GARDA melambaikan tangan seiring Zara yang terus bergerak menjauh dari tempatnya berdiri. Setelah Zara benar-benar hilang dari jangkau pandangnya, hela berat mengudara melepas penat hatinya yang sejak tadi Garda tahan. Matanya menyorot sendu menatap hamparan langit, ada rasa bersalah yang kian bersarang setelah meninggalkan Fika tadi.
Walau sedang bersama Zara, pikirannya justru tertuju pada Fika.
Langkahnya ia seret untuk ia bawa pulang, kepalanya tiada henti memikirkan banyak hal. Perbuatan David di masa lalu benar-benar membuatnya harus menanggung beban yang selalu Garda keluhkan seorang diri tanpa bercerita.
Garda bukan penjahat, tetapi Fika dan Zara malah memandangnya sebagai penjahat dari arah sudut pandang mereka masing-masing.
Menghawatirkan Fika dan Zara di saat bersamaan tentu tidak mudah. Jika Garda memilih mengurusi salah satu di antara keduanya, maka salah satu di antara mereka akan menanggung sakit yang sebenarnya ikut Garda rasakan.
Akhir-akhir ini pun Garda merasa kesulitan mengatur waktu, terlebih David memintanya untuk mengikuti olimpiade yang seharusnya tidak Garda ikuti. Sudah menempuh kelas akhir di tahap Sekolah Menengah Atas sudah cukup membuat waktunya terkuras habis, jika boleh mengeluh, tentu akan banyak sekali protes yang Garda utarakan.
Tapi yang paling menyebalkan, di saat menjalani episode terberat sebagai anak sulung, Garda dituntut mengandalkan diri sendiri tanpa bercerita bahwa ia ingin serta didengarkan.
🥀📚🥀
Fika berdecak, cat warnanya menetes mewarnai bagian yang seharusnya tidak ia beri warna merah. Fika mengambil kain basah, kemudian menghapusnya secara telaten dan hati-hati.
Media melukis selalu menjadi pilihan Fika untuk menuangkan imajinasi perihal sakit yang sedang dirasakan, tentunya maksud dari lukisan yang Fika buat hanya Fika sendiri yang tahu.
Namun, semua lukisannya malah berakhir di gudang tanpa ada niatan untuk Fika pajang. Fika suka melukis, namun Fika menilai bahwa lukisannya sangat buruk sekali untuk orang lain pandang. Seperti sekarang, Fika sedang sibuk menaruh lukisannya yang baru bersama tumpukkan lukisan lainnya di gudang.
"Kak Garda udah pulang belom, Bi?" Fika melempar tanya pada Atik yang sejak awal sudah menunggunya di luar.
"Udah belom?" Fika kembali mengulangi pertanyaannya.
Atik menggeleng tidak tega, melihat sorot penuh harap yang terpancar di mata anak majikannya membuat Atik sedih sendiri. "Belom, Non."
"Oh, ya udah."
Fika kecewa, padahal melukis menjadi alasan utamanya untuk menghalau ketidaksabarannya menunggu Garda pulang. Mendengar jawaban Atik seketika membuat Fika menjadi kian gelisah, setiap pikiran runyam yang Fika ciptakan semakin mengompori dirinya sendiri.
"Ada apa?"
Serentak Atik dan Fika bersamaan menoleh mendapati Garda yang sudah berdiri tepat di depan keduanya. Garda memberi tatap penuh tanya pada Fika seraya diam-diam menelisik setiap tubuh Fika memastikan tidak ada luka yang diciptakan David.
"Kucing lo ngereog, tapi udah gue kasih makan." Garda menyambung ucapannya, mengisi sunyi yang kini mendera mereka.
Garda berdehem, tangannya terulur menarik Fika menjauh dari gudang. Atik mengekori mereka sampai terhenti di ruang tengah ketika Garda menuntun Fika naik ke atas dan masuk ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKA DAN EKSPEKTASI [BELUM END-TAHAP REVISI]
Teen FictionAwalnya, Fika kira hidupnya hanya akan dihabiskan untuk memenuhi seluruh ekspektasi ayahnya yang menginginkan Fika untuk meraih angka-angka favoritnya. Namun, pasca masuknya nomor asing yang tidak Fika ketahui, hidupnya perlahan-lahan mulai berubah...