2. Penolakan

180 68 115
                                    

"Gak peduli, seberapa keras lo usir gue. Kalo gue masih betah, gue gak akan pergi."
-Zura-

17 Juli. Hari pertama.

Masih di hari Senin yang membuat Rian dan Luky terkejut, pasalnya kehadiran Zura ditengah-tengah mereka tidak terpikirkan sama sekali. Seorang gadis yang merupakan teman lama mereka sedari SD, SMP, sampai teman rumah karena jarak kediaman mereka yang tidak terlalu jauh, sekarang berada di sekolah yang sama juga.

Padahal, usut punya usut Zura di sekolahkan oleh ayahnya di sekolah internasional dan dia sangat berprestasi di sana karena menjuarai banyak lomba di bidang fisika.

Ketidakpercayaan mereka dibuktikan oleh Zura yang sekarang sedang duduk di samping bangku Rian, mereka menjadi satu kelas karena permintaan Zura kepada kepala sekolah secara diam-diam.

Gadis itu sekarang sedang melihat ke arah Rian dan Luky bergantian, sambil menyanggah dagu dengan tangannya, tak lupa senyum manis yang tidak luntur dari tadi.

"Lo ngapain di sini?" tanya Rian kemudian.

Zura lagi-lagi tersenyum lebar, bagaimana tidak, dia merasa lucu melihat kedua temannya melongo seperti sekarang.

"Gue pindah ke sekolah kalian," jawab Zura menyesuaikan pembicaraan dengan seorang teman.

"Ra, lo pindah ke sini pas kelas 12? Ngapain?" tanya Luky tak kalah penasaran.

"Emang ada larangannya, ya? Lagian suka-suka dong, mau sekolah dimana, asal ada uang dan lulus."

"Idih, tanggung kali. Ngapain ke sini coba?" sewot Luky masih tak percaya.

"Ada alasan lain lo pindah ke sini?" tanya Rian menyelidik dengan muka setengah terkejutnya.

"Hah? Iya ada dong."

Seringai Zura menutup mulutnya sendiri, dia terkekeh melihat Rian dan Luky bergantian.

"Jujur, kenapa lo pindah?"

"Gue jujur ... gue suka sama lo, jadi gue pindah ke sini," jawab Zura sambil menurun-naikkan alisnya.

"Zura! Gue serius!" kesal Rian.

"Loh, gue ini udah serius."

"Zur! Ayo jujur, kenapa lo pindah?"

"Gue jujur, gue suka sama lo," jawab Zura dengan senyum lebarnya.

"Astaga! Lo gak cape apa ngomong kaya gitu dari dulu sama Rian? Udah tau Rian anaknya batu!" tukas Luky sambil menggeplak kepala Zura pelan.

"Aish!"

Tatapan Zura tajam menuju ke arah Luky, membuat laki-laki itu angkat tangan.

"Emang gak boleh mengejar cinta sampe sini? Kata pepatah juga 'kejarlah cinta sampai ke negeri Cina!" tanya Zura kembali tersenyum menyebalkan.

"Ilmu, Pinter! Tuntutlah ilmu! Bukan ngejar cinta kaya di film!" sebal Luky menyorotkan mata tajamnya.

"Yey! Sewot!"

"Zura, gue serius. Lo pindah ke sini karena gue?"

Rian kembali bertanya kepada gadis di sebelahnya, mencoba menahan emosi.

Kadang sebagai manusia biasa rasa kesal itu wajar-wajar saja, tapi apa benar tentang rasa cinta justru tidak ada wajarnya?

"Iya. Kenapa?"

"Lebih baik lo pindah dari sini, gue gak mau lo ngerepotin gue lagi."

"Idih, jawabnya kaya gitu banget. Di rumah udah gue siapin alpukat, mau gak?" ejek Zura menggoda Rian yang tidak suka dengan buah berwarna hijau itu.

ZURA (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang