[7] Siapa Namanya?

46 8 0
                                    

"Ini kamarmu. Kamu tak perlu sungkan jika butuh sesuatu, silakan panggil saya. Kamar saya, ada di atas. Anggaplah jika rumah ini, adalah rumahmu sendiri."

Lelaki itu tersenyum tulus, membuat hati Filsha menghangat. Jemari lelaki itu tampak mengusap lembut pipi bayinya, yang tertidur dengan nyenyak. "Beristirahatlah, kamu pasti sangat lelah, bukan?" Ia kemudian mengulurkan sebuah kantong plastik berisi diapers yang tadi ia beli, di sebuah mini market 24 jam. "Ini ada popok buat bayimu. Kamar mandi, ada di dalam, kamu bisa membersihkan tubuhmu sebelum beristirahat."

Filsha meneguk salivanya susah payah. "Terima kasih sebelumnya, Tuan," ujarnya gugup. "Tetapi apakah ini tidak berlebihan, Tuan? Sa-saya dan bayi saya hanya akan menginap hingga esok pagi, untuk kembali melanjutkan perjalanan. Jadi, saya rasa—"

Lelaki itu mengangkat tangannya, agar Filsha berhenti berbicara. "Saya tidak mau dengar," ujarnya tegas. "Saya ingin, kamu dan bayimu tetap tinggal di sini. Atau kalau kamu menolak, saya akan memarahimu."

Ibu muda itu tersenyum simpul, kala mendengar perkataan lelaki di hadapannya itu. Memarahinya? Lucu sekali. Filsha bukan lagi anak kecil yang harus dimarahi karena nakal. Namun, ah sudahlah. Filsha merasa sangat tak enak sekarang. Apalagi, melihat rumah besar lelaki itu, membuatnya menjadi takut. Takut menyusahkan, dan dianggap terlalu serakah memperoleh kebahagiaan.

"T-tuan, saya benar-benar merasa tak enak, Tuan. Saya ... bolehkah jika saya melakukan sesuatu sebagai balasan karena saya diperbolehkan tinggal di sini?"

Lelaki itu menatap Filsha tak habis pikir. Terbuat dari apa sebenarnya hati ibu muda itu? Mengapa ia terlalu baik, hingga selalu merasa tak enak dengan apa yang ia dapatkan? Ia menghela napasnya panjang. "Sudahlah. Lebih baik, kamu istirahat dulu. Ini sudah larut ... um, hampir pagi. Kita lanjut bicara besok saja, bagaimana?"

*****

Filsha benar-benar dibuat takjub dengan interior kamar yang sekarang ia tempati. Sungguh, dia tidak bohong. Filsha merasa bagaikan sedang bermimpi sekarang.

"Ya ampun, Nak. Kita lagi nggak mimpi, kan, ini?" tanya Filsha kepada bayinya yang masih tertidur pulas.

Matanya menatap seisi kamar, dengan tatapan tak percaya. Bagus, sekali, dengan dominasi warna putih gading, yang terkesan mewah.

Tetapi semua tatapan takjub yang Filsha lakukan sekarang, segera berhenti kala melihat jam dinding yang berada di atas pintu masuk, menunjukkan pukul 2 pagi.

Mendadak, Filsha menertawai dirinya sendiri. "Astaga, Ibu sampai lupa kalau ini sudah pagi, Sayang." Ia segera menurunkan gendongan putranya. Meletakkan anaknya ke atas kasur yang kalau Filsha tidak salah ingat, namanya adalah spring bed, eh, atau apa, ya? Filsha lupa. Intinya sebuah tempat tidur yang tinggi dan tentu saja empuk. "Kasurnya empuk banget ya, Nak? Anak Ibu pasti makin nyenyak ini, boboknya."

Filsha kemudian melirik plastik yang kata lelaki baik hati pemilik rumah tadi, isinya adalah popok. Segera ia meraih plastik itu, dan mengeluarkan isinya. Walaupun sempat kebingungan dengan cara pakai popok bayi itu, untungnya Filsha masih menggunakan otaknya. Ia membaca cara pakai popok yang tertera di kemasan. Selesai dengan urusan popok, Filsha memilih menggantikan pakaian yang bayinya kenakan. Kasihan, sepertinya bayinya itu sudah tidak nyaman memakai pakaian yang sama sejak siang hari.

Ia membuka tas jinjingnya, mengambil pakaian miliknya yang masih bersih, belum pernah dipakai. Ada dua potong baju di sana. Satu ia gunakan untuk menggantikan pakaian anaknya—walaupun akan sangat-sangat kebesaran—dan satu lagi, ia gunakan sebagai pakaian ganti untuknya. Sehelai rok selutut lusuh pun, turut ia keluarkan dari dalam sana.

"Anak Ibu ganti baju dulu ya, Sayang. Biar boboknya makin enak." Ia mengenakan pakaiannya, pada si bayi. Kaos lengan pendek yang ia pakaikan kepada bayinya itu, sukses menutupi seluruh tubuh bayinya yang telah nyaman dengan popok baru. Ia sempatkan mengecup seluruh permukaan wajah bayinya dengan sayang. "Sekarang, pakai baju Ibu dulu, ya. Nanti, kalau Ibu punya uang, kita beli baju baru untuk kamu ya, Sayang."

Selesai mengurus bayinya, Filsha kemudian memindahkan posisi bayinya itu agak ke tengah, lalu ia halangi dengan bantal dan guling—yang ada di atas tempat tidur—agar bayinya itu aman, dan tidak terjatuh. Ia kemudian meraih pakaian dan roknya yang tersisa, lalu segera masuk ke dalam kamar mandi, yang berada di dalam kamar itu. Lagi, Filsha dibuat takjub.

Sementara itu, tanpa Filsha sadari, si pemilik rumah terlihat berdiri di depan pintu kamar di mana Filsha berada. Di tangannya, terdapat sebuah handuk baru, yang niatnya akan ia berikan kepada Filsha, sebelum wanita itu mandi. Namun, gerakannya yang ingin mengetuk pintu kamar, seketika terhenti kala mendengar suara Filsha yang tengah berbicara dengan bayinya.

Hatinya mendadak terasa diremas, kala membayangkan bagaimana sulitnya kehidupan ibu muda dan bayinya itu, sebelum ia datang membantu. Lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya, memilih kembali ke kamarnya.

Tuhan, katakan jika aku tidak salah membantu orang lain. Batinnya.

*****

"Seperti yang kamu lihat. Saya tinggal sendirian di sini," ujar lelaki itu kepada Filsha, yang kini duduk di hadapannya, sembari menggendong bayinya yang terlihat aneh, karena memakai pakaian kebesaran. "Um, tetapi tidak, deh. Sekarang 'kan, sudah ada kamu dan bayimu. Jadinya, sekarang saya tidak sendiri."

Filsha tersenyum tipis mendengarnya. Ia baru tahu, ternyata lelaki baik hati di hadapannya ini, adalah orang yang terlihat humoris dan menyenangkan.

"Kamu tenang saja, kamu tidak perlu melakukan apa pun dengan alasan tidak enak kepada saya. Kamu fokus saja mengurus bayimu."

"T-tapi Tuan, saya—"

Lelaki itu mengangkat tangannya ke udara. "Jangan panggil saya Tuan," pintanya. "Saya bukan majikan kamu. Anggap saja, saya saudara jauhmu, jadi ... jangan sungkan."

"Saya tidak enak, Tuan. Anda terlalu baik kepada saya. Saya ... saya takut tidak bisa—"

"Astaga, harus saya bilang berapa kali padamu? Jangan sungkan kepada saya. Santai saja."

"Tapi ...."

"Tidak ada tapi-tapian." Lelaki itu berkata mutlak. Ia tidak ingin dibantah. "Ah iya, saya sampai lupa." Ia menatap Filsha dengan tatapan serius, membuat ibu muda itu gugup setengah mati.

"Dari semalam, saya belum tahu namamu. Mari kita berkenalan," ujar lelaki itu. Ia mengulurkan tangan kanannya, yang langsung dijabat oleh Filsha ragu-ragu. "Saya Elang. Usia saya baru 25 tahun. Jadi ... saya rasa, kamu tidak perlu memanggil saya dengan sebutan Tuan lagi. Kamu bisa memanggil saya dengan sebutan apa saja, kecuali Tuan. Mengerti?"

Filsha mengangguk ragu. "Ba-baik, Tuan. Akan saya usahakan."

"Tuan lagi. Saya bilang kan, jangan panggil Tuan. Gimana sih, kamu?"

"Ah iya maaf, Tu—maksud saya ... ah saya tidak tahu harus memanggil Tuan dengan sebutan apa," ujar Filsha malu.

Lelaki itu—Elang, menghela napas panjang. "Saya sudah memperkenalkan diri saya. Sekarang giliran kamu."

Jabatan tangan keduanya, sudah lepas sejak beberapa detik yang lalu. Filsha kali ini meneguk salivanya beberapa kali, kemudian menyunggingkan senyum tipis. "Sa-saya Filsha, Tuan. Nama saya Filsha."

"Filsha ...." Elang membeo. "Namamu bagus," ujarnya tulus. "Berapa usiamu?"

"Saya ... 19 tahun, Tuan."

Tergambar raut terkejut di wajah Elang. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Sejak awal bertemu ibu muda itu—Filsha—Elang sudah bisa menebak jika usianya pasti berada dibawahnya. "Muda sekali," ujarnya kemudian. Elang menatap bayi yang tertidur nyenyak dalam pangkuan Filsha, dengan senyum tipis di bibirnya. "Lalu ... siapa nama bayimu? Dari semalam, saya gemas sekali melihatnya. Perempuan atau laki-laki?"

Filsha diam menunduk.

Tidak ada nama yang pantas, untuk anak haram seperti dia!

Kata-kata menusuk dari Laras masih terngiang di telinganya. Cukup lama diam, akhirnya Filsha mengangkat kepalanya, sembari menyunggingkan senyum tipis. "Laki-laki, Tuan," jawab Filsha, membeberkan jenis kelamin bayinya. "Untuk namanya ... dia belum memilikinya."

*****

A Poor Girl and Her Little Baby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang