HUJAN TURUN.
Alas kakinya memijak aspal jalan yang basah dihantam air. Beberapa daun terpisah dari ranting hingga bebas dibawa angin sampai akhirnya jatuh ke tanah. Hamparan langit sudah disapu awan gelap, samar-samar gemuruh petir terdengar saling sahut-menyahut turut melengkapi Kota Bandung yang sedang menangis.
Jas hujan kuning cerah itu membalut tubuh Fika dan menjadi perisai diri untuk menghindari hujan. Kendaraan di jalan raya nampak hilir-mudik memadati jam pulang kerja sore ini.
Tedjo tidak bisa menjemputnya karena sedang mengantar David menghadiri rapat penting di luar kota. Fika pun tidak bisa mengandalkan Garda karena kejadian kemarin masih belum bisa Fika lupakan. Suasana hatinya juga sedang tidak baik-baik saja, meminta Garda untuk menjemputnya hanya akan semakin memperkeruh suasana hati.
Biasanya Arthur selalu bersedia mengantarnya pulang jika Tedjo tidak bisa menjemput, Arthur selalu pasang badan jika soal mengantarnya pulang. Namun, hari ini dan mungkin seterusnya semuanya akan jauh berbeda dari biasanya.
Garda dan Arthur secara bersamaan sudah berhasil membuat dunianya runtuh.
Mengingat semua kejadian kemarin dan hari ini berhasil membuat dadanya dipenuhi sesak. Beberapa kali Fika berusaha mereda nyeri dengan memukul dadanya kendati tidak memberi efek apa-apa.
Di dunia yang begitu luas dan ramai ini, Fika justru merasa sendirian. Dua orang yang sudah mengambil peran penting dalam hidupnya berhasil menciptakan perasaan itu pada dirinya, keduanya berhasil menciptakan ruang hampa tidak berpenghuni.
Namun, jauh di belakangnya, Arthur diam-diam sedang menguntitnya. Arthur tentu tidak akan membiarkan Fika pulang sendirian, ia suka rela membiarkan tubuhnya bebas diguyur hujan hanya untuk memastikan Fika pulang dengan selamat.
Arthur peduli, selamanya tetap begitu.
Arthur mendesah panjang. Benaknya ikut merasa sesak mengingat Fika menerbitkan senyum kekecewaan padanya. Rasa bersalah tentu mendera, pertahanannya nyaris rubuh jika saja ia tidak mengingat bahwasannya ia sedang memberi Fika efek jera karena telah membohonginya kemarin.
Arthur bisa menebak akan sakit hati yang mungkin Fika rasakan dan Arthur sudah siap dengan segala konsekuensi yang mungkin saja bisa muncul setelah ini. Namun, ia tidak akan berlama-lama dalam menghukum Fika, sebab ia sendiri selalu merasa kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya jika itu berkaitan dengan Fika.
Arthur menepi menyembunyikan diri ketika Fika berhenti melangkah, ia harus sigap bersembunyi agar dirinya tidak tertangkap basah sedang menguntit. Ia lihat Fika nampak ikut menepi dan berjongkok di tepi jalan, cukup lama Fika melakukannya sampai akhirnya kembali melangkah pulang.
Fika berbelok masuk ke dalam sebuah pet shop. Tumben-tumbenan sekali Fika masuk ke toko perlengkapan hewan. Seingat Arthur, Fika sama sekali tidak memelihara hewan apa pun di rumah.
Meski tubuhnya sudah basah kuyup dan kedinginan, Arthur tetap menunggu Fika sampai Fika selesai dengan aktivitas di dalam. Saat Fika keluar, terjawab sudah rasa penasarannya ketika Fika keluar dengan membawa satu buah pet cargo di tangan.
Arthur menghela lega saat Fika sudah masuk ke dalam gapura perumahan tempat Fika tinggal. Akhirnya, Arthur bisa kembali lagi ke sekolah untuk mengambil motor dan bergegas untuk pulang ke rumahnya sendiri.
📚🥀📚
Garda baru saja tiba di rumah, ia merasa sedikit lebih penat karena padatnya kegiatan di sekolah. Setelah membersihkan tubuh, hatinya tergerak untuk menemui Fika dan menyelesaikan permasalah di antara keduanya. Karena jujur saja, Garda merasa tidak nyaman berlagak seperti orang asing dengan adiknya sendiri.
Setelah mengumpulkan keberanian, Garda akhirnya sudah berdiri tepat di depan pintu kamar Fika. Walau sempat ia tarik-ulur tangannya untuk menyentuh knop pintu, setelah kembali mengumpulkan keberanian, ia tarik knop pintu kamar Fika hingga terbuka lebar.
Namun, kamar Fika kosong. Matanya sama sekali tidak menangkap sosok adiknya sama sekali. Garda mengecek kamar mandi, tetap saja kosong.
Tungkainya ia giring ke dapur untuk menemui Atik. Atik terlihat sibuk memasak untuk makan malam.
"Papa belom pulang, Bi?"
Sekilas Atik menoleh, kemudian kembali fokus pada masakannya. "Belom, Den."
"Fika dijemput sama siapa, Bi?" tanya Garda masih basa-basi.
Atik meraih wadah yang tidak jauh dari jangkauan. "Non Fika pulang jalan kaki, Den."
"Jalan kaki? Terus sekarang dia di mana?"
Kendati sedikit kerepotan, Atik tetap menyahut pertanyaan Garda. "Di gazebo, Den. Lagi ngurus kucing barunya."
"Kucing baru? Dia punya kucing?"
"Coba Den Garda samperin aja. Soalnya tadi nanyain soal susu yang bagus buat anak kucing, terus bawa wadah kucing juga."
Dari ambang pintu, Garda memperhatikan Fika yang nampak sibuk seorang diri. Matanya yang tajam tentu bisa melihat apa yang sedang Fika lakukan, adiknya benar memiliki peliharaan baru yang entah dari mana Fika dapat.
Bermodalkan hair dryer, adiknya sedang sibuk mengeringkan tubuh kucing yang samar-samar ia dengar sedang mengeong cepat. Fika sangat telaten sekali merawat kucing kecil tersebut.
"Kamu lagi berterimakasih sama aku, kah? Iya, sama-sama."
Fika terkikik sendiri dengan dialog yang ia buat. Perasaannya menghangat mengingat tadi ia sempat mengeluh merasa sendirian dan tiba-tiba ia menemukan seekor anak kucing kehujanan seorang diri tanpa induk.
Di sepanjang jalan, Fika sangat berharap bisa menemukan induk dari kucing kecil ini. Namun, nihil yang ia terima, induk kucing kecil ini tidak kunjung Fika temukan sampai akhirnya ia putuskan untuk mengadopsinya.
Teringat ia belum membeli makanan kucing, Fika menepuk jidatnya apes. Fika mendadak kelimpungan sendiri, menjadi seorang majikan baru bagi anak kucing tentu membuatnya merasa memiliki tanggung jawab untuk merawatnya.
"Kenapa tadi nggak sekalian beli, sih?!" gumamnya meruntuki diri sendiri. "Harus beli ini, mah."
"Tunggu sebentar, ya. Aku mau beli dulu makanan buat kamu, cuma sebentar, kok. Aku bakal terobos hujan buat kamu. Romantis banget, kan?"
Dengan cepat kakinya sudah memakai sendal rumah, kemudian berlari kecil bergegas masuk ke rumah untuk menunaikan janjinya pada kucing. Namun, tepat di ambang pintu masuk, karena terlalu fokus memperhatikan langkah agar tidak terpeleset karena lantai yang basah, Fika tidak sengaja menubruk Garda.
Fika menengadah, netranya langsung terpaut dengan netra kakaknya, Garda.
"Gue kira—"
"Anter gue beli makanan kucing, Kak. Gue punya anak sekarang."
Kening Garda mengerut. "Hah?"
Fika berdecak. "Mau nggak? Kalo nggak gue berangkat sendiri."
Fika berlalu dari hadapan Garda.
"Lo ... bukannya masih marah?" tanya Garda hati-hati, ia berjalan mengekori Fika.
Langkahnya mendadak berhenti, Garda hampir saja menabrak Fika jika ia tidak sigap menahan langkah.
Fika berbalik. "Sekarang lupain dulu soal itu. Gue lagi mentingin anak gue dulu biar bisa makan. Bisa kerja sama, kan?"
"Bisa."
"Oke. Gue bawa hoodie sama uang dulu."
To be continued....
Ngerasa nggak puas sih sebenernya sama part ini, tapi semoga kalian enjoy yaa💗
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKA DAN EKSPEKTASI [BELUM END-TAHAP REVISI]
Teen FictionAwalnya, Fika kira hidupnya hanya akan dihabiskan untuk memenuhi seluruh ekspektasi ayahnya yang menginginkan Fika untuk meraih angka-angka favoritnya. Namun, pasca masuknya nomor asing yang tidak Fika ketahui, hidupnya perlahan-lahan mulai berubah...