DI ATAS dinginnya lantai kamar, Garda hampir dibuat terlelap jika suara klakson mobil tidak membangunkannya. Garda melenguh pelan, tubuhnya mulai memberi respon akibat pukulan dan tendangan yang diberikan David.
Garda menarik diri untuk duduk, tubuhnya terasa dihantam pegal dan ngilu bersamaan. Garda terkekeh ketika kembali mengingat kilas balik dirinya yang pernah diperlakukan sama persis seperti beberapa belas menit lalu oleh David.
Garda menunduk dalam ketika cairan bening itu meleleh membasahi pipinya. Namun, belum sempat air matanya susul-menyusul untuk menghantar pelampiasan luka, Garda lantas mengusap matanya kasar. Garda tidak suka menangis. Karena menurutnya, menangis tidak akan membuat seluruh permasalahannya selesai.
Garda meninju lantai, rasanya emosi sekali mengingat bagaimana ayahnya begitu beringas menghajarnya tanpa memikirkan status anak yang disandangnya. Ungkapan kalimat setiap orang tua pasti mencintai dan menyayangi anaknya mulai ia ragui, dan semuanya terbesit akibat sikap kurang hajar David.
Teringat sesuatu membuat Garda buru-buru berdiri. Garda harus memeriksa Fika, ia khawatir David akan melampiaskan sisa amarahnya pada Fika.
Namun, setelah sampai di depan pintu kamar adiknya, hanya sebatas kesunyian yang ia tangkap. Sama sekali tak ada suara gaduh yang menyapa. Tangannya terulur untuk menyentuh knop pintu, ditariknya perlahan sampai akhirnya pintu itu terbuka hampir setengahnya.
Perasaannya menghangat begitu netranya menangkap sosok Fika tengah tertidur meringkuk di atas sajadah dan masih berkemul dengan mukena yang membalut tubuh. Garda membuka sepatu, khawatir tapaknya menciptakan bunyi dan membuat tidur adiknya terganggu.
Garda tersenyum tipis melihat wajah Fika yang terlihat lelah. Namun, belum lama senyumnya tercetak, sebuah objek berhasil memadamkan senyumnya secara spontan. Halisnya menukik tajam melihat hidung Fika.
Bengkak dan sedikit kemerah-merahan.
"Papa terlalu fokus nuntut Fika buat ngejar ekspektasi Papa tanpa mikir kalo Fika kecapean buat ngejarnya."
Garda tersentak ketika Fika mengigau kemudian disusul oleh tangis. Karena khawatir, Garda kemudian berusaha membangunkan Fika dengan mengguncang tubuhnya dengan harapan agar Fika bisa bangun dengan usahanya.
"Fika? Bangun! Lo kenapa?!"
Garda mendengkus saat Fika tidak kunjung bangun. Sampai akhirnya, ketika Garda mengguncang tubuh Fika lebih kencang berakhir membuat Fika membuka matanya.
Fika merubah posisinya menjadi duduk. Wajahnya terlihat bingung, ditambah ketika netranya menangkap sosok Garda berada di kamarnya membuat Fika semakin bingung.
"Lo mimpi apa?"
Garda menghela ketika Fika tak kunjung bersua untuk menjawab pertanyaan. Garda saling bertaut jari, berharap adiknya mau mengutarakan perihal mimpi yang telah mengganggu tidurnya.
"Jadi cuma mimpi?"
Garda tertegun begitu sepenggal kalimat secara lancar lolos keluar dari mulut Fika. Melihat raut kecewa yang terpancar di wajah adiknya membuat Garda merasa bersalah karena telah mengakhiri mimpi Fika.
Tangannya terulur untuk membantu Fika melepas mukena yang dipakai. Perasaan bahagia menyambangi diri begitu tidak ada sama sekali gerak penolakan yang diberikan Fika.
"Mimpi apa?" tanya Garda lagi.
"Gue nangisnya kenceng gak?" Bukannya menjawab, Fika justru balik bertanya.
"Lumayan. Emangnya lo mimpi apa?" tanya Garda berusaha terlihat seantusias mungkin.
"Kapan ya Kak kira-kira gue bisa ngomong kaya dimimpi gue? Rasanya ... lega banget. Meskipun pas ngomongnya muncul rasa sakit sama marah, seenggaknya itu bisa bikin gue lega karna papa udah tahu suara hati gue gimana."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKA DAN EKSPEKTASI [BELUM END-TAHAP REVISI]
Teen FictionAwalnya, Fika kira hidupnya hanya akan dihabiskan untuk memenuhi seluruh ekspektasi ayahnya yang menginginkan Fika untuk meraih angka-angka favoritnya. Namun, pasca masuknya nomor asing yang tidak Fika ketahui, hidupnya perlahan-lahan mulai berubah...