FIKA menguap. Tadi malam dengan ditemani Garda, Fika menghabiskan separuh waktu tidurnya untuk belajar. Jam istirahat sekolahnya pun ia gunakan untuk belajar mandiri.
Tangannya kembali mencatat, matanya remang-remang merasa ngantuk. Fika nyaris tertidur jika saja suara Dinar tidak berhasil menggubris kesadarannya. Matanya melirik ke meja guru yang mengajar, memastikan guru tersebut tidak memergokinya yang nyaris tertidur.
Selama berlangsungnya penjelasan materi, Fika semakin tak kuasa menahan kantuknya. Beberapa kali Fika merubah posisi duduknya, namun tetap saja rasa kantuknya secara bertubi menyerang.
Fika menepuk-nepuk pipinya, berusaha mengembalikan kesadarannya secara penuh. Sempat berhasil, namun tidak berlangsung lama ia kembali mengantuk. Fika bergerak-gerak gelisah hingga menarik atensi guru yang mengajar.
"Fika? Kenapa kamu nggak bisa diem? Ada yang bikin kamu nggak nyaman?"
Mendengar namanya disebut sontak membuat kantuknya seketika menghilang. Fika merasa canggung sendiri begitu seluruh atensi teman-temannya tertuju padanya.
Fika menggeleng pelan, senyum canggungnya tersemat. "Nggak kok, Pak. Saya gak papa."
"Saya kira kamu kenapa. Buat kalian semua, kalo masih ada yang belum paham sama materinya, jangan sungkan buat nanya."
"Iya, Pak."
Fika menghembuskan napasnya, kedua pipinya mengembung bersamaan. Untung saja Pak Brama tidak memergokinya mengantuk, jika itu terjadi, tentu saja akan membuatnya malu dan merasa harga dirinya jatuh di depan Zara.
Diliriknya Zara yang ternyata masih memperhatikannya. Begitu netra mereka beradu, Zara langsung memberi Fika senyum tipis. Entah ada maksud apa yang tersemat di balik senyum tipis Zara, karena sebelum Fika membalas, Zara sudah lebih dulu berpaling.
Fika berusaha acuh, kemudian kembali fokus pada bukunya.
📚🥀📚
Fika sudah terbiasa pulang dengan berjalan kaki. Jarak tempuh dari rumah ke sekolahnya hanya menghabiskan waktu sekitar 10 menit dengan berjalan kaki. David juga belum memberinya fasilitas kendaraan seperti motor, David tidak akan memberinya motor sebelum usianya cukup untuk membawa kendaraan.
Fika melambaikan tangan seiring perginya Arthur dari pandangan, setelah itu kakinya turut serta melangkah keluar dari area sekolah.
Sesekali Fika tersenyum ketika beberapa siswa yang dirinya kenal memberi klakson. Hidupnya tidak jauh dari kehidupan seorang siswa dari SMA favorit biasa, tidak ada alur hidup spesial seperti kebanyakan novel yang ia baca.
Sebelum benar-benar pulang, Fika biasanya menghabiskan sisa waktunya untuk duduk di halte seraya membaca buku sejarah favoritnya. Berbekal susu kotak favorit, Fika selalu dibuat anteng dengan suasana tenang halte.
Sempat menangkap suara decit rem sepeda yang ditarik tidak membuat Fika tertarik untuk mengalihkan atensinya dari buku. Sampai suara seseorang menyapa halus pendengaran, barulah Fika mengalihkan tatapannya.
Fika menghela pelan, mendadak mood membacanya menghilang begitu mendapati Zara berdiri tepat di depannya.
"Untungnya gue liat lo ada di sini. Tadi lo sempet di cariin Bu Destri ke kelas, tapi gue jawab lo udah pulang duluan. Akhirnya beliau nitipin formulir ini."
Fika menurunkan bukunya, tangannya bergerak menerima selembar kertas formulir dari Zara.
"Pekan depan bakal ada seleksi pencarian perwakilan sekolah buat ikut olimpiade ke Purwakarta. Mata pelajarannya bisa kita pilih sesuai minat. Nah, Bu Destri pengen banget lo ikut Olimpiade Matematika, tadi Bu Destri bilang kaya gitu ke gue."
Seraya mendengar penjelasan Zara, Fika sibuk membaca isi formulir tersebut.
"Gue juga ikut daftar, gue juga ikut ke peminatan Olimpiade Matematika juga. Lo harus ikut, nanti kita ketemu di ruang seleksi," lanjut Zara.
Fika membuka tasnya, lantas memasukan formulir tersebut ke dalam tas. "Gue pikir-pikir dulu, kalo gue tertarik nanti gue isi. Kapan formulirnya dikumpulin?"
"Katanya lusa. Terus daftar ulangnya 2 hari mau seleksi. Nanti, paling kita juga dapet pengarahan kaya tahun kemarin," balas Zara seraya mengambil posisi duduk di samping Fika. Hanya ada satu bangku yang menjadi pemisah di antara mereka.
"Ya udah kalo gitu."
Zara mengangguk, kemudian ikut mengeluarkan buku. "Kalo di waktu senggang, biasanya gue baca buku pelajaran yang tadi dipelajari di sekolah biar pemahaman gue makin bertambah."
Keningnya mengernyit, Fika melirik Zara dari sudut matanya.
"Gue juga masih belom nyangka ranking paralel gue naik, ada rasa bahagia tersendiri karna gue udah berhasil nyalip nilai lo. Selama ini gue berusaha keras buat itu." Zara tersenyum puas, binar bahagia benar-benar kontras menghiasi wajah.
Berbeda dengan Fika yang justru merasa tersinggung. Raut wajahnya kentara menunjukan rasa tidak nyaman. Fika merasa badannya menguap panas, rasa kesal mulai menyergap memeluk diri.
"Menurut lo, semester sekarang gue bisa ngerebut predikat juara kelas gak?" Zara menyeletuk tanpa beban, rasa percaya dirinya sedang menguar kuat.
Fika berdehem, menutup bukunya. "Bisa aja," balasnya seraya menoleh pada Zara. "Tapi gue gak akan biarin lo ngerebut predikat juara kelas yang selama ini udah gue pertahanin dari kelas 10. Jadi mending lo kubur aja keinginan lo itu dalem-dalem."
Fika memberi senyum penuh arti.
"Soal ranking paralel, mungkin lo lagi hoki bisa ngalahin gue di semester sekarang. Tapi buat semester depan, jangan harap lo ngerasain lagi kesempatan buat ngerasain ada di posisi pertama," balasnya sengit.
Senyum Zara luntur, balasan Fika begitu menohoknya sampai ia merasa tersinggung luar biasa. Ditatapnya Fika yang mulai mengemasi bukunya ke dalam tas, di lain sisi, tangannya terkepal kuat karena menahan emosi yang mulai bergejolak.
Fika berdiri, tatapan Zara ikut turut mengikutinya. "Gue gak mempermasalahkan sama sekali kalo lo punya ambisi berusaha buat bisa nyalip prestasi gue di kelas maupun di umum, itu hak lo punya ambisi kaya gitu. Tapi jangan harap semua mimpi lo ke capai selama gue masih ada di sekitaran lo, Zara."
"Gue duluan, bye."
Langkahnya terajut meninggalkan halte, wajahnya berubah datar dengan sorot mata menghunus dingin. Fika menghela, ia baru saja diusik oleh kehadiran orang yang selama ini sudah ia ketahui sangat terobsesi menjadi seperti dirinya. Fika tidak peduli setelah ini jika Zara akan semakin memusuhinya atau mungkin semakin berambisi mengalahkannya. Fika hanya akan fokus mengembangkan value diri dan fokus mempertahankan prestasinya.
Bukan tanpa sebab, ia melakukan semua ini demi terpenuhinya ekspektasi David padanya. Fika enggan menerima caci-maki David hanya karena tidak becus menjadi pemuas nafsu David yang menginginkan segala kesempurnaan pada nilai di kertas.
To be continued....
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKA DAN EKSPEKTASI [BELUM END-TAHAP REVISI]
Teen FictionAwalnya, Fika kira hidupnya hanya akan dihabiskan untuk memenuhi seluruh ekspektasi ayahnya yang menginginkan Fika untuk meraih angka-angka favoritnya. Namun, pasca masuknya nomor asing yang tidak Fika ketahui, hidupnya perlahan-lahan mulai berubah...