Strategi Bertahan

36 2 0
                                    

Angin berlalu kencang, membawa memori kelam dan senang terpicu dalam satu waktu. Dalam waktu senggang, aku terduduk sebentar sambil melihat lembah yang dalam dan pegunungan di sekitarnya.

Desa ini sangat indah, aku mengakuinya.

Wajar jika warga desa tidak ada yang ingin meninggalkannya. Segar, sejak awal sampai disini aku menikmati udara dingin yang terus masuk ke relung paru-paruku. Tak kuasa, membiarkanku menikmatinya dalam fajar. Hari beranjak pagi, matahari mulai terbit dari timur. Elang-elang berterbangan di angkasa. Rusa dan kambing gunung mulai berkeliaran di barat. Ah, indahnya, kicauan burung belibis menghiasi udara.

Ternyata, terdiam sejenak memang tak seburuk itu. Alz yang melihatku dari kejauhan, datang menghampiri, menepuk dan kini berada di sampingku. Di atas batu ia duduk. Melihatnya aku mengabaikan, namun dia terus menerus memanggil namaku.

“Arslan... Arslan-!”

“Apa? Tidakkah kau melihat aku sedang bersantai?”

“Tidak papa, aku hanya ingin memanggil namamu sebentar. Jika dipikir, kita sudah tidak berbicara selama beberapa hari, jadi tak apa bukan aku memanggil namamu sedikit?.”  

Ah, benar...

Sudah 3 hari aku tidak bertemu dengan Alz. Nampaknya ia benar-benar fokus mencurahkan tenaganya untuk mengajari warga desa. Sambil duduk Alz tersenyum kecil,   namun dengan tatapan kosong di matanya. Mungkin aku harus mengucapkan apa yang seharusnya aku ucapkan dari dulu.

“Terima kasih untuk bantuanmu”

Alz menoleh, pupilnya melebar, kemudian melihat dan menatapku dengan kuat ketika mendengar kalimat itu. Reaksinya sangat cepat, bagai burung elang yang telah menemukan mangsa di dekatnya.

“Berterimakasih untuk apa?” tanyanya penasaran. Mukanya lugu, namun serius bertanya. Nampaknya ia benar-benar tidak tahu telah melakukan apa.

“Untuk berbagai hal, seperti membantu dalam melakukan pekerjaanku. Kukira awalnya kau hanya akan menjadi beban ketika memutuskan untuk mengajariku”.

“Beban?! Huh, sekarang ucapanmu terdengar seperti satir dibandingkan terimakasih”.

Alz komplain, wajahnya tertunduk seperti menahan kesal. Sebuah seringai yang tajam dapat terlihat dibalik sela-sela topinya. Aku tahu mungkin ini sedikit kejam, tapi aku tak bisa menahan apa yang kupirkan tentangnya.

“Meski begitu, aku benar-benar berterima kasih. Sepertinya keadaan seperti ini tidak buruk juga. Lalu, apa yang kau rencanakan setelah ini? Pergi begitu saja?”

“Pergi begitu saja? Bagaimana bisa, aku bahkan belum mengajarimu sihir. Lagi pula kau juga belum membayarku dengan sepadan ya. Kau masih ingatkan bayaran apa yang harus kau beri kepadaku?”

“30 keping emas yang akan kita bagi menjadi dua setelah ini?”

“Bukan itu astaga, huh lupakanlah”.

Aku tertawa kecil ketika melihat reaksinya. Ia cemberut, dan terus menerus mengeluh atas jawabanku. Bahkan membuang muka setiap aku menatap ke arahnya.

“Aku akan membawamu ke Kekaisaran Timur, serta... Memberi makna hidup kepadamu”

Alz terdiam, wajahnya kembali menatapku lagi. Ia tersenyum dan menepuk pundak kiriku berkali-kali. Berkata banyak hal yang tak jelas itu apa. Sampai akhirnya sesuatu terekam jelas di telinga, sesuatu yang mungkin akan sulit untuk kulupakan di hidupku.

“Aku, akan menagih janjimu suatu saat nanti”.

Aku hanya terdiam menanggapi kalimatnya, membalas senyum kepadanya. Kapan terakhir kali aku tersenyum dan tertawa seperti ini? Ah, sudah lama sekali. Dua tahun lalu, ketika seluruh timku masih lengkap. Aroma ikan bakar tercium nyengat, dan nyanyian merdu masih membekas di kepala. Suasana yang menyenangkan. Namun kali ini, untuk pertama kalinya. Seorang gadis membuatku tersenyum lepas.

RattleheartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang