"KENAPA lo bisa tahu nama gue?"
Fika bertanya takut, kedua binar matanya meredup seiring Ziko memancarkan senyum anehnya. Tak lama dari itu, Fika lantas ikut melihat arah telunjuk Ziko ditujukan, lebih tepatnya Ziko menunjuk name tag yang tersampir di seragam sekolah Fika.
Fika meruntuki dirinya dalam hati, ia merasa konyol sendiri. Dia kira Ziko menguntitnya atau mungkin mencari informasi tentang dirinya, ternyata ekspektasinya melenceng dari realita yang ada. Benar-benar memalukan.
Ziko berpangku tangan. "Lo ngapain ngikutin gue? Lo sasaeng, ya?" tanya Ziko.
"Bukan!" jawab Fika cepat.
Kening Ziko mengerut begitu menangkap wajah gugup Fika.
"Lo gugup?"
Dengan polosnya Fika bertanya, "Keliatan banget emang?"
Ziko mengangguk pelan. "Kenapa?"
"Gue kaku ngomong sama orang baru," cicit Fika.
"Pantesan."
Ziko berbalik hendak pergi. "Balik sana. Gue cuma mau ke warteg aja, nyari makan."
"Kenapa makannya di warteg? Bukannya lo anak Bhayangkara? Bhayangkara kan isinya anak-anak orang kaya." Fika bertanya. Sejujurnya, Fika sendiri tidak masalah jika seseorang yang berkecukupan makan di tempat mana pun, hanya saja sekarang Fika sedang mencurigai Ziko.
Ziko terkekeh sinis. "Terus gue harus makan di tempat mahal gitu karna status gue anak orang ada? Enggak, kan?"
Fika diam tak merespon.
"Sana balik, entar di cariin orang tua lo. Gue males disangka terduga penculikan anak di bawah umur—"
"Gue udah SMA, ya!" Fika menyangkal cepat.
Ziko berbalik, lantas menyatukan kedua tangannya di depan. Ziko memasang ekspresi meledek. "Aduh, mohon maaf, Kak Fika. Saya enggak tahu kalo Kakak udah SMA."
Fika berdecih, alasan yang menurutnya sungguh tidak logis. Padahal sudah jelas terlihat kalau dirinya memakai rok warna abu-abu.
Saat Fika akan menyahut, Fika tersentak saat Ziko tiba-tiba menariknya ke belakang, menyembunyikan Fika tepat di belakang tubuhnya. Saat Fika akan protes, Ziko dengan cepat berbisik—menginstruksi dirinya agar diam.
"Wah, Ziko udah ada dedek gemes. Mana liat mukanya, dong! Adek gemes Ziko sekolah di mana, nih?"
Fika bergidik ngeri begitu mendengar kalimat godaan yang dilontarkan seseorang padanya. Disusul dengan sorakan dan suara gelak tawa yang terasa menyebalkan untuk Fika dengar.
"Butuh apa?" tanya Ziko ketus, sangat malas menanggapi Naja dan teman-temannya.
Naja terkekeh sinis. "So sibuk banget lo jadi orang. Inget, jadi orang jangan songong-songong. Lo gak tahu gue?"
"Tahu."
"Kalo tahu, jangan belagu. Jalan."
Fika sempat mencuri-curi pandang melihat orang yang sedang mengobrol dengan Ziko. Fika teringat, bukannya dia adalah orang yang tempo hari menemani Ziko merundung Zara? Lalu, kenapa sekarang Ziko dan orang yang dipanggil Naja itu terlihat tidak ramah dalam berinteraksi?
Sebelum pergi, teman Naja sengaja menginjak pedal gas sehingga menimbulkan bunyi deruman keras. Naja memberikan jari tengah untuk Ziko, kemudian mobil itu melesat pergi meninggalkan Ziko dan Fika.
Ziko menarik Fika. "Udah pergi."
"Siapa?" tanya Fika.
"Orang stres. Sana balik, udah mau sore."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKA DAN EKSPEKTASI [BELUM END-TAHAP REVISI]
Teen FictionAwalnya, Fika kira hidupnya hanya akan dihabiskan untuk memenuhi seluruh ekspektasi ayahnya yang menginginkan Fika untuk meraih angka-angka favoritnya. Namun, pasca masuknya nomor asing yang tidak Fika ketahui, hidupnya perlahan-lahan mulai berubah...