa masak, kan? Kalau kamu lapar, kamu masak saja, ya? Semuanya ada di dalam kulkas. Buka saja, jangan sungkan. Masak apapun yang kamu mau. Kamu bebas memakai apa pun yang ada di dapur, oke?" Elang melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Saya permisi ke kamar. Kalau butuh apa-apa, panggil saja."

"Baik, Mas."

Sepeninggal Elang, mendadak hati Filsha menghangat. Sedikit merasa sesak, namun lebih di dominasi akan syukur. Ternyata, di dunia ini masih ada orang sebaik Elang, dengan hatinya yang seperti malaikat. Filsha melebarkan senyumnya, kemudian membawa beberapa plastik berisi belanjaan yang Elang berikan kepadanya, ke kamar. Putranya pasti senang.

*****

Bayu sudah selesai ia mandikan. Dipakaikan sampo dan sabun bayi, yang menguarkan aroma lembut. Membuat ibu muda itu, melebarkan senyumnya sejak pertama kali memandikan Bayu, dengan peralatan lengkap seperti ini. Biasanya, Bayu hanya akan ia mandikan dengan air, tanpa sabun atau sampo. Pun dengan dirinya yang hanya membersihkan diri dengan air. Tetapi berkat Elang, Bayu bisa merasakan bagaimana menjadi seorang bayi, layaknya bayi pada umumnya.

Awalnya, setelah memandikan Bayu, Filsha sempat bingung perihal memakaikan bedak, atau minyak telon lebih dahulu. Tetapi setelah ia pikir-pikir lagi, akhirnya ia memilih membalurkan dulu minyak telon ke perut, leher dan kedua kaki anaknya. Kemudian barulah ia memberikan bedak bayi, membuat Bayu terlihat begitu menggemaskan. Hatinya mendadak terasa begitu hangat, kala menghirup aroma khas bayi yang begitu lembut. Selama ini, Bayu tak pernah sesegar ini aromanya. Filsha benar-benar bersyukur karena dipertemukan dengan seorang Elang, yang sangat-sangat baik hati.

Filsha benar-benar berharap, jika suatu hari nanti, Elang dipertemukan dengan seorang wanita baik, yang akan mendampingi lelaki itu seumur hidupnya. Eh, tetapi Filsha melupakan satu fakta penting itu.

"Apa Mas Elang belum punya istri, ya? Bagaimana kalau sudah?" tanya Filsha entah kepada siapa, dengan suara sangat pelan. Ia kini tengah menyusui Bayu sambil menidurkan anak itu. Ia baru memikirkan hal itu, sekarang. Bagaimana jika Elang sudah punya istri? Bisa-bisa dia dianggap sebagai pengganggu rumah tangga orang. Astaga, tidak. Dia tidak seperti itu. "Keluarganya Mas Elang, bagaimana? Ya Allah, aku takut. Bagaimana kalau aku ... ya ampun, Nak. Ibu harus bagaimana? Apa kita pergi saja dari sini, Sayang?"

Filsha jelas tidak mau merepotkan Elang lebih jauh lagi. Namun, sepertinya Elang terus saja bersikeras ingin membantunya. Padahal, Filsha tak apa-apa jika dirinya harus pergi lagi dari rumah ini. Toh ia merasa tak pantas tinggal di tempat sebagus ini. Ia juga yakin, Tuhan pasti memiliki rencana yang lebih baik untuk kehidupannya. Apa iya, ya, dia pergi saja? Tetapi dia belum membalas kebaikan Elang kepadanya dan Bayu. Lantas, ia harus bagaimana?

Setelah Bayu tertidur, Filsha memilih meletakkan bayinya itu ke atas tempat tidur. Ia mengingat kata-kata Elang tadi, saat perutnya terasa lapar. Bukannya ingin berlaku sok, mentang-mentang sudah disuruh memasak saat lapar begitu, tetapi Filsha memikirkan hal lain. Elang pasti juga merasa lapar, walaupun lelaki itu bisa saja memesan makanan di luar. Tetapi tidak salah bukan, kalau misalnya Filsha berniat memasakkannya?

Setelah memastikan Bayu aman di atas tempat tidurnya, Filsha kemudian segera membersihkan dirinya dengan cepat. Tidak mau berlama-lama, kemudian meraih sepasang pakaian miliknya. Ia masih merasa tidak enak memakai pakaian yang dibelikan oleh Elang. Biarlah Bayu saja yang mengenakan pakaian barunya. Dia tidak perlu, karena merasa tidak enak.

Selesai dengan urusan mandi, Filsha segera beranjak ke dapur. Melihat dapur itu seolah-olah mati, karena Elang bilang, tak pernah dipakai kecuali untuk membuat kopi. Dengan ragu, Filsha melangkah ke ruangan besar itu. Bagus. Semua terlihat sangat rapi, dan lengkap isinya. Semuanya ada di sana, walaupun tidak pernah digunakan.

Perlahan, Filsha membuka lemari pendingin walaupun ia merasa takut. Ia ingin membuat makanan untuk Elang, walaupun ia tidak terlalu pintar memasak. Filsha kontan meneguk salivanya, kala melihat isi kulkas yang Elang bilang, baru saja di isi. Ada telur yang tersusun rapi di raknya, berbagai sayuran seperti wortel, kentang, brokoli dan lainnya yang Filsha tidak terlalu tahu apa namanya. Sisanya, Filsha tak begitu ingin tahu. Kala melihat kentang dan telur, ibu muda itu mendadak terpikir membuatkan perkedel kentang untuk Elang.

Ibu muda itu mulai menjelajahi isi dapur. Barangkali ada terigu, atau tepung-tepungan lain, yang bisa ia gunakan. Setelah semua bahan siap, Filsha memilih memasak nasi terlebih dahulu, saat ia melihat rice cooker di atas meja. Di rumah Laras dulu, Filsha sering melakukan hal seperti ini, jadinya ia tidak kebingungan melakukan semuanya.

Selesai dengan urusan nasi, Filsha mulai merebus kentang—tentu saja setelah menekan tombol cook, agar nasinya matang—sembari menyiapkan bumbu.

Di dapur rumah Elang, Filsha dibuat takjub kala melihat empat buah kompor. Membuat ibu muda itu lebih leluasa memasak apa pun yang ia mau—tanpa harus menunggu satu dari yang lainnya matang.

Semoga saja, Elang tidak memarahinya karena sudah menggunakan semua yang berada di dapur, sesuka hatinya seperti ini.

*****
Republish:
29 Desember 2023
BAB 6-10

A Poor Girl and Her Little Baby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang