1. Awal kisah

239 31 5
                                    

Arunika tidak pernah merefleksikan bahwa dia akan menikah di usianya yang ke dua puluh tiga tahun. Di agenda hidupnya, dia akan menikah saat berumur dua puluh lima tahun, atau bahkan lebih lama lagi. Dia masih ingin menikmati masa lajang seperti minum bersama teman-temannya, atau berjoget ria di dalam klub.

Sandyakalla Roberto. Itu nama suaminya. Lulusan terbaik prodi ekonomi dari Universitas Gajah Mada dengan sertifikat Coumlade. Sedikit menamparnya yang hanya lulus dengan gelar,  'Yang penting lulus aja, udah.'

Setahun yang lalu, sebelum ibunya meninggal dunia, sang Ibu pernah mengenalkan Arunika dengan seorang laki-laki yang kehidupannya begitu monoton. Usianya sudah hampir berkepala tiga. Tapi sayangnya, belum menikah sama sekali.

Mereka tidak di jodohkan seperti yang ada di film sinetron. Tidak sama sekali. Mereka bertemu setahun yang lalu, lalu berteman seperti biasanya, dan tiba-tiba menikah.

Sandyakalla yang katanya sudah lulus S2 California itu, bersikap arogan dan—bikin gondok buset. Itu kata yang sering Arunika sampaikan. Tak mau kalah dingin, Arunika juga ikut-ikutan. Seperti halnya pagi ini, ketika dia baru selesai menggoreng telur dadar.

Perempuan itu mengetik sesuatu di ponselnya.

Arunika

Gue masak telor noh
Ambil sendiri di meja

Suami Bangsat

Ok

Yaa, begitu selalu. Saling kenal bukan berarti bisa jatuh cinta kan? Setiap kali Arunika siap memasak, dia tidak ingin menghabiskan tenaganya untuk berbicara atau menghampiri suaminya itu untuk makan.

Maka, untuk itu dia hanya menyuruhnya melalui handphone. Padahal, Sandyakalla juga berada tak jauh darinya. Paling juga ada di kamar atau ruang tamu.

Arunika adalah tipe perempuan yang sulit jatuh cinta. Kalau tidak salah, dia terakhir jatuh cinta saat kelas satu SMA di usianya yang ke enam belas.

Dia yang tengah meng-scrol akun media sosialnya, mengernyit saat Sandyakalla—suaminya seminggu yang lalu, masuk ke dapur untuk mengambil piring.

Arunika atau yang sering di panggil Arun itu menatap gerak-gerik laki-laki jangkung di hadapannya.

Mengambil piring, mengambil satu sendok nasi, dan—membuka tudung saji untuk mengambil sepotong telor sambel.

"Nggak usah di lirik-lirik juga kali."

Arun tiba-tiba membuang pandangannya saat laki-laki itu berucap. Dia duduk cukup jauh dari hadapan Arun.

"Besok beli ayam di pasar." Dia berceletuk cepat sembari menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.

"Uang belanjaan minta aja dari saya," sahutnya lagi.

Yaa, Arun sadar. Seminggu ini, dia hanya memasak lauk telur, dan telur. Kadang di goreng doang, kadang setengah mateng, kadang di sambel. Pokoknya seminggu ini telur doang. Dia nggak tau aja kalau Arun cuman bisa masak telur.

"Saya harap kamu nggak budeg ya." Dia tetap berbicara sembari fokus dengan nasi di hadapannya.

"Suka-suka gue dong. Kalau mau makan enak, sono beli di warung. Ribet banget mulutnya." Arun berlalu pergi.

ArunKalla The Best SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang