[13] Ikuti Jalan Mainnya

35 7 0
                                    

"Abang, ya Allah. Kenapa kamu nggak bilang dari awal hah? Kenapa kamu sembunyikan semuanya sama mama, Bang? Abang juga udah nggak pernah telepon mama lagi. Abang nggak pernah pulang ke rumah lagi. Maunya Abang apa sih?! Pusing mama jadinya!"

Arina menarik napas dalam-dalam setelah mengomeli putranya itu panjang lebar. Ia meluapkan apa yang ada di dalam hatinya dan sejak lama ingin diutarakan. Namun, agaknya sang putra terlalu bandel untuk memikirkannya.

Sementara itu, Elang menggaruk dahinya yang secara mendadak terasa gatal. Ia bahkan meringis sejak tadi karena kalimat yang ibunya lontarkan terdengar teramat panjang dan membuat kepalanya menjadi sakit seketika.

"Abang dengerin mama ngomong nggak, sih?" Arina menatap putranya itu dengan tatapan tajam, sementara Elang sendiri sibuk menunduk. "Lihat mama! Jangan nunduk kayak generasi +62 begitu!"

Salah mulu, gumam Elang dalam hatinya. "Abang dengar kok, Ma," jawabnya kemudian. Ia sempat melirik ke arah sang ayah yang malah asyik dengan ponselnya membuat Elang menghela napas pendek.

"Kalau dengar, coba jelaskan sekali lagi. Awas aja kalo sampai kamu bohongin mama!" desak Arina, masih dengan tatapan tajamnya.

Elang mendengkus pelan, "Ya Allah Ma. Mama masa nggak percaya sama abang, sih? Abang udah jelasin semuanya dengan jujur. Tanpa dikurangi atau pun ditambahkan. Mama masih nggak percaya juga?"

"Papa! Ponselnya mama sita, ya, kalau mainan terus!" Arina menegur suaminya yang malah asyik memainkan games di gawainya itu. Padahal sudah tua, tetapi tingkahnya masih saja seperti anak muda. Terkadang, Arina pusing memiliki suami seperti suaminya itu.

Memilih menurut, Ariandi---ayahnya Elang---kemudian menurunkan ponselnya. Ia menghela napas panjang, lantas menatap istrinya juga putranya bergantian. "Sudahlah, Ma. Toh Elang sudah menjelaskannya tadi. Memangnya Mama perlu penjelasan apa lagi?"

"Papa ini gimana, sih?" Arina cemberut. "Gimana kalau anakmu itu bohong? Bisa saja kan, selama ini dia nggak mau pulang ke rumah karena kenyataannya dia sudah menikah dan memiliki anak?"

"Astagfirullah, Ma. Abang nggak begitu, ya Allah. Sumpah deh, Ma." Elang berusaha membela dirinya sendiri, tetapi sang ibu keburu mengangkat tangannya meminta agar ia diam.

"Ya sudah kalau begitu. Ayo cepat, jelaskan semuanya. Mumpung perempuan itu ... siapa namanya tadi?"

"Filsha, Ma," jawab Elang yang langsung dihadiahi tatapan penuh selidik dari sang mama. Jelas saja hal itu membuat Elang beristigfar dalam hati.

"Nah itu dia. Mumpung Filsha sudah mama suruh ke dalam, kamu cepat jelaskan sama mama! Mama menuntut jawaban kamu lho, Bang."

Elang menghela napas panjang, kemudian meneguk salivanya untuk mengurangi gugup. "Seperti yang Abang ceritakan tadi, Ma." Lelaki itu memulai kalimatnya. "Abang nggak sengaja bertemu sama Filsha dan bayinya di tengah malam. Waktu itu, ada beberapa preman yang berniat jahat sama Filsha."

Elang sempat menunggu reaksi ayah dan ibunya, tetapi tidak ia dapatkan. Membuat lelaki itu kembali melanjutkan kalimatnya. "Saat itu jalanan udah sepi dan nggak ada seorang pun yang bisa membantunya. Jadi, nggak ada salahnya abang bantuin 'kan, Pa?"

Ariandi mengangguk-angguk membenarkan. "Betul itu, betul. Justru kalau Abang malah pergi begitu saja dan bersikap pura-pura nggak tahu, Abang malah kelihatan nggak gentle. Papa setuju sama Abang." Kedua lelaki itu langsung melakukan tos ala-ala, membuat Arina mendengkus kesal.

"Malah sekongkol ya, kalian berdua," ucapnya dengan tatapan penuh curiga. "Lanjutkan ceritanya, Bang!"

"Ya ... gitu, Ma."

"Gitu bagaimana?! Suka ambigu deh, kesal mama jadinya!"

Elang tertawa kecil, menunjukkan lesung pipinya yang dalam itu. "Sabar dong, Ma. Mama nih, nggak sabaran banget perasaan dari tadi?"

Arina berdesis, "Mana bisa mama sabar kalau punya anak semodel Abang begini, eh? Buruan deh, Bang, lanjutkan ceritanya!"

"Setelah itu ya, abang menolong Filsha dan anaknya. Menawarkan tumpangan buat dia dan berniat mengantarnya pulang," ujar Elang kemudian.

"Wah-wah, modus juga ya kamu, Bang?" Arina tertawa kecil. "Terus, ceritanya sampai dia tinggal di sini, gimana? Yakin ceritamu tadi seratus persen benar? Nggak ada yang ditutup-tutupi dari mama 'kan, Bang?"

Elang menggeleng mantap, "Nggak ada Ma." Lelaki itu menautkan kedua tangannya, kemudian menatap kedua orang tuanya bergantian. "Waktu itu, Filsha menunjukkan satu rumah yang dia bilang itu rumahnya. Awalnya, abang nggak percaya begitu saja karena rasanya nggak mungkin. Entah kenapa, firasat abang malah berkata hal lain."

"Tadi Abang nggak ceritain bagian ini, deh, perasaan?" Arina mengetukkan telunjukkan di dagu. Memasang pose berpikir.

Lagi, untuk yang kesekian kalinya Elang menghela napas pendek. "Tadi abang nggak enak ceritanya pas ada Filsha," jawabnya. "Sekarang, mumpung Mama dan Papa ada di sini, abang bakal jelaskan semuanya dengan sejelas-jelasnya."

"Ya sudah, lanjutkan lagi, Bang. Cerita kok dipotong-potong begitu? Memangnya kue ulang tahun, apa?" Ariandi tampaknya berniat membuat jokes, tetapi kenyataannya tidak ada yang tertawa akan itu. Poor Papa Ariandi.

Elang sempat terdiam sebentar, kemudian melanjutkan kata-katanya. "Waktu itu, abang turuti apa yang dia bilang. Kita berhenti di rumah yang katanya rumah dia itu. Awalnya, abang mau lihat sampai dia masuk, tapi dianya kukuh suruh abang pulang. Jadi, ya ... abang tinggal."

Arina dan Ariandi kompak geleng-geleng dibuatnya. "Abang ini gimana, sih?" protes Arina kemudian. "Kok malah di---"

"Abang belum selesai ngomong, Ma." Elang memang harus sabar meladeni orang tuanya itu. Keduanya kemudian memberikan waktu yang lebih panjang lagi untuk Elang menjelaskan semuanya. Setelah itu, barulah Elang menceritakan apa yang sebenarnya terjadi waktu itu, tanpa ada yang ditambah maupun dikurangi. Hal itu justru membuat Arina dan Ariandi terdiam. Tak tahu harus merespons bagaimana.

"Dia sudah cerita sama Abang semuanya?" tanya Arina sambil memperhatikan sang putra, tepat di matanya.

"Iya, Ma. Ya, walaupun ada beberapa hal yang nggak dia ceritakan, tapi yang jelas ... ada luka yang dia sembunyikan, Ma."

Arina menghela napas panjang, "Kenapa nggak Abang bawa ke rumah aja, sih?"

"Loh, ini kan udah di rumah, Ma," balas Elang bingung. Hal itu malah membuat Arina ingin memukul putranya saja.

"Maksudnya, dibawa ke rumah mama. Kamu ini masih bujangan yang nggak laku-laku lho, Bang! Nanti bisa timbul fitnah kalau ada perempuan di rumahmu," tutur Arina panjang lebar.

Elang mendelik mendengar apa yang sang mama katakan. "Kata 'Bujangan yang nggak laku-laku'-nya jangan diperjelas dong, Ma."

Ariandi tertawa melihat respons sang putra, pun juga dengan Arina yang ikut tertawa melihatnya. "Kan emang kenyatannya begitu." Arina menepuk-nepuk bahu putranya dengan lembut, kemudian melanjutkan, "Abang 'kan aneh anaknya. Siapa juga yang mau?"

Elang mengembuskan napas kesal. Ibunya itu, memang senang sekali mengejek dia. Apa pun keadaannya, sang ibu pasti akan menyelipkan candaan untuk membuat suasana hati Elang semakin kesal. Baiklah, tidak apa-apa. Lagi pula, Elang sudah lama tidak mendengar candaan garing dari ibunya itu.

"Yasudah, sekarang pokoknya keputusan ada di tangan mama, dan Abang nggak boleh ikut campur, ya?!"

Elang mengernyit bingung dengan apa yang dikatakan oleh sang mama. "Maksudnya gimana sih, Ma?"

Arina menyunggingkan senyum penuh arti. "Kamu ikuti aja jalan mainnya mama," ujar perempuan itu kemudian.

*****
03.08.20
14.08.20
Republish: 31 Desember 2023

A Poor Girl and Her Little Baby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang