MATANYA terpejam, Fika dengan tidak sadar terlelap. Niat diri ingin meredakan kepalanya yang pusing, ia malah kebablasan sampai tidak tersisa seorang pun manusia di kelas selainnya.
Lenguh pelan lolos, Fika mengerjapkan matanya beberapa kali ketika suara dering telepon berhasil mengusik tidurnya. Matanya memicing, setelah sadar dengan siapa ia akan menyambung panggilan, hela napas panjangnya mengudara.
"Halo?"
📚🥀📚
"Terus respon papa kaya gimana?"
Fika dengan lugas bertanya. Sejak awal, saat Hyla menyinggung perihal ia yang masih belum berbicara perihal Fika yang memilih untuk ikut seleksi Fisika, Fika nampak nyaris habis kesabaran. Bahkan, Fika sedang tidak memandang Hyla sebagai Guru lesnya.
"Fika kira Teh Hyla bakal ngomong dari awal, taunya nggak. Fika juga udah nebak kalo papa bakal marah meskipun papa gak nunjukin ke Teh Hyla," katanya lagi terselip emosi di dalamnya.
Fika menghela kasar, melepas kesal yang bersarang di dada. Ia tidak boleh sampai kelepasan, bagaimana pun juga Hyla adalah sosok yang sudah berjasa di balik setiap pujian gurunya di sekolah.
Mengalihkan kesalnya, Fika mulai mengerjakan soal yang diberikan yang sempat tertunda. Hyla sendiri merasa tidak enak hati karena telah membuat Fika marah kepadanya.
"Teh Hyla minta maaf, Fika." Hyla berucap penuh penyesalan.
Matanya dengan fokus melihat tangannya yang cepat menulis rumus jawaban. Di balik keseriusannya, terselip angan yang berandai-andai. Setiap kali Fika diterpa masalah, semua masalah yang telah berlalu selalu terseret kembali dan membuatnya semakin terpuruk. Membenci David? Tentu. Fika tidak akan berbohong jika seseorang bertanya serius tentang bagaimana perasaannya pada David.
Tanpa melontar sepatah kata apa pun, Fika menyerahkan hasil jawabannya pada Hyla. Setiap kali Fika marah, ia tidak mau menatap lawan yang telah membuatnya marah. Pikirnya menggebu, andai tidak merasa sungkan, ia pasti sudah meledak-ledak.
Hyla pamit setelah jam mengajarnya selesai. Fika masih diam di tempatnya dengan pikiran yang masih berkecamuk. Secara sadar Fika merangkai kejadian demi kejadian yang belum sama sekali terjadi dan tentunya hal ini membuatnya takut sendirian.
Setiap kali Fika merasa cemas, pikirannya ikut nimbrung mempengaruhi.
"Assalamualaikum."
Baru saja menoleh, perasaannya kian jadi tak karuan melihat Garda datang tidak sendirian. Tangannya yang bergetar Fika tahan dengan mengepal, matanya dengan cepat naik membalas tatap yang tak biasa dari lawan tatapnya.
"Halo, Fika?"
Fika tak menyahut, ia sibuk menahan gejolak yang ingin terlontar di balik bungkam yang ia lakukan.
Perlahan Fika beranjak dari tempat ia duduk. Fika berlalu, ia tak sudi berlama-lama bertemu dengan orang yang sudah mengacaukan harinya akhir-akhir ini.
"Fika?!"
Seruan Garda pun tidak mampu menahan langkah kakinya, Fika benar-benar dibuat emosi mendapati Zara yang dengan berani menapak kaki di rumahnya. Akal lainnya pun mengatakan semakin tidak habis pikir mengapa Garda bisa seberani itu membawa seorang gadis asing ke rumah, padahal ayah mereka sangat menentang mereka membawa teman lawan jenis ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKA DAN EKSPEKTASI [BELUM END-TAHAP REVISI]
Teen FictionAwalnya, Fika kira hidupnya hanya akan dihabiskan untuk memenuhi seluruh ekspektasi ayahnya yang menginginkan Fika untuk meraih angka-angka favoritnya. Namun, pasca masuknya nomor asing yang tidak Fika ketahui, hidupnya perlahan-lahan mulai berubah...